PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya.

SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka.

WAJIBNYA SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID!!

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya.

BARANG SIAPA YANG MENGAMBIL PENDAPAT YANG KELIRU DARI SETIAP ULAMA, AGAMANYA AKAN HILANG

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:.

AGAR TA'ARUF TAK BERBUAH KECEWA

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun.

IBNUL JAUZI: MASA MUDA & MENUNTUT ILMU

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah Menghabiskan masa Mudanya Untuk Mencari Ilmu

Semoga Allah merahmati Abul Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi (wafat tahun 597 H.),
ketika dia menjelaskan keseriusannya dalam mencari ilmu, dan dia menghabiskan masa mudanya untuk meraihnya. Dia menyinggung nikmatnya menggeluti ilmu tersebut, saat ia telah berusia setengah baya dan telah sempurna ilmunya.



Dia berkata di dalam kitabnya Shaidul Khatir, II:329, “Barangsiapa menghabiskan masa mudanya untuk ilmu, maka pada masa tuanya nanti ia akan memuji hasil dari apa yang telah ia tanam. Dia akan menikmati hasil karya yang telah ia himpun. Dia tidak akan menggubris hilangnya kenyamanan fisik yang ia alami, setelah ia melihat kelezatan ilmu yang telah ia raih. Disamping itu, ia juga merasakan kelezatan saat mencarinya, yang dengannya ia berharap mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, bisa jadi berbagai upaya untuk mendapatkan ilmu tersebut lebih terasa nikmat daripada hasil yang telah ia raih.

Sebagaimana seorang penyair berkata:

Aku berjingkrak-jingkrak saat berharap mendapatkannya

Terkadang impian lebih manis daripada keberhasilan

Aku merenungi keadaan diriku, membandingkannya dengan kondisi keluargaku yang banyak menghabiskan umur mereka untuk meraih dunia. Aku menghabiskan masa kecilku dan masa mudaku untuk mencari ilmu. Aku merasa tidak kehilangan sesuatu seperti yang mereka peroleh, kecuali sesuatu yang seandainya aku meraihnya, justru aku menyesalinya. Kemudian aku merenungi keadaanku, dan aku merasa hidupku di dunia ini lebih baik daripada kehidupan mereka, dan kedudukanku lebih tinggi dibanding kedudukan mereka. Ilmu yang aku dapatkan pun tidak ternilai harganya.

Iblis berkata kepadaku, “Kamu lupa terhadap kelelahan dan begadangmu?” Aku menjawabnya,”Wahai bodoh,terlukanya tangan tidak di gubris saat melihat ketampanan Yusuf. Dan, jalan yang mengantarkan kepada seorng teman tidaklah panjang :

Semoga Allah membalas perjalanan kepadanya dengan kebaikan

Walaupun dia membiarkan unta kurus seperti kantong air dari kulit[1]



Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008

Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.

RU'YAH ATAU HISAB

Pertanyaan mengenai penetapan awal bulan syawal telah masuk ke dalam redaksi Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’ yang saat itu diketuai oleh syeikh Bin Baz,.maka Al-Lajnahpun menjawab :

Pertama : Pendapat yang shahih (benar) yang wajib diamalkan adalah perintah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi :

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal, jika terhalangi atas kalian melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulannya.”

Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilal. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -selaku utusan Allah- bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.

Kedua : Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya. Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :

{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilal bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.

Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal “. Al-Hadits.

Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cararu`yatul hilal, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.

Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilal, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.

Hanya kepada Allahlah kita memohon taufiq, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud

SUNNAH SAAT HUJAN

Bismillahirrahmanirrahiim..

Artikel ini saya dapatkan dari suatu forum beberapa waktu lalu.. tentang sunnah2 saat hujan yang sudah dilupakan, apa saja sunnah2 yang telah dilupakan tersebut? cekidot gan..

Hujan merupakan nikmat Allah. Dengan hujan Allah menurunkan banyak nikmat ke muka bumi. Dengan hujan Allah menghidupkan bumi yang gersang. Meskipun dengan hujan juga Allah dapat mengirimkan adzab, sebagaimana yang menimpa umat Nabi Nuh as.

Sehingga tidaklah mengherankan, manakala mendung datang, Rasulullah saw tampak cemas dan khawatir. Kecemasan dan kekhawatiran beliau sirna dan berubah menjadi kegembiraan manakala hujan benar-benar turun. Saat mendung datang, beliau khawatir jangan-jangan yang turun nantinya adalah adzab dari Allah. Begitu turun hujan, maka yakinlah beliau bahwa ternyata rahmat dan berkah Allah lah yang turun.

Saat hujan turun, ada beberapa amalan ibadah yang khas dikerjakan oleh Rasulullah saw. Dan kekhasan amalan ini hanya saat hujan turun saja. Sedangkan di saat biasa, dimana tidak turun hujan, amalan khusus ini tidaklah dikerjakan. Apa sajakah amalan tersebut? Sudahkah kita mengetahui dan mengamalkannya?

Amalan Khusus Saat Hujan Turun

1. Dari Abdullah ibn Haris ra berkata : Ibnu Abbas berkata kepada muadzinnya pada suatu hari turun hujan : 'Apabila engkau telah membacakan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, janganlah engkau membacakan Hayya alash sholah. Bacalah Sholluu fii buyuutikum.' Para hadirin menyanggah yang demikian itu. Maka Ibnu Abbas berkata : 'Apa yang aku suruhkan, telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (yakni Nabi saw). Ketahuilah bahwasannya shalat Jum'at adalah kewajiban yang ditekankan benar. Aku tidak suka menyempitkan kamu atau memaksa-kan kamu berjalan ke tempat shalat di dalam lumpur.' (Hadits shahih riwayat Al Bukhari).

2. Dari Nafi' Maula Ibnu Umar ia berkata : Bahwasannya Ibnu Umar membacakan adzan di Dajnan, suatu tempat di antara Makkah dan Madinah. Maka beliau membacakan : Sholluu fir Rihal. Kemudian Ibnu Umar ra berkata : 'Adalah Nabi saw memerintahkan muadzinnya di saat malam yang dingin, atau hujan atau yang berangin kencang untuk mengucapkan: Sholluu fir rihal.' (Hadits riwayat Abu Daud, An Nasai dan Al Baihaqi).

3. Dari Abdullah ibn Haris ra berka-ta, pada saat turun hujan Ibnu Abbas menjadi khatib. Pada saat muadzin sampai (hendak membaca) Hayya alash sholah, beliau menyuruh supaya mengucapkan seruan Ash sholatu fir rihal. Maka kami saling memandang kepada sesama kami. Maka berkatalah Ibnu Abbas : 'Seakan-akan kalian mengingkari hal ini. Ketahuilah, sungguh telah mengamalkan hal ini orang yang lebih baik dari aku (yakni Nabi saw), padahal sesungguhnya Jum'at itu suatu amalan yang ditekankan.' (Hadits shahih riwayat Al Bukhari)

Perkataan Para Ulama

1. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Muhibbut Thabari berkata : 'Di musim dingin atau hujan, di dalam adzan tidak dibacakan hayya 'alash sholah, hayya 'alal falah. Melainkan diganti dengan Ala shollu fir rihal.'

2. Imam As Sindi berkata : 'Dari hadits-hadits ini dapat dimengerti bahwa para muadzin Jum'at yang membacakan adzan di kala hujan turun, tidak menyempurnakan adzannya. Yakni mengganti hayya 'alash sholah, hayya 'alal falah dengan asholatu fir rihal.'

Praktek Pengamalan

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa manakala hujan turun, ataupun hawa dingin maupun berangin kencang, maka lafadz adzan diucapkan tidak seperti biasanya. Yakni perkataan hayya 'alash sholah, hayya 'alal falah diganti dengan lafadz Ash sholatu fir rihal atau bisa juga shollu fir rihal (yang artinya sholatlah di tempat kalian), atau Sholluu fii buyuutikum (sholatlah di rumah-rumah kalian).

Amalan sunnah ini hampir tidak dikenal lagi. Jangankan di zaman sekarang, di zaman shahabat Ibnu Abbas saja (yakni zaman Tabiin) sunnah ini hampir tidak dikenal lagi. Ini jelas terlihat di dalam hadits di atas, dimana saat Ibnu Abbas meminta mengganti lafadz hayya 'alash sholah, hayya 'alal falah, banyak yang mengingkarinya. Pada-hal kita tahu, zaman itu masih dekat dengan zamannya Nabi saw.

Maka tidaklah mengherankan, semakin jauh dari zaman Nabi, banyak sunnah yang semakin dilupakan orang. Seandainya ada sebagian dari umat Islam yang mengamalkan warisan amal sunnah ini, maka hampir bisa dipastikan akan bermunculan penolakan, protes dan tanda tanya besar dari umat Islam di sekitarnya. Bahkan cap aliran aneh, nyleneh, dan lebih jauh lagi cap aliran sesat akan dialamatkan kepada mereka yang mau menghidupkan sunnah ini. Kalau tidak percaya, silakan mencoba.

Sunnah yang lain

Sunnah yang lain yang juga diamalkan Rasulullah saw manakala turun hujan adalah sholat jamak. Sholat jamak saat turun hujan ini lazim disebut sebagai jamak mathor, yakni sholat jamak yang dikerjakan dikarenakan turun hujan.

Diriwayatkan dari Ibu Abbas, bahwa Nabi saw mengerjakan sholat jamak Dhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya' (dijamak), bukan karena takut maupun karena safar (perjalanan). Berkata Malik (sang rawi): diberitahukan padaku bahwa yang demikian itu saat turun hujan. (Hadits riwayat Abu Dawud).

Di dalam kitab Aunul Ma'bud syarah Sunan Abu Dawud dijelaskan bahwa sholat jama' mathor saat hadhor (bukan saat safar/perjalanan) dikerjakan oleh sebagian besar ulama salaf sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar, juga diamalkan oleh Urwah, Ibnu Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Salamah dan sekalian fuqaha (ahli Fikih) Madinah. Dan demikian juga, sholat jamak mathor ini menjadi qaul (pendapat) Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal.

Sholat jamak mathor merupakan rukhshoh yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Maka apabila kita ambil rukhshoh tersebut, hal ini akan membuat ridha Allah swt.

Namun sebagaimana sunnah-sunnah yang lain, sholat jamak mathor inipun sudah jarang yang mau mengamalkan. Jangankan mengamalkan, mengetahuinya saja barang-kali hanya sedikit orang.

Namun dengan sedikitnya umat Islam yang mengamalkan suatu sunnah, bukan berarti sunnah itu tidak ada. Harus ada segolongan umat ini yang mau menghidupkan sunnah-sunnah yang langka dan jarang diamalkan umat. Resiko yang harus ditempuh memang berat. Perlawanan datang bukan dari orang kafir, akan tetapi justru akan datang perlawanan dari umat Islam sendiri yang tidak mau belajar dan merasa sudah tahu semuanya tentang Islam.

Memang yang menyebabkan umat semakin jauh dari sunnah adalah ketidakmauan mereka untuk membuka lagi kitab-kitab hadits dan mempelajarinya dengan benar. Amalan yang saat dikerjakan semata-mata hanya meneruskan kebiasaan yang sudah berlaku, tanpa mau menelusuri sumbernya langsung. Sehingga kebiasaan ini menjadi Sunnah dan bahkan wajib, namun justru yang sunnah dan wajib menjadi tergusur.

Hal ini bukan berarti bahwa apa yang sudah diamalkan oleh umat saat ini semuanya hanya kebiasaan atau tradisi, namun seyogyanya apa yang sudah biasa diamalkan ini ditelaah lagi dan dipelajari sumber hukumnya. Dengan demikian umat terbiasa untuk mengamalkan sesuatu dengan dasar ilmu yang jelas. Bukan hanya ikut-ikutan, ataupun sekadar mengikut apa omongan kiyainya ataupun ucapan sesepuhnya.

***

Sungguh, Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [Al-Baqarah: 185]

“...Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” [Al-Maa-idah: 6]

“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” [Al-Hajj: 78]

wallahu'alam bishowab

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.



روى البخاري رحمه الله عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر - قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء



Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".



وروى الإمام أحمد رحمه الله عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام أعظم ولا احب إلى الله العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد



وروى ابن حبان رحمه الله في صحيحه عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أفضل الأيام يوم عرفة.



"Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".



MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN



1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah

Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:



العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة



"Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".



2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :



الصوم لي وأنا أجزي به ، انه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي



"Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".



Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :



ما من عبد يصوم يوماً في سبيل الله ، إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريف



"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].



Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :



صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده .



"Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".



3. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala.



وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ



".... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [al-Hajj : 28].



Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.



فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد



"Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].



Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :



الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ولله الحمد



Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu



"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".



Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.



وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ



"Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [al-Baqarah : 185].



Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.



Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.



4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.

Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.



Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.



ان الله يغار وغيرة الله أن يأتي المرء ما حرم الله علي



"Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].



5. Banyak Beramal Shalih.

Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.



6. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq

Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.



7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.



وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبّر ووضع رجله على صفاحهما



"Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].



8. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.



إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضّحي فليمسك عن شعره وأظفاره



"Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".



Dalam riwayat lain :



فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي



"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".



Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.



وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّه



"..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [al-Baqarah : 196].



Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.



9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.



10. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.

Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.



Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.



والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم .



صدرت بأذن طبع رقم 1218/ 5 وتاريخ 1/ 11/ 1409 هـ

صادر عن إدارة المطبوعات بالرئاسة العامة لإدارات البحوث العلمية والإفتاء والدعوة والإرشاد

كتبها : الفقير إلى عفو ربه

عبدالله بن عبدالرحمن الجبرين

عضو ا


[Disalin dari brosur yang dibagikan secara cuma-cuma, tanpa no, bulan, tahun dan penerbit. Artikel dalam bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm]

AKIBAT KATA "NANTI" DAN "NANTI"

Di antara hal yang dapat membinasakan anak cucu Adam adalah perbuatan menunda-nunda. Orang bijak berkata, "Barangsiapa yang menanam benih 'nanti', maka akan tumbuh sebuah tanaman bernama 'mudah-mudahan'

, yang memiliki buah bernama 'seandainya', yang rasanya adalah 'kegagalan dan penyesalan'."
Jadi, apabila Anda melihat seorang pemuda yang mengatakan, "Nanti, nanti." Maka cucilah kedua tangan Anda dari dirinya. Ketahuilah bahwa ia nanti akan berganti-ganti tempat.

Anda mungkin pernah mengenal seseorang, yang ketika Anda berkata kepadanya, "Tidakkah kamu menghapal Al Qur'an?" Ia katakan, "Akan saya hapal nanti, insya Allah." Kalaulah Perang Dunia III berkecamuk, pastilah Al Qur'an masih belum dihapalnya. Bahkan sampai ia mati pun, Al Qur'an masih belum dihapalnya juga.

Atau Anda berkata kepadanya, "Mengapa Anda tidak sungguh-sungguh belajar?" Ia katakan, "Sekarang masih awal-awal semester, nantilah menjelang mid test." Mid test pun tiba dan ia belum juga mengulangi pelajarannya. Ia kembali berkata, "Nantilah kalau final test sudah dekat, aku sulit konsentrasi belajar kalau ujian belum di ambang pintu." Ujian akhir pun tiba, tapi tidak ada yang bisa ia lakukakan selain duduk terpaku memandangi tumpukan buku di hadapannya.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh seorang penyair,
"Waktu itu laksana pedang, jika Anda tidak memanfaatkannya, maka dia akan menebas Anda."
Disebutkan Ibnu Mubarak—rahimahullah—dalam kitab Az-Zuhd bahwa ada sebagian ulama tabi'in yang berkata, "Ketika sakaratul maut datang, kata-kata 'nanti' pasti akan membuat kalian menyesal."
Allah mengungkapkan aib musuh-musuh-Nya di dalam Al Qur'an. Firman-Nya:
"Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS. Al Hijr: 3).
Sebagian ahli tafsir mengatakan, "Sebab mereka dulunya selalu menggunakan kata-kata 'nanti'." Artinya, nanti akan saya lakukan, nanti akan saya hapal, nanti akan saya pelajari. Akhirnya Allah balas mereka dengan hal serupa.

NILAI SEBUAH WAKTU

- Menurut Al Qur'an
Allah shubhaana wa ta'ala telah bersumpah dengan waktu-waktu tertentu dalam beberapa surah Al Qur'an, seperti al-lail (waktu malam), an-nahâr (waktu siang), al fajr (waktu fajar), adh-dhuhâ (waktu matahari sepenggalahan naik), al 'ash (masa). Sebagaimana firman Allah shubhaana wa ta'ala,

"Demi malam apabila menutupi (cahaya) siang, dan siang apabila terang benderang." (QS. Al-Lail: 1-2).
"Demi fajar dan malam yang sepuluh." (QS. Al Fajr: 1-2).
"Demi waktu matahari sepenggalan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi." (QS. Adh-Dhuhâ: 1-2).
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian." (QS. Al 'Ashr: 1-2).

Ketika Allah shubhaana wa ta'ala bersumpah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka hal itu menunjukkan urgensi dan keagungan hal tersebut. Dan agar manusia mengalihkan perhatian mereka kepadanya sekaligus mengingatkan akan manfaatnya yang besar.

- Menurut Sunnah
Seluruh manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap nikmat waktu yang telah Allah berikan kepadanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara; Tentang badannya, untuk apa ia gunakan, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia beramal dengannya." (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syekh Al Albani).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah mengabarkan bahwasanya waktu adalah salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang harus disyukuri. Jika tidak, maka nikmat tersebut akan diangkat dan pergi meninggal pemiliknya. Manifestasi dari syukur nikmat adalah dengan memanfaatkannya dalam ketaatan dan amal-amal shaleh. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada dua nikmat yang kebanyakan orang merugi padanya ; waktu luang dan kesehatan." (HR. Bukhâri).

WAKTU LUANG, MANFAATKANLAH!

Waktu luang adalah salah satu nikmatyang banyak dilalaikan oleh manusia. Maka Anda akan melihat mereka menyia-nyiakannya dan tidak mensyukurinya. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,

"Gunakanlah lima perkara sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang ajalmu." (HR. Hâkim, dishahihkan oleh Al Albâni).

5 KIAT MENJAGA WAKTU

1. Introspeksi diri
Tanyakan pada diri Anda; Apa yang telah Anda lakukan pada hari ini? Di mana Anda memanfaatkan waktu Anda? Dalam hal apa Anda menghabiskan waktu Anda? Bertambahkah amal baik Anda hari ini ataukah justru amal buruk Anda yang bertambah? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan mambantu Anda untuk tidak menyia-nyiakan waktu luang Anda.

2. Camkan, waktu yang berlalu tak mungkin kembali!
Hari-hari akan pergi. Setiap waktu akan berlalu. Setiap kesempatan akan tertutup. Tak mungkin mengembalikan dan menggantikannya. Inilah makna perkataan Al Hasan—rahimahullah, "Tiada hari yang berlalu atas anak Adam kecuali ia akan berkata, "Wahai Anak Adam! Aku adalah hari yang baru, dan atas segala perbuatanmu ada saksi. Apabila aku meninggalkanmu, maka aku tidak akan pernah kembali kepadamu. Maka kerjakanlah apa yang kau kehendaki, engkau akan mendapatkannya di sisimu. Dan tundalah apa yang engkau kehendaki, maka ia tidak akan pernah kembali selamanya."
3. Ingat saat Kematian Menjelang
Ingatlah ketika manusia akan beranjak meninggalkan dunia dan di hadapannya terhampar alam akhirat. Kala itu ia berangan, kalaulah ia diberikan perpanjangan umur untuk memperbaiki apa-apa yang telah ia rusak dari kehidupannya, dan untuk mengejar apa-apa yang telah ia lewatkan dalam kehidupannya. Akan tetapi, tutuplah rapat-rapat angan-angan kosong ini. Kesempatan beramal telah berakhir dan telah datang hari perhitungan dan pembalasan.

4. Jauhi berteman dengan orang-orang yang menyia-nyiakan waktu
Berteman dengan orang-orang malas dan berbaur dengan orang-orang yang biasa menyia-nyiakan waktunya akan berpengaruh terhadap tindakan dan perbuatan Anda. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Kenalilah seseorang dengan melihat dengan siapa ia berteman, karena orang yang menemaninya adalah semisal dengannya."


5. Ingatlah bahwa Anda akan ditanya tentang waktu Anda di hari kiamat
Ketika manusia berdiri di hadapan Rabb-nya pada hari itu, lalu ia ditanya tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya? Di mana ia manfaatkan? Dalam hal apa ia gunakan?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak akan bergeser kaki seorang hamba sampai ia ditanya tentang lima perkara. Tentang umurnya, di mana ia habiskan? Tentang masa mudanya, dalam hal apa ia habiskan?...."

Maka seyogyanya bagi orang-orang yang berakal memanfaatkan waktu luangnya dengan perkara-perkara yang baik. Jika tidak, maka nikmat tersebut akan berubah menjadi bencana.

Wallahu Waliyyuttaufiq

dari http://wahdah.or.id/

KIAT MEMBUANG PIKIRAN KOTOR

Assalamu’alaikum,
Ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana caranya untuk menghilangkan pikiran kotor? karena hal itu membuat saya tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Apakah saya harus diruqyah? dan apakah saya harus segera menikah? terima kasih. Wassalamu’alaikum.

Dian

Jawaban Ustadz:

‘Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Cara untuk menghilangkan pikiran kotor dapat dilakukan dengan beberapa hal
berikut:

Pertama,
Menjauhi segala sebab yang dapat menimbulkan hal tersebut seperti menonton film, membaca cerita porno atau berita tentang terjadinya pemerkosaan, begitu juga melihat gambar porno, serta menjaga pandangan dari melihat wanita (apa lagi di negeri kita porno aksi sebagai santapan yang biasa dinikmati), semoga Allah melindungi kita dari fitnah wanita dan fitnah dunia.

Kedua,
Mengambil pelajaran dari kisah para nabi atau orang sholeh yang mampu menjaga diri ketika dihadapkan kepada fitnah wanita, seperti kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam, betapa beliau saat digoda oleh wanita yang bangsawan lagi cantik, tapi hal itu tidak mampu menebus tembok keimanan beliau, bahkan beliau memilih untuk ditahan dari pada terjerumus ke dalam maksiat.

Ketiga,
Ingat akan besarnya pahala diri di sisi Allah yang dijanjikan bagi orang yang mampu menjaga kehormatan diri sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tujuh golongan yang akan mendapat naungan dari Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah disebutkan di antaranya adalah seorang pemuda yang diajak untuk melakukan zina oleh seorang wanita cantik lagi bangsawan, anak muda itu menjawab: “Aku takut pada Allah”. Di samping mengingat tentang balasan yang akan diterimanya dalam surga yaitu bidadari yang senyumnya berkilau bagaikan cahaya, silakan baca bagaimana kecantikan bidadari yang diceritakan Allah dalam Al Quran.

Keempat,
Ingat betapa besarnya azab yang akan diterima bagi orang yang melakukan zina silakan baca ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan zina, seperti yang disebutkan dalam hadits bawa para pezina akan diazab dalam gerbong yang berbentuk kerucut, yang arah kuncupnya ke atas di bawahnya dinyalakan api bergelora dan membara, mereka melayang-layang dalam gerbong yang berbentuk kerucut tersebut karena disembur api dari bawah, tapi tidak bisa keluar karena lobang atas gerbong itu sangat kecil. Mereka berteriak dan memekik sekuat-kuatnya, sehingga pekik satu sama lainnya pun menyiksa. Semoga Allah menjauhkan kita dari api neraka.

Kelima,
Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat, jangan banyak menyendiri dan berkhayal. Di samping selalu berdoa kepada Allah supaya dihindarkan dari berbagai maksiat.

Keenam,
Bila memiliki kemampuan untuk berkeluarga ini adalah jalan yang paling terbaik yang dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bila tidak mampu maka usahakan berpuasa Senin Kamis, wallahu a’lam.

***
Dijawab Oleh: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra,M.A.

Artikel www.konsultasisyariah.com

MENANGIS KARENA TAKUT ALLAH

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya;

[1] seorang pemimpin yang adil,

[2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala,

[3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid,

[4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya,

[5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’,

[6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan

[7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).”

(HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])



Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.



Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”



Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).



Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).



Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.



al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”



Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.



Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.



Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”



Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah!

Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih?

Wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu?

“Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).

Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlaqis salaf?



Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

http://abumushlih.com/

SIAPA SYAIKH ABDUL WAHAB??

Meluruskan Pemahaman Keliru Tentang Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Rabu, 12-Agustus-2009, Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Abdul Aziz As Sindi


Semenjak berlalunya tahun-tahun yang panjang, dalam kurun waktu yang lama, kontroversi tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan dakwahnya masih terus berjalan. Antara yang mendukung dan yang menentang, atau yang menuduh dan yang membela.
Yang perlu diperhatikan mengenai ucapan orang-orang yang menentang Syaikh yang melontarkan kepada beliau dengan bebagai tuduhan, bahwa perkataan mereka tak disertai dengan bukti. Apa yang mereka tuduhkan tidak mempunyai bukti dari perkataan Syaikh, atau didasarkan pada apa yang telah ditulis dalam kitabnya, tapi hanya sekedar tuduhan yang dilontarkan oleh pendahulu, kemudian diikuti oleh orang setelahnya.
Saya yakin tak ada seorangpun yang berfikir objektif kecuali dia mengakui bahwa cara terbaik untuk mengetahui fakta yang sebenarnya adalah dengan melihat kepada yang bersangkutan, kemudian mengambil informasi langsung dari apa yang telah disampaikannya.

