PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya.

SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka.

WAJIBNYA SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID!!

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya.

BARANG SIAPA YANG MENGAMBIL PENDAPAT YANG KELIRU DARI SETIAP ULAