PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya.

SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka.

WAJIBNYA SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID!!

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya.

BARANG SIAPA YANG MENGAMBIL PENDAPAT YANG KELIRU DARI SETIAP ULAMA, AGAMANYA AKAN HILANG

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:.

AGAR TA'ARUF TAK BERBUAH KECEWA

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun.

WAJIBNYA SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID!!

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakr untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’

Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43).

Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: "Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): "Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya." (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).

2. Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut

Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang artinya): "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa`:102).

Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: "Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi." (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).

3. Perintah Nabi untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah

Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga artinya): "Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian." (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).

Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.

4. Larangan Keluar dari Masjid setelah Dikumandangkan Adzan

Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar salah seorang di antara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).

5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah

Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:

a. keadaannya yang buta,

b. tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,

c. jauhnya rumahnya dari masjid,

d. adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,

e. adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan

f. umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.

Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid". Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: "Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?" ia menjawab "benar", maka Rasulullah bersabda: "Penuhilah panggilan tersebut."

Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.

Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya

Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: "Wa buyuutuhunna khairullahunna" (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi aurotnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.

Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya

Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: "Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.", dalam lafazh yang lain ia berkata: "Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: "sebutkan sanad kalian!" Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya." (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).

AKIBAT YANG JELEK BAGI ORANG YANG TIDAK MEMENUHI PANGGILAN UNTUK SUJUD

Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:42-43).

Yang dimaksud dengan "seruan untuk sujud" adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: "Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya" (Ruhul Ma’ani 29/36).

Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: "Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).

Telah Berkata Sa’id bin Jubair: "Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut." (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: "Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut)." (Ibid).

Berkata Ibrahim At-Taimiy: "Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).

Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: "Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah." (Zadul Masir 8/342).

Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah." (At-Tafsirul-Kabir 30/96).

Dan berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: "Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: "hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah".

Dan ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:

Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib

Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.

Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).

Dan yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: "Dia di neraka." (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).

Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: "Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya." (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).

Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing. Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Al Ustadz Abu Rosyid

Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albaniy

Agar Ta’aruf Tidak Berbuah Kecewa.. (tahapan sebelum nazhar)

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun yang terjadi adalah sebuah kekecewaan dan kegagalan di masa ta’aruf. Hal ini terjadi karena kurangnya persiapan dan beberapa faktor eksternal yang kurang mendukung, seperti kurangnya info, tidak seriusnya perantara atau hal yang lainnya.

Diharapkan agar pihak-pihak yang bersangkutan dalam sebuah ta’aruf yang syar’i bagi calon pasangan suami istri (dari wali atau perantara) agar benar-benar memiliki itikad yang baik dan kuat dalam mensukseskan bursa perjodohan yang mereka selenggarakan, tidak perlu kampanye pasang baliho, spanduk dan promosi palsu...apalagi sampai masuk dalam kategori “money politic”, untuk itu mari kita simak beberapa hal di bawah ini :

Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pernikahan hendaknya diawali dengan niat yang tulus dan bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian akan berakibat baik dan mendapatkan ridha dari-NYA.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan... (QS. An-Nuur : 32)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai kaum muda! Barangsiapa di antara kalian telah mampu membiayai pernikahannya, hendaknya ia menikah! Karena ia akan lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan...” [HR. Al-Bukhari (5065), Muslim (1400)]

Sehingga diharapkan buah dari keikhlasan ini akan mampu memberikan jalan yang lebih lapang dalam menyusun sebuah rumah tangga yang sakinah, tidak akan berakhir kecuali dengan kebaikan. Imam Ahmad dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang seorang gadis Anshar kepada ayahnya untuk seorang laki-laki yang bernama Julaibib, ia bertubuh pendek dan berwajah buruk. Seolah-olah Al-Anshari (yakni ayah gadis itu) tidak menyukainya, maka si ayah berkata, ‘Nanti aku akan bermusyawarah dulu dengan ibunya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ya kalau begitu!’ Maka iapun mendatangi istrinya dan menyebutkan perkara itu kepadanya. Istrinya menentangnya dengan keras. Maka si gadis itu berkata setelah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya, ‘Apakah kalian ingin menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Kemudian gadis itu membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS Al-Ahzab : 36)

Maka si gadis berkata, “Aku ridha danmenerima apa yang membuat ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdo’a untuknya, “Ya Allah, curahkanlah kebaikan atasnya dan janganlah jadikan sempit kehidupannya.” Maka ia menjadi shahabat Anshar yang paling banyak pendapatan dan hartanya. Anas berkata, ‘Tidak ada janda yang lebih kaya dari pada dirinya.” Ia telah menjadi janda setelah Julaibib keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan.