Kitab-kitab Syaikh dapat kita temui, perkataan-perkataannya pun juga masih terjaga. Dengan mengacu kepada itu semua akan terbukti apakah isu-isu tersebut benar atau salah. Adapun tuduhan-tuduhan yang tidak disertai dengan bukti hanyalah fatamorgana yang tak ada kenyataanya.
Dalam lembaran-lembaran ini, berisi catatan-catatan ringan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan amanah dinukil dari kitab-kitabnya yang valid. Saya telah mengumpulkannya dan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar menyusun.
Catatan berisi jawaban-jawaban langsung dari Syaikh terhadap tuduhan-tuduhan kepada beliau yang dilancarkan oleh para penentangnya. Dengan jelas ditepisnya segala apa yang dituduhkan. Saya yakin –dengan taufiq dari Allah .- hal itu cukup untuk menjelaskan kebenaran bagi siapa yang benar-benar mencarinya.
Adapun yang membangkang terhadap Syaikh dan dakwahnya, senang menyebarkan kedustaaan dan kebohongan, perlu saya katakan kepada mereka : kasihanilah dirimu sesungguhnya kebenaran akan jelas, agama Allah akan menang dan matahari yang bersinar terang tak akan bisa ditutupi dengan telapak tangan.

Inilah perkataan Syaikh menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, kalau Anda mendapatkan perkataan Syaikh yang mendustakannya maka tampakkan dan datangkanlah jangan Anda sembunyikan…..! Namun kalau tidak –dan Anda tidak akan mendapatkannya- maka saya menasehati Anda dengan satu hal : hendaklah Anda menghadapkan diri kepada Allah dengan menanggalkan segala hawa nafsu dan fanatisme, meminta kepada-Nya untuk memperlihatkan al haq dan membimbingmu kepadanya, kemudian Anda fikirkan apa yang telah dikatakan oleh orang ini (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), apakah dia membawa sesuatu yang bukan dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.

Lalu fikirkan sekali lagi: apakah ada jalan keselamatan selain perkataan yang benar dan membenarkan al haq. Bila telah tampak bagi Anda kebenaran maka kembalilah kepada akal sehat, menujulah kepada al haq, sesungguhnya hal itu lebih baik dari pada terus menerus berada dalam kebatilan, hanya kepada Allah saja segala perkara dikembalikan.

HAKEKAT DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Sebagai permulaan pembahasan kita akan lebih baik kalau kita menukil beberapa perkataan ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam menjelaskan apa yang beliau dakwahkan, jauh dari awan gelap propaganda yang dilancarkan para penentangnya yang mereka menghalangi kebanyakan manusia agar jauh dari dakwah tersebut. Beliau mengatakan :
"Aku katakan –hanya bagi Allah segala puji dan karunia dan dengan Allah segala kekuatan- : sesungguhnya Tuhanku telah menunjukkanku ke jalan yang lurus, agama lurus agama Ibrahim yang hanif dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik. Dan aku –Alhamdulillah-, tidak mengajak kepada madzhab salah seorang sufi, ahli fikih, filosof, atau salah satu imam-imam yang aku muliakan…..
Aku hanya mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, aku mengajak kepada sunnah Rasulullah . yang beliau menasehatkan ummatnya dari yang awal sampai yang akhir untuk selalu mengikutinya. Aku berharap semoga aku tidak menolak segala kebenaran bila telah sampai kepadaku, bahkan aku persaksikan kepada Allah, para malaikat dan semua makhluk-Nya, siapapun diantara kalian yang menyampaikan kebenaran kepadaku, pasti akan aku terima dengan sepenuh hati, dan aku akan memukulkan ke tembok setiap perkataan para imamku yang bertentangan dengan kebenaran, kecuali Rasulullah . karena beliau tidak mengatakan kecuali kebenaran". (Ad Durarus Saniyyah: jilid 1, hal: 37,38).
"Dan aku –segala puji hanya milik Allah-, hanyalah mengikuti, bukan mengada-ada". (Mu’allafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 36).

"Gambaran mengenai permasalahan yang sebenarnya adalah aku katakan : tidak ada yang boleh didoai kecuali Allah saja tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): "maka janganlah kamu berdoa kepada seorangpun bersamaan dengan Allah" (Q.S. Al Jin : 18).
Allah juga berfirman berkaitan dengan hak Nabi-Nya (yang artinya): Katakanlah : "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan-pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan" (Q.S. Al Jin : 21)
Demikianlah firman Allah dan apa yang disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah kepada kita, ….. inilah antaraku denganmu, kalau ada yang menyebutkan tentangku di luar daripada itu, maka itu adalah dusta dan kebohongan". (Ad Durarus Saniyyah : 1/90-91).

Masalah Pertama : I’TIQAD BELIAU TENTANG NABI

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab difitnah para musuhnya dengan berbagai tuduhan keji berkaitan dengan i’tiqadnya terhadap Nabi, tuduhan itu berupa :

Pertama : beliau tidak menyakini bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam adalah nabi penutup.
Dikatakan demikian, padahal semua kitab-kitab beliau penuh berisi tentang bantahan terhadap syubhat itu. Berikut ini menunjukkan kebohongan tuduhan tersebut, diantaranya dalam perkataan beliau :

"Aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad . adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba pun sampai dia beriman dengan diutusnya beliau serta bersaksi akan kenabiannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 32)
"Makhluk paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah yang paling tinggi dalam mengikuti dan mencocoki beliau (Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam) dalam ilmu dan amalannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:32)

Kedua : Dia telah menghancurkan hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak meletakkan beliau pada kedudukannya yang pantas.
Untuk melihat hakikat beliau sebagai tertuduh, saya nukilkan sebagian perkataan yang telah beliau tegaskan berkaitan dengan apa yang diyakini tentang hak Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau berkata:
"Tatkala Allah berkehendak menampakkan tauhid dan kesempurnaan agama-Nya, agar kalimat-Nya adalah tinggi dan seruan orang-orang kafir adalah rendah, Allah mengutus Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam. Beliau terus menerus dikenal dalam setiap generasi, bahkan dalam Taurat dan Injil telah disebutkan, sampai akhirnya Allah mengeluarkan mutiara itu, antara Bani Kinanah dengan Bani Zuhrah. Maka Allah mengutusnya pada saat terhentinya pengutusan para rasul, lalu menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Beliau mempunyai tanda-tanda dan petunjuk tentang kebenaran kenabian sebelum diangkat menjadi nabi, yang tanda-tanda tersebut tidak terkalahkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Allah membesarkan beliau dengan baik, mempunyai kehormatan tertinggi pada kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling mulia, paling lembut dan paling benar dalam berucap, akhirnya kaumnya memberikan julukan dengan Al Amin, karena Allah telah menciptakan pada beliau keadaan-keadaan bagus dan budi pekerti yang diridhai-Nya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 90-91).

"Dan beliau adalah pemimpin para pemberi syafa’at, pemilik Al Maqamul Mahmud (kedudukan hamba yang paling mulia di hari kiamat), sedang Nabi Adam . dan orang-orang sesudahnya akan berada di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 86).

"Utusan yang pertama adalah Nabi Nuh Alaihis Salam dan yang paling akhir serta paling mulia adalah Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:143)
"Beliau telah menyampaikan penjelasan dengan cara terbaik dan paling sempurna, manusia yang paling menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba Allah, belas kasih terhadap orang-orang yang beriman, telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan terus menerus menyembah Allah sampai beliau wafat. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:21).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengambil kesimpulan dari sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kamu sampai aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan semua manusia. Beliau mengatakan : "Kewajiban mencintai Rasulullah . melebihi cinta terhadap diri sendiri, keluarga maupun harta". (Kitabut Tauhid, hal : 108).

Ketiga : mengingkari syafaat Rasululullah Sholallahu Alaihi Wasallam.
Syaikh berkenan menjawab syubhat ini, beliau mengatakan : "Mereka menyangka bahwa kami mengingkari syafaat Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Maha suci Engkau Allah, ini adalah tuduhan yang besar. Kami mempersaksikan kepada Allah . bahwa Rasulullah . adalah pemberi syafaat dan diberi kekuasaan oleh Allah untuk memberi syafaat, pemilik Al Maqamul Mahmud. Kita meminta kepada Allah Yang Maha Mulia, Tuhan Arsy yang agung untuk memberikan syafaat kepada beliau untuk kita, dan mengumpulkan kita di bawah panjinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 63-64)

Syaikh telah menjelaskan sebab penyebaran propaganda dusta ini, beliau berkata: "Mereka itu ketika aku sebutkan apa yang telah disebutkan Allah dan Rasul-Nya . serta semua ulama dari segala golongan, tentang perintah untuk ikhlas beribadah kepada Allah, melarang dari menyerupakan diri dengan Ahlul Kitab sebelum kita yang mereka itu menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, mereka mengatakan : kamu merendahkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali!". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 50)

Masalah Kedua : TENTANG AHLUL BAIT

Termasuk tuduhan yang diarahkan kepada Syaikh : beliau tidak mencintai Ahlul Bait Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan menghancurkan hak mereka. Jawaban atas pernyataan ini : Apa yang dikatakan itu bertentangan dengan kenyataan, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengakui akan hak mereka untuk dicintai dan dimuliakan. Beliau konsisten dengan hal ini bahkan mengingkari orang yang tidak seperti itu. Beliau rahimahullah berkata :
"Allah telah mewajibkan kepada manusia berkaitan dengan hak hak terhadap ahlul bait. Tidak boleh bagi seorang muslim menjatuhkan hak-hak mereka dengan mengira ini adalah termasuk tauhid, padahal hal itu adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Kita tidak mengingkari kecuali apa yang mereka lakukan berupa penghormatan terhadap ahlul bait disertai dengan keyakinan mereka pantas untuk disembah, atau penghormatan terhadap mereka yang mengaku dirinya pantas disembah". (Mu’allafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal:284)

Dan bagi siapa saja yang mau memperhatikan biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan membuktikan apa yang telah dia katakan. Cukuplah diketahui beliau telah menamai enam dari tujuh putranya dengan nama para ahlul bait yang mulia –semoga Allah merahmati mereka. Keenam putra itu adalah : Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan bukti yang jelas menunjukkan betapa besar kecintaan dan penghargaannya terhadap ahlul bait.

Masalah Ketiga : KAROMAH PARA WALI

Beredar isu di kalangan orang bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari karomah para wali. Menepis kebohongan ini, di beberapa tempat Syaikh rahimahullah telah merumuskan aqidah beliau yang tegas berkaitan dengan masalah ini, berbeda jauh dengan apa yang selama ini tersebar. Diantaranya terdapat di dalam sebuah perkataannya tatkala beliau menerangkan tentang aqidah beliau :
"Dan aku meyakini tentang karomah para wali". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

Bagaimana mungkin beliau dituduh dengan tuduhan tersebut, padahal dia mengatakan bahwa orang yang mengingkari karomah para wali adalah ahli bid’ah dan kesesatan, beliau berkata:

"Dan tidak ada seorangpun mengingkari karomah para wali kecuali dia adalah ahli bid’ah dan kesesatan". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 1, hal: 169)

Masalah Keempat : TAKFIR (Pengkafiran -red)

Termasuk perkara terbesar yang disebarkan berkenaan dengan Syaikh dan orang-orang yang mencintainya adalah dikatakan mengkafirkan khalayak kaum muslimin dan pernikahan kaum muslimin tidak sah kecuali kelompoknya atau yang hijrah kepadanya. Syaikh telah menepis syubhat ini di beberapa tempat, diantara pada perkataan beliau :
"Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allah, ini adalah kedustaan besar". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)
"Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini. Aku berlepas diri kepada Allah dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allah memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)
"Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama Rasulullah . kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillah- tidaklah seperti itu". (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

Masalah Kelima : ALIRAN KHAWARIJ

Sebagian orang ada yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa dia berada di atas aliran khawarij yang mengkafirkan manusia hanya karena kemaksiatan biasa. Untuk menjawabnya kita ambil dari redaksi perkataan Syaikh rahimahullah sendiri. Beliau rahimahullah berkata :
"Aku tak menyaksikan seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia masuk surga atau masuk neraka kecuali orang yang telah disaksikan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat. Aku tidak mengkafirkan seorang dari kaum muslimin pun hanya karena dosa biasa dan aku tak mengeluarkannya dari agama Islam". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

Masalah Keenam : TAJSIM (Menjisimkan/ menyerupakan Allah dengan makhluk)

Termasuk yang digembar-gemborkan juga tentang Syaikh adalah beliau dianggap mujassim, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Beliau telah menerangkan keyakinan dia tentang masalah ini dan ternyata sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :
"Termasuk beriman kepada Allah adalah: beriman dengan apa yang Allah sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya, tanpa adanya tahrif (merubah teks maupun makna dari nash aslinya -pent) ataupun ta’thil (menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan terhadap diri-Nya -pent), bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah ., Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allah sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allah. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allah dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allah. Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allah menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli takyif (menggambarkan hakikat sifat-sifat Allah) maupun ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli tahrif maupun ahli ta’thil, maka Dia berfirman (yang artinya): Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam (Q.S. As Shaffat : 180-182) (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)
"Dan sudah dimaklumi bahwa ta’thil adalah lawan dari tajsim, ahli ta’thil adalah musuh ahli tajsim, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)