Jangan memasang target terlalu tinggi

Akhi dan ukhti jangan memasang target sasaran calon suami atau calon istri yang terlalu tinggi, karena hal tersebut hanya akan menyakiti hati dan membuka pintu syaithan untuk merusak benih-benih pernikahan yang syar’i, selain itu dengan terlalu berlebihan dalam berangan-angan akan membuat pelakunya susah mendapatkan calon pendamping hidup sesuai yang diharapkan.

Seyogyanya seorang muslim dan muslimah yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menentukan calon pasangan hidup yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, yakni mengedepankan ilmu agama yang dimiliki oleh masing-masing calon pasangan hidup. Bukan hanya memperhatikan masalah fisik, jabatan atau harta seseorang saja, karena hal demikian justru akan membuat rusaknya angan-angan yang dibangun saat mengetahui bahwa fisik, jabatan dan harta tidak mampu mewujudkan kebahagiaan dalam rumah tangga.

Target pasangan hidup yang tinggi (masalah fisik, kedudukan dan harta), tidak menjamin akan memberikan pasangan hidup yang ideal ketika tidak memiliki aqidah yang syar’i dan keshalihan akhlak, jadi diharapkan tidak ada akhwat atau ikhwan yang terlalu memprioritaskan proporsi fisikis calon pendampingnya kelak, semua itu adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak layak kita merendahkan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mencari informasi yang akurat

Agar pasangan yang akan menikah berusaha mengumpulkan informasi yang “shahih”, dengan cara yang sesuai syari’at, yakni dengan menanyakan kepada keluarga yang bersangkutan atau perantara yang membantu ta’aruf tersebut, hal ini tidak termasuk dalam hal ghibah (menggunjing) atau tajassus (mengorek informasi/memata-matai) yang dilarang, asalkan dengan maksud memberikan nasihat dan perhatian, bukan untuk menyakiti orang lain.

Pernikahan syar’i bukanlah hal “membeli kucing dalam karung” sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kalangan juhala (orang-orang yang jahil ilmu agamanya), sehingga mereka juhala menggunakan alasan ini untuk menghalalkan pacaran, padahal justru sebuah pernikahan yang syar’i mengandung nilai keadilan untuk mengetahui kondisi dan keadaan seorang wanita yang akan dipinang.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam kepada Fathimah binti Qais ketika dia meminta pendapat beliau shallallahu ‘alaihi wa salam: “Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), Sedangkan Mu’awiyah adalah seorang laki-laki yang fakir dan tidak memiliki harta. Nikahilah olehmu Usamah” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Dalah hadits shahih di atas, seorang akhwat boleh memilih ikhwan yang akan dinikahkan dengannya sesuai dengan kondisi yang berkenan dengan hatinya, tentunya dengan nasihat seseorang yang shalih yang mengetahui kondisi akhlak dan agama ikhwan yang bersangkutan. Perlu diperhatikan bahwa menyebutkan aib dan kekurangan yang bersangkutan hanya ketika diperlukan, namun jika tidak diperlukan maka tidak boleh menyebutkannya.

Diharapkan juga bagi seorang wali atau perantara dalam ta’aruf memberikan informasi yang sejujur-jujurnya karena Allah Ta’ala, karena sekecil apapun kedustaan itu akan berakibat buruk di kemudian hari dan akan dicatat sebagai dosa yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Mendapatkan informasi yang benar juga agar seorang ikhwan tidak sampai meminang akhwat yang telah dipinang oleh ikhwan yang lain karena hal tersebut tidak halal baginya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam : “Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh saudaranya sampai orang tersebut menikahinya atau meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhari (5143), Muslim (1413)]

Terima dia apa adanya

Tidak semua yang datang kepada kita bisa sesuai dengan kehendak hati kita, ada saatnya apa yang kita dapatkan justru jauh di luar bayangan kita, maka terimalah dia calon pendampingmu apa adanya. Seorang akhwat biasanya ketika mencari calon pendamping kadang selalu mempertanyakan tentang berapa penghasilan calon suami per bulannya.

Kasihan ikhwan, tidak mungkin ikhwan harus memasang tanda “akhwat matre dilarang ta’aruf” pada bajunya, fenomena “akhwat matre” juga kadang membuat bursa perjodohan makin carut marut, lebih susah diatur daripada pengurusan bursa pencalonan bupati dan lurah. Alasan mencari ikhwan yang “sekufu” atau sekadar berangan-angan agar bisa hidup dengan enak dan nyaman akan merusak suatu nilai pernikahan yang sesuai sunnah, bahkan sering terjadi saat ta’aruf berubah menjadi puncak kekecewaan setelah memupuk harapan dan bermain dengan angan-angan.

Maka terimalah dia pasanganmu apa adanya, (ada rumah, ada mobil, ada jabatan... afwan terkadang plesetan seperti ini muncul ketika perkataan apa adanya berubah menjadi sebaliknya pada kenyataannya, namun yang membuat akhwat kadang ambil langkah mundur ketika ada perkataan..”ada istri pertama..”, “tak ingin aku dimadu..!” katanya).

Menerima calon pendamping dengan lapang dada dan apa adanya akan meringankan beban pikiran dan melegakan hati, juga memperkecil peluang dan pintu-pintu syaithan untuk menggagalkan ta’aruf yang sesuai syar’i, perlu diwaspadai bahwa syaithan tidak akan tinggal diam melihat seorang muslim yang berusaha ber ‘ittiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi w a sallam. Menerima calon pasangan apa adanya juga termasuk sunnah untuk menyegerakan menikah ketika yang bersangkutan sudah siap dan memenuhi syarat.

Ada prasangka kuat bahwa tawaran (pinangan) nya akan diterima

Setelah melalui pemahaman dan menelaah informasi yang akurat dari wali akhwat atau perantara ikhwan yang bersangkutan kemudian masing-masing pihak dari calon suami dan calon istri yang akan nazhar memiliki kehendak yang kuat untuk menerima ikhwan atau akhwat setelah nazhar maka dianjurkan untuk melanjutkan ta’aruf ini.

Namun jika setelah menerima informasi ada ganjalan dan sesuatu yang tidak disukai dari salah satu pihak yang nanti akan membuat sebuah ta’aruf berbuah kecewa lebih baik tidak usah nazhar dan tidak perlu diteruskan ta’arufnya, kecuali pihak yang keberatan telah menyatakan kerelaan dan ikhlas atas kekurangan calon pendamping hidupnya.

Dianjurkan juga bagi laki-laki yang yang berta’aruf dan wanita yang berta’aruf untuk beristikharah dalam masalah ini . Masing-masing dari keduanya beristikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang calon mempelai (saat ta’aruf), tentang waktu pernikahan dan yang lainnya.

Wallahu a’lam bish showab

Oleh Andi Abu Hudzaifah Najwa

Apakah Hukum Memuji Diri Sendiri?

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin -rahimahulllah- ditanya: Apakah hukum memuji diri sendiri?



Jawaban:

Memuji diri sendiri, jika yang dimaksud adalah Al-tahadduts (menyebut-nyebut) nikmat Allah 'azza wa jalla atau agar orang lain menteladani dirinya, hal ini tidak apa-apa. Namun apabila yang dimaksud adalah mentazkiyah diri dan berbangga dengan amalnya atas Rabb 'azza wa jalla, hal ini tidak boleh karena itu merupakan sikap kesombongan. Allah ta'ala berfirman,



"Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar" (Al-Hujurat: 17)

Jika yang dimaksud sekedar kabar, maka tidak apa-apa, tetapi yang utama adalah menghindarinya. Jadi, dalam masalah memuji diri sendiri terjadi dalam empat kondisi:



Pertama, itu dimaksudkan untuk tahadduts dengan nikmat Allah yang diberikan kepadanya, yaitu perlindungan berupa iman dan keteguhan.



Kedua, itu dimaksudkan untuk memotivasi orang-orang sebaya dan teman-temannya dengan sesuatu yang ia miliki.

Dua kondisi di atas adalah sesuatu yang terpuji sebab keduanya termasuk niat yang baik.



Ketiga, itu dimaksudkan untuk berbangga-bangga dan sombong atas Allah karena keimanan dan keteguhannya dan ini tidak boleh seperti dalam ayat yang telah kami sebutkan.



Keempat, itu dimaksudkan hanya sekedar kabar keimanan dan keteguhan dirinya dan ini boleh, akan tetapi yang utama adalah meninggalkannya.



- Al-Manahy Al-Lafdziyyah, Pertanyaan no: 44

Hadits Lemah dan Palsu Bulan Ramadhan

Ramadhan sebentar lagi tiba, banyak yang berdalil dengan hadits lemah dan palsu. Oleh karena itu wajib ia mengetahui hal tersebut, karena jika tidak maka amalannya tertolak!. (Pengantar dari SI)



Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.



Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Orang Sakit saja termasuk udzur untuk tidak puasa-SI

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani diHidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi diSunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal(2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalamDhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz(4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك



Artinya:

“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah(354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***



Disusun oleh: Yulian Purnama

Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Artikel www.muslim.or.id

Kisah seorang Remaja dan tetangganya

***Ini saya copas dari catatan ka' fatimah.....Maasya Allah, mari kita mengambil hikmah dari kisah ini. Sungguh, nasehat ini terutama untuk diriku pribadi yang masih sangat lemah, sering lalai dan penuh khilaf. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. aamiin***





Kisah ini saya dapat dari sahabatku yang bekerja di salah satu perusahaan asing, di Kaltim: Disini saya kutibkan kisah nyata seorang gadis yang menginjak remaja atau kerennya jaman sekarang (ABG) yang sebelumnya tidak karuan tingkah lakunya, namun setelah sadar akan kekeliruannya dan sudah mengerti “HIKMAH MEMAKAI JILBAB” Allah memanggilnya.

Kisah nyata ini dari kawan saya bekerja. Kisah nyata ini semoga berguna bagi yang membacanya, terutama kaum Hawa, juga bagi yang punya istri, yang punya anak perempuan, adik perempuan, saudara perempuan, kakak perempuan, yang masih punya Ibu, yang punya keponakan perempuan……..

Sahabatku menceritakan: Ini cerita tentang adikku Nur Annisa , gadis yang baru beranjak dewasa namun rada bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya rada mengkhawatirkan ibuku , banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji.

Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang rada keras: “Mama coba lihat deh , tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya ngga beda beda ama kita kita , malah teman teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om om , sering jalan jalan , masih mending Ani, walaupun begini-gini ani nggak pernah ma kaya gituan ” , bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis , lirih terdengar doanya: “Ya Allah , kenalkan Ani dengan hukum Engkau ya Allah “.

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil kecil. Suaminya bernama Abu Khoiri ,(bukan Effendy Khoiri lhoo)(entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas desus mengenai istri dari Abu Khoiri yang tidak pernah keluar rumah , hingga dijuluki si buta , bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku , dan dia bertanya sama aku: “Kak , memang yang baru pindah itu istrinya buta , bisu dan tuli ? “..hus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau datangin aja langsung kerumahnya”.

Eehhh tuuh, anak benar benar datang kerumah tetangga baru. Sekembalinya dari rumah tetanggaku , kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi….entah apa yang terjadi.?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab ..yang panjang, lagi..rok panjang, lengan panjang…aku sendiri jadi bingung….aku tambah bingung campur syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena kulihat perubahan yang ajaib..yah kubilang ajaib karena dia berubah total..tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan…kulihat dia banyak merenung, banyak baca baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kaya gadis atau femina ganti jadi majalah majalah islam , dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku …tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunat nya…dan yang lebih menakjubkan lagi….bila teman ku datang dia menundukkan pandangan…Segala puji bagi Engkau ya Allah jerit hatiku..

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan asing (PMA). Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggil ku untuk pulang ke rumah (rumahku di Madiun). Di pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar adikku di beri kesembuhan, namun aku hanya berusaha, ketika aku tiba di rumah, didepan pintu sudah banyak orang, tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah, kulihat ibuku menangis, aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku, sambil tersendat sendat ibuku bilang sama aku: “Dhi, adikkmu bisa ucapkan dua kalimat Syahadah diakhir hidupnya “..Tak dapat kutahan air mata ini…

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya..diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup, kemudian kubuka selembar demi selembar…hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di hatiku..perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri…disitu kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku, isinya seperti ini :

Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas tetesan airmata ):

Annisa : Aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari), ibu, wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.

Annisa : Tapi ibu kan udah punya anak enam, tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku : Subhanallah, sesungguhnya keindahan itu milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan bila Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya.

Annisa : Ibu, selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku, namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab, hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab, menurut ibu bagaimana?

Istri tetanggaku : Duhai Annisa, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa T a'ala menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan mahram kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala diakhirat nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita.

Annisa : Tapi yang kulihat banyak wanita yang memakai jilbab yang kelakuannya nggak enak, nggak karuan.

Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami.

Annisa : Apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin. Hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan mahram kamu. Hijab lidah kamu dari berghibah (ghosip) dan kesia siaan, usahakan selalu berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat. Hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau busuk. Hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh. Hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat. Hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu. Hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu, itulah hakekat jilbab.

Annisa : Ibu aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab, mudah mudahan aku bisa pakai jilbab, namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya.

Istri tetanggaku : Duhai Anisa bila kamu memakai jilbab itulah karunia dan rahmat yang datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang Maha Pemberi Rahmat, yang Maha Penyayang, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Duhai Anisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya. Ketika ditiup terompet yang kedua kali, pada saat roh roh manusia seperti anai anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan.

Ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita. Ketika seluruh Nabi ketakutan. Ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini.

Ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa rupa bentuk manusia bermacam macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis, menangis karena hari itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala murka, belum pernah Allah Subhanahu Wa Ta'ala murka sebelum dan sesudah hari itu, hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Yaumul Hisab.

Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Di Yaumul Hisab nanti! Di Hari Perhitungan nanti!!

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat, berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya, Subhanallah, kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan, kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya: buta, tuli dan bisu, wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain mahramnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah Subhanahu Wa Ta'ala, wanita yang tidak pernah berbicara ghibah, ghosip dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia tak tahan airmata ini pun jatuh membasahi diary.

Itulah yang dapat saya baca dari diarynya, semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerima Adikku di sisinya, Aamiin , Subhanallah.

Bapak-Bapak, Ibu-ibu, Saudara-Saudaraku, adik-adikku dan Anak-anakku yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Khususnya kaum hawa. Saya mengharap kisah nyata ini bisa menjadi iktibar, menjadi pelajaran bagi kita , bagi putri-putri kita semua. Semoga meresap dihati yang membacanya dan semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa memberi petunjuk, memberi Rahmat, hidayah bagi yang membaca dan menghayatinya.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa memberikan kekuatan iman kita untuk menjalankan (memenuhi) segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang-Nya, dan mendapat derajat takwa yang tinggi, selamat didunia sampai di akhirat nanti, mendapat pertolongan dan syafa’at di hari yaumul hisab dan mendapat surga yang tinggi, aamiin. Wallaahu a’lam bish shawab, billaahi taufik wal hidayah. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

Bila anda mau beramal saleh, kertas ini setelah dibaca jangan disobek, berikan kepada orang lain agar dibaca, supaya menambah iman dan taqwa mereka, insya Allah.

Dikutip oleh H.Muhammad Sukarman. Pisangan RT 05 RW 03 No.25 Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur 13940. Tlp. 021-4604785.(rumah), 021-718 9104 (kantor)Email: sukarman@petrosea.com



http://bbcerah.blogspot.com/2010/12/kisah-ini-saya-dapat-dari-sahabatku.html

ketergelinciran (Kecelakaan) ulama maka hilang Agamanya

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:

bahwa Isma'il al-Qadhi, dia berkisah: Satu kali aku masuk menemui Khalifah. Kemudian beliau menyodorkan kepadaku sebuah kitab. Akupun melihatnya. Ternyata kitab itu berisi kumpulan rukhsah-rukhsah (hukum-hukum yang paling ringan) dari pendapa ulama yang keliru.

Maka aku berkata: "Penulis kitab ini zindiq (orang ingin merusak islam, tapi menampakkan diri sebagai muslim)."

Khalifah menjawab: "Bukankah hadits-hadits yang jadi landasan ini shahih?"

Aku jawab: "Ya, namun ulama yang membolehkan khamr tidak membolehkan mut'ah. Ulama yang membolehkan mut'ah, tak membolehkan nyanyian. Tidaklah seorang alim ulama melainkan punya satu ketergelinciran (pendapat yang keliru). Barangsiapa yang mengambil pendapat yang keliru dari setiap ulama, agamanya akan hilang."

Kemudian Khalifah memerintahkan kitab itu untuk dibakar.

(Sumber: Siyar A'lam an-Nubala 13/465)

Pelajaran:

1. Para ulama dulu sangat perhatian untuk membela agamanya, sampaipun ketika ada seorang yang mengumpulkan hukum-hukum yang paling ringan dari berbagai permasalahan, mereka pun langsung memperingatkannya.

2. Orang-orang yang merusak agama Islam, dulu mengumpulkan pendapat paling ringan dari pendapat ulama yang keliru, tapi sekarang orang-orang yang ingin merusak agama Islam juga memakai perkataan tokoh-tokoh non muslim yang kafir.

3. Para umara' (penguasa) dulu sangat dekat dengan para ulama, setiap bimbingan ulama untuk membela agama Islam, mereka ikuti.

4. Hendaknya kaum muslimin berhati-hati terhadap orang zindiq, yang menampakkan diri sebagai tokoh muslim, tapi ucapan-ucapannya dan pendapatnya selalu meruntuhkan tuntunan agama Islam yang indah.

5. Hendaknya kita dalam berbagai hukum-hukum syariat mengikuti para ulama yang sudah terkenal ketaqwaannya, seperti: para shahabat, para tabii, tabiut tabiin, imam yang empat dan penerus mereka sampai hari kiamat nanti. Tidak mengikuti orang yang disebut sebagai tokoh agama, tetapi tidak terlihat amaliah (praktek) yang menunjukkan ketakwaannya, taatnya dia kepada Allah, dan keshalihan dia. Wallahu a'lam.