Masalah Ketujuh : MENYELISIHI PARA ULAMA

Sebagian manusia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyelisihi semua ulama dalam dakwahkannya, tidak melihat kepada perkataan mereka, tidak mengacu kepada kitab-kitab mereka dan beliau membawa barang baru serta membuat madzhab kelima.Orang yang paling bagus dalam menjelaskan bagaimana hakikatnya adalah beliau sendiri. Beliau berkata :
"Kami mengikuti Kitab dan Sunnah serta mengikuti para pendahulu yang shalih dari umat ini dan mengikuti apa yang menjadi sandaran perkataan para imam yang empat : Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris (As Syafi’i) dan Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmati mereka". (Muallafatus Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, jilid 5, hal: 96)

"Bila kalian mendengar aku berfatwa dengan sesuatu yang dengannya aku keluar dari kesepakatan (ijma’) ulama, sampaikan perkataan itu kepadaku". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 53)
"Bila kalian menyangka bahwa para ulama bertentangan dengan apa yang aku jalani, inilah kitab-kitab mereka ada di depan kita". (Ad Durarus Saniyyah jilid 2, hal: 58)
"Aku membantah seorang bermadzhab hanafi dengan perkataan ulama-ulama akhir dari madzhab hanafi, demikian juga penganut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, semua saya bantah hanya dengan perkataan ulama-ulama mutaakhirin yang menjadi rujukan dalam madzhab mereka". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:82)
"Secara global yang saya ingkari adalah : keyakinan terhadap selain Allah dengan keyakinan yang tidak pantas bagi selain Allah. Bila Anda dapati aku mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, maka buanglah. Atau dari kitab yang kutemukan sedang disepakati untuk tidak diamalkan, buanglah. Atau saya menukil dari ahli madzhabku saja, buanglah. Namun bila aku mengatakannya berdasarkan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya . atau berdasarkan ijma’ ulama dari segala madzhab, maka tidaklah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpaling darinya hanya karena mengikuti seorang ahli di zamannya atau ahli daerahnya, atau hanya karena kebanyakan manusia di zamannya berpaling darinya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid1,hal:76)

PENUTUP
Sebagai penutup, disini ada dua nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab :
Pertama : bagi orang yang berusaha menentang dakwah ini berikut semua pengikutnya, serta mengajak manusia untuk menentangnya lalu melontarkan beraneka ragam tuduhan dan kebathilan. Bagi mereka Syaikh berkata :
"Saya katakan bagi yang menentangku, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi . terhadap umatnya. Aku katakan kepada mereka : kitab-kitab itu ada pada kalian, perhatikanlah kandungannya, jangan kalian mengambil perkataanku sedikitpun. Hanya saja apabila kalian telah mengerti sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam kitab-kitabmu itu maka ikutilah meskipun berbeda dengan kebanyakan manusia… Janganlah kalian mentaatiku, dan jangan mentaati kecuali perintah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang ada di dalam kitab-kitab kalian…
Ketahuilah tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali mengikuti Rasulullah .. Dunia akan berakhir, namun surga dan neraka jangan sampai ada orang berakal yang melupakannya". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:89-90)
"Aku mengajak orang yang menyelisihiku kepada empat perkara : kepada Kitabullah, kepada sunnah Rasulullah ., atau kepada ijma’ kesepakatan ahli ilmu. Apabila masih membangkang aku mengajaknya untuk mubahalah". (Ad Durarus Saniyyah : 1/55)
Kedua : bagi yang masih bimbang. Syaikh berkata : "Hendaklah Anda banyak merendah dan menghiba kepada Allah, khususnya pada waktu-waktu yang mustajab, seperti pada akhir malam, di akhir-akhir shalat dan setelah adzan.
Juga perbanyaklah membaca doa-doa yang diajarkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, khususnya doa yang tercantum dalam As Shahih bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa dengan mengucap (yang artinya): Wahai Allah Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang Memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu yang berselisih, tunjukkanlah kepadaku mana yang haq diantara yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menunjukkan ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki. Hendaklah Anda melantunkan doa ini dengan sangat mengharap kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang kesulitan yang berdoa kepada-Nya, dan Yang telah Menunjukkan Ibrahim Alaihis Salam disaat semua manusia menentangnya. Katakanlah : "Wahai Yang telah mengajari Ibrahim, ajarilah aku".
Apabila Anda merasa berat dikarenakan manusia menyelisihimu, pikirkanlah firman Allah Subahahu Wata’ala (yanga artinya) : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. (Q.S. Al Jatsiyah : 18-19)
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (Q.S. Al An’am : 118)
Ingatlah sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam As Shahih (yang artinya): "Agama Islam bermula dengan keadaan dianggap asing dan akan kembali dianggap asing seperti saat bermulanya".
Juga sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu …." Sampai akhir hadits [1], juga sabda beliau (yang artinya): "Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku", juga sabdanya : "Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah kesesatan". (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 42-43)
"Jika telah jelas bagimu bahwa ini adalah al haq yang tidak diragukan lagi, dan sudah merupakan kewajiban untuk menyebarkan al haq itu serta mengajarkannya kepada para wanita maupun pria, maka semoga Allah merahmati orang yang menunaikan kewajiban itu dan bertaubat kepada Allah serta mengakui al haq itu pada dirinya. Sesungguhnya orang yang telah bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak mempunyai dosa sama sekali. Semoga Allah menunjukkan kami dan Anda sekalian dan semua saudara-saudara kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam…" (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:43)2.


Catatan Kaki
[1] Lengkapnya adalah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia secara serta merta, akan tetapi mencabutnya dengan memwafatkan para ulama. Sampai apabila tidak menyisakan seorang yang alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan manusia" (HR. Bukhari Muslim).
Makalah ini diterjemahkan oleh Muhammad Hamid Alwi,
dari teks aslinya berjudul: "Tashihu Mafahim Khati’ah"
Sumber: http://www.salafyoun.com/forumdisplay.php?f=35&langid=5
Sebuah Situs yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Bin Ramzan Al Hajiry Hafidzahullah
Risalah Syaikh Muhammad Bin Ramzan pernah dimuat dalam Majalah An Nashihah
http://salafivilla.blogspot.com/2009/07/meluruskan-pemahaman-keliru-tentang.html

SIAPA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Syaikhul Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin menampakkan dien-Nya,
maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam rahimahullahu sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini. Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah, kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil (istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.
Salah seorang murid beliau, Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar rahimahullahu (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam. Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata, menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang semua itu? Tidakkah mereka mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah (demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya, karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat, ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan sendi-sendi kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya) tentang istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam lancang menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan tawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam memuji kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.

3. Tahdzir (agar menjauh) dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beliau. Akhirnya mereka men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa waktu. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.