Baca selanjutnya" Fatwa Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Madzhab Asy-Syafiiyyah: Barangsiapa mengambil rukhsah dari setiap ketergelinciran ulama maka hilang agamanya http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2011/03/barangsiapa-mengambil-rukhsah-dari.html#ixzz1PxIQLPQ8

Contoh Ketergelinciran ulama

1. Ibnu Hazm menyamakan alat musik dengan suara burung yang indah, sehingga musik jadi halal. Dan para ahlul ahwa berpedoman pada pendapat Ibnu Hazm, Padahal kita tahu ia adalah ulama ahlus sunnah yang mumpuni di zamannya, dari Spanyol!. Note tentang haramnya musik telah banyak episode ana (AHSI) bikin, silakan baca lagi bagi yang mau.

2. Lajnah ad-Daimah berbeda pendapat dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany ketika ada penanya yang menanyakan kedudukan hadits tentang sholat tasbih. Lajnah ad-Daimah cenderung pada pendapat bahwa hadits-hadits tentang itu tidak ada yang shahih, sedangkan Syaikh alAlbany cenderung pada pendapat Ulama sebelumnya yang menshahihkan salah satu riwayat(Fatwa al-Lajnah adDaimah juz 6 halaman 401). Hal itu menunjukkan keadilan sikap Ulama’ Ahlussunnah terhadap Ulama’ lainnya, mereka menghormatinya dan mencintainya karena Allah, kadangkala menukil ucapannya untuk menguatkan pendapat –jika memang pendapat tersebut lebih dekat pada kebenaran-, namun mereka tidak pernah mengkultuskan dan menganggap bahwa orang itu tidak pernah salah sehingga semua ucapannya harus selalu diikuti. Contoh ke2 ini bukti ahlussunnah tidak taklid buta dengan syaikh AlBany Rohimahullah.

3. Contoh tentang gambar hasil jepretan kamera ulama beda pendapat, ada yang mengkategorikan masuk lukisan ada yang tidak , yang tidak termasuk lukisan alasannya adalah cuma memindahkan aslinya. Padahal yang rojih gambar dari hasil jepretan kamera adalah termasuk lukisan yang jelas ke haramannya. Jelas foto tak sama dengan aslinya karena beberapa hal, foto tidak bisa bernafas, melirik, menangis atau lainnya, kedua kamera itu alat, sama seperti kuas pada alat lukis. Ketiga foto hasil jepretan kamera tak sama dengan aslinya, orang yag hidungnya mancung sama yang pesek hasilnya tetap sama yaitu > datar!.Tentang Hukum gambar/ Fhoto mahluk benyawa note nya sudah SI bikin Desembber 2010.

Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ

”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106)

Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR. Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih)

Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim no. 969) Dalam riwayat An-Nasai,

وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا طَمَسْتَهَا

“Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.” (HR. An Nasai no. 2031. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ

“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas ssalam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR. Ahmad 1/365. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk perowi Bukhari Muslim selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ

“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.”(HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107 dan ini adalah lafazh Muslim). Dalam riwayat Muslim,

أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ

“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”

Dari Ali radhiyallahu anhu, dia berkata,

صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pelajaran:

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)

Menghapus Gambar Makhluk Bernyawa

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bisakah engkau jelaskan mengenai jenis gambar yang mesti dihapus?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Gambar yang mesti dihapus adalah setiap gambar manusia atau hewan. Yang wajib dihapus adalah wajahnya saja. Jadi cukup menghapus wajahnya walaupun badannya masih tersisa. Sedangkan gambar pohon, batu, gunung, matahari, bulan dan bintang, maka ini gambar yang tidak mengapa dan tidak wajib dihapus. Adapun untuk gambar mata saja atau wajah saja (tanpa ada panca indera, pen), maka ini tidaklah mengapa, karena seperti itu bukanlah gambar dan hanya bagian dari gambar, bukan gambar secara hakiki.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 35)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan). Ini adalah di antara kondisi darurat yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)

Nikah Beda Agama (Mengkritisi Argumentasi Kaum Liberal II )

Waspadailah JIL, ikhwah...



Nikah beda agama dalam pembahasan ini maksudnya adalah wanita muslimah menikah dengan lelaki non Muslim baik ahli kitab maupun tidak. Masalah ini hingga kini masih menjadi fenomena yang mencuat di permuakaan. Dahulu, diberitakan:



“Terjadi sejumlah wanita muslimah di Batusangkar, Sumatera Barat dan lainnya telah dinikahi oleh Lelaki Nashroni”.



Masalah bahaya ini semakin diperparah oleh ulah para pengibar liberalisme yang banyak menyebarkan pemikiran bervirus bahaya kepada umat. Lihatlah ungkapan mereka berikut yang dengan terang-terangan menggugat hukum Allah:



“Soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaanya”.



[1] Ulil Abshor Abdalla juga berkata:



“Larangan kawin beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar Islam…“



[2] Katanya juga



“Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam, sudah tidak releven lagi”.[3]



Banyaknya syubhat seperti ini hendaknya menjadikan kita lebih mendekatkan diri kepada Allah, menyibukkan dengan ibadah, dan bersemangat menuntut ilmu agar selamat dari fitnah syubhat dan syahwat yang kencang menerpa pada zaman ini. Dan yakinlah bahwa di balik semua badai terpaan itu pasti ada hikmah Allah yang indah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:



“Termasuk sunnatullah, apabila Dia ingin menampakkan agamaNya, maka dia membangkitkan para penentang agama, sehingga Dia akan memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, karena kebatilan itu pasti akan hancur binasa”.

[4]



Pada kesempatan ini, sebagai penjagaan umat dari rongrongan syubhat Jaringan Iblis liberal ini, maka kami akan mengetengahkan dalil-dalil tentang masalah ini secara ringkas tapi jelas. Semoga Allah menjaga kita semua dari segala fitnah. Amiin. Dalil-Dalil Haramnya Nikah Beda Agama Sungguh aneh tatkala para pengusung libelarisme mengatakan:



“Tidak ada dalil Al-Qur’an yang jelas mengharamkan nikah beda agama”[5]



. padahal Allah telah tegas mengharamkan hal ini dalam Al-Qur’anNya, demikian juga Rasulullah dan ini merupakan kesepakatan ulama sepanjang zaman: 1. Al-Qur’an Adapun dalam Al-Qur’an,



Dalil Pertama: وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)



Imam Ibnu Jarir ath-Thobari berkata:



“Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik mana saja (baik ahli kitab maupun tidak)”. [6]



Imam al-Qurthubi berkata:



“Jangan kalian nikahkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Umat telah bersepakat bahwa orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, karena hal itu merendahkan Islam“. [7]



Al-Baghowi berkata:



“Tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan lelaki musyrik merupakan ijma’ (kesepakatan ulama)“. [8]



Dalil Kedua: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)



Imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat inilah yang mengharamkan pernikahan perempuan muslimah dengan lelaki musyrik (non Muslim)”. [9] Imam asy-Syaukani juga berkata: “Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) orang kafir”. [10] 2. Hadits Hadits Jabir bahwa Nabi bersabda: نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita”. [11] Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan, namun kebenaran isinya merupakan ijma’ umat”. Dan dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587. 3. Ijma’ Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Di atas, telah kami kemukakan sebagian nukilan ijma’ dari ahli tafsir, kini akan kami tambahkan lagi penukilan ijma’ tersebut:



1. Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”.[12]



2. Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”.[13]



3. Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir”. [14] Sebenarnya, masih banyak lagi ucapan ulama ahli fiqih dan ahli hadits tentang masalah ini. Lantas masihkah ada keraguan tentang kesesatan orang yang menyeleisihinya?!!



4. Kaidah Fiqih Dalam kaidah fiqih disebutkan: الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram. Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[15] .



Kebohongan Seorang Pengusung Liberalisme Abdul Muqsidh Ghozali dalam dialognya bersama Ulil Abshor ketika membantah ust Hartono Jaiz pernah berkata: “Kalau di dalam Al-Qur’an diperbolehkan nikah beda agama, maka pak Hartono mengharamkannya. Pak Hartono di sini sedang menciptakan syari’at baru, yang mestinya itu tidak dilakukan.” Lalu dia menukil atsar Umar yang menegur Hudzaifah tatkala menikah dengan wanita ahli kitab, lalu Hudzaifah berkata: Apakah engkau mengharamkannya? Jawab Umar: Tidak. (Buka Mafatihul Ghaib juz 3 hal 63) Dia juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang melarang nikah beda agama.” . Jawaban: Ucapan ini adalah kebohongan di atas kebohongan yang dimuntahkan oleh seorang pengusung paham liberal yang kini telah meraih doktor padahal dia termasuk pembela Nabi palsu, sekalipun yang dibela sudah mengaku taubat:



Pertama: Kebohongan terhadap Al-Qur’an, karena Al-Qur’an tidak pernah membolehkan nikah beda agama, dalam artian seorang non muslim nikah dengan wanita muslimah, bahkan Al-Qur’an dengan tegas mengharamkannya. (Lihat QS. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahanah: 10), yang dibolehkan adalah lelaki muslim nikah dengan wanita ahli kitab. (QS. Al-Maidah: 5)