4. Menuduh Syaikhul Islam sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan bertawassul dan sebagainya.

Bantahan terhadap Sebagian Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah kepalsuan, tuduhan dusta, dan tanpa bukti. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semestinya, mereka yang melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah), maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya, maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf, berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi atau ditambah.
Berbagai tuduhan yang ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh q, mereka telah melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut Nabi Nuh q:
ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang diutus kepada mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)
Apalagi terhadap pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pewaris nabi dan rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni rahimahullahu (wafat 449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu, dia mengatakan:
Tanda-tanda/ciri-ciri ahli bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.2
Tanda-tanda kaum zanadiqah (orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah3, karena hendak menggugurkan atsar.
Tanda-tanda Qadariyah ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).4
Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk).
Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz tersebut. Wallahul musta’an.
Tetapi, semua julukan itu tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya, terlebih terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.
Sebagaimana telah diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai mujassimah atau musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7 mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah8 (yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itulah sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Karena salah memahami makna tauhid dan tanzih9, mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada). Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada, karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah beliau, tanpa menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat sifat itu (takyif).
Termasuk kedustaan yang paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu adalah nukilan pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib, sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu baik ‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan mujassimah. Apalagi mengatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah rahimahullahu? Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak menganggapnya sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ziarah kubur. Ada yang mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak? Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya, hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan.
Telah shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “...Sesungguhnya jawaban beliau dalam masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para nabi... Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak dahulu kala...
Tidaklah hal itu dibawa oleh yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada penyimpangan....”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid. Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Lembaran dan waktu yang tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati umat Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara warisan beliau dan memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.

Sumber Bacaan:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis doktoral).
14. Da'wah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.

1 Apa yang diuraikan di sini hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang shahih dari salafus shalih, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu semata-mata kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan, yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat 'Aqidah Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu.
8 Golongan Mu’aththilah (yang menolak sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program Komputer Asy-Syamilah, kecuali 13, 14, 15 dan 16.

MENJADI HAMBA YANG IKHLAS

Ikhlas, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kata yang singkat namun maknanya sangat besar.
Sebuah kata yang seandainya hilang dari diri seorang muslim, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, di dunia terlebih lagi di akhirat kelak. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika dilakukan tanpa didasari keikhlasan karena Allah Subhana wa Ta’ala.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2). Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan. Di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam).”



APA ITU IKHLAS?

Banyak ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (di mana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan). Di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, Imam Al Maqdisi dalam kitab umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain an-Nawawi dan Riyadhus



Shalihin-nya, Imam Al Baghawi dalam kitab Masobihis Sunnah, serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. Namun, apakah sebenarnya makna dari ikhlas itu sendiri?

Keikhlasan adalah ketika Anda menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanya karena Allah Subhana wa Ta'ala semata. Anda melakukannya bukan karena selain Allah. Bukan karena riya (ingin dilihat manusia) atau pun sum'ah (ingin didengar manusia). Bukan pula karena Anda ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia. Juga bukan karena Anda tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila Anda melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka insya Allah Anda telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”



IKHLAS, DALAM HAL APA?

Sebagian orang menyangka, keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, membaca al Qur'an, haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun keikhlasan pun harus ada dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika Anda tersenyum, Anda harus ikhlas. Saat Anda mengunjungi saudara dan teman-teman Anda, jangan lupakan ikhlas. Ikhlas pun harus ada ketika Anda meminjamkan saudara Anda barang yang dia butuhkan.

Tidaklah Anda lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah Subhana wa Ta'ala. Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda,

“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana Anda?” Maka dia pun berkata, “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya, “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengan-nya?” orang itu pun menjawab, “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itu pun berkata, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim).

Tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR. Bukhari Muslim).

Renungkan, “hanya” dengan sesuap makanan yang kita letakkan di mulut istri kita—apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah—maka Allah akan memberinya pahala. Sungguh keberuntungan yang sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam setiap gerak-gerik kita.



KARENA IKHLAS, AMAL KECIL PUN BERBERKAH

Bukanlah banyaknya amal semata yang dituntut dalam setiap perbuatan kita, namun

yang paling utama ada keikhlasannya. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipatgandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak—rahimahullah—berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil karena niat.”

Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata, “Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin.” Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR Muslim).

Lihatlah, betapa sederhananya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur. Anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan. Kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari Bani Israil. Ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimana lagi jika seandainya yang ditolongnya adalah seorang muslim?



Sebaliknya, amal perbuatan yang besar nilainya, tapi tidak dilakukan dengan ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Wahai, Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” Maka Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam pun menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali. Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam pun kembali menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karena-Nya.” (HR. Abu Daud dan an-Nasai).

Ada orang yang berjihad, dan itu adalah suatu amalan yang sangat besar, namun tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.



BUAH KEIKHLASAN

Seseorang yang telah beramal lalu mengikhlaskan amalanya itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala—di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam—maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perkataan Iblis—laknatullah alaihi—yang artinya, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,

kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS. Shad: 82-83).

Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah Subhana wa Ta'ala jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Yusuf alaihi salam yang artinya, “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.” (QS. Yusuf: 24).

Pada ayat ini Allah Subhana wa Ta'ala mengisahkan tentang penjagaan Allah Subhana wa Ta'ala terhadap Nabi Yusuf alaihi salam sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Tapi karena Nabi Yusuf alaihi salam termasuk di antara orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat.

Karenya, seorang hamba yang sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, maka hal tersebut merupakan indikasi minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam setiap perbuatannya.

Mari instropeksi diri dan perbaiki kembali niat-niat kita. Semoga Allah Subhana wa Ta'ala menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Robbal 'Alamin. Wallahu Waliyyu at-Taufiq. (disadur dari buletin al fikrah)

The Hajj of one who does not pray

Question: What is the ruling concerning the one who performs Hajj whilst he has abandoned prayer, either intentionally (because he believes he doesn't have to) or due to neglect? Is his Hajj acceptable?




Response: Whoever performs the Hajj whilst he does not pray because he believes it is not obligatory, then he has committed kufr by consensus and his Hajj is not accepted. However, if he does not pray out of laziness and neglect, then in this (case) there is a difference of opinion amongst the people of knowledge. From amongst them are those who view his Hajj as correct, and (likewise there are) those who view his Hajj as incorrect. And that which is correct is that it is not accepted for that which the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) said:

((The covenant that is between us and them [the disbelievers] is the prayer. Whoever abandons it has committed kufr)),

and He (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) also said:

((Between a man and disbelief and polytheism is the abandoning of the prayer)).

And this is general and encompasses both one who believes it is not obligatory and one who does not pray out of laziness or neglect.

And with Allaah lies all success and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) and his family and his companions.

Shaykh Ibn Baaz
Fataawa al-Hajj wal-'Umrah waz-Ziyaarah - Page 15

www.fatwa-online.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More