Kedua: Kebohongan terhadap Umar bin Khaththab, karena beliau juga mengharamkan beda agama, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 4/366 bahwa Umar berkata, “Lelaki muslim boleh menikah dengan wanita nashara, tetapi lelaki nashrani tidak boleh nikah dengan wanita muslimah.” Lalu katanya: Atsar ini lebih shahih dari atsar sebelumnya (kisah Hudzaifah). [16]



Ketiga: Kebohongan terhadap Fakhrur Razi dalam Mafatih Ghaib, sebab beliau juga mengharamkan nikah beda agama. Setelah membawakan atsar Hudzaifah di atas dalam Tafsirnya 2/231, beliau mengiringinya langsung dengan hadits Jabir bahwa Nabi bersabda, “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita.” Lebih jelas lagi, beliau mengatakan dalam lembar berikutnya 2/232, “Adapun firman Alloh, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beraman” maka tidak ada perselisihan bahwa maksud musyrik di sini adalah umum (baik ahli kitab maupun tidak), maka tidak halal wanita mukmminah dinikahkan dengan pria kafir sama sekali apapun jenis kekufurannya.” Wahai hamba Alloh! Kenapa engkau sembunyikan ucapan ini?! Di manakah kejujuranmu?! . Apakah ahli kitab termasuk kafir dan musyrik? Kalau ada yang berkata bahwa larangan beda agama itu kalau wanita muslimah nikah dengan lelaki kafir atau musyrik, sedangkan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) tidak termasuk mereka. Kita katakan: Ini adalah suatu kedustaan, karena Allah telah menegaskan bahwa ahli kitab dari Yahudi maupun Nasrani adalah kafir dan musyrik. Demikian juga Rasulullah dan kesepakatan para ulama salaf. Perhatikan firman Allah: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6) Perhatikan juga hadits berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ, ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ, إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ Dari Abu Hurairah dari Rasulullah beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tanganNya, Tidak ada seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka. (HR. Muslim 153) Imam asy-Syathibi berkata: “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan Nashrani mengetahui tentang agama Islam dan banyak mengetahui banyak hal tentang seluk-beluknya, tetapi semua itu tidak bermanfaat bagi mereka selagi mereka tetap di atas kekufuran dengan kesepakatan ahli Islam”.[17] Jadi, larangan dalam masalah ini mencakup umum, baik ahli kitab maupun tidak. Perhatikan ucapan Imam Syafi’i: “Jika seorang wanita memeluk Islam atau dilahirkan dalam keluarga muslim atau salah seorang dari orang tuanya memeluk Islam ketika ia belum baligh, maka semua laki-laki musyrik, baik ahli kitab maupun animisme, haram menikahinya dalam keadaan apapun”. [18] Demikian juga ucapan al-Kasani: “Tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, maupun yang beragama penyembah patung dan majusi”.[19] Apalagi, para pengusung paham Liberal ingin mengacaukan istilah, sehingga menurut mereka orang Budha, Hindu, Konghucu dan sebagainya termasuk Ahli kitab, oleh karena itu, dalam Fiqih Lintas Agama mereka mengatakan: “… atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaanya”. [20] Lantas, adakah penggugatan syari’at yang lebih jelas daripada ini?!! Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan keselamatan[21]. .



Fatwa MUI Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M setelah



menimbang: Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, tetapi sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan Dan



memperhatikan: Keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran Pendapat Sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005 Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. .



Sebuah Himbauan dan Seruan Selama ini, termasuk dalam kasus fatwa MUI, tampak bahwa kaum liberal-sekuler-pluralis lebih mendominasi opini di media massa dan penyebaran virus Islam liberal sudah sangat meluas ke berbagai sendi-sendi kehidupan umat Islam, baik aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun bidang studi Islam. Sedangkan MUI dan ormas-ormas Islam pendukungnya hanya mampu bicara dari masjid ke masjid, forum majlis taklim, atau beberapa media cetak dan elektronik tertentu. Pertempuran dahsyat juga sedang dan akan terus terjadi di media massa yang menjadi andalan utama kaum liberal. Maka sewajibnya bagi umat Islam untuk bekerja keras mengimbangi penguasaan media massa dan profesionalitas dalam bidang media Massa dan strategi opini, menyiapkan sebanyak mungkin cendekiawan dan ulama Islam yang mumpuni dan berkualitas tinggi serta mengerahkan segala upaya untuk membongkar kesesatan Jaringan Iblis ini dan memperingatkan umat dari bahayanya.[22] .



http://blogryn.co.cc/2011/06/nikah-beda-agama-hukum-islam-vs-hukum.html

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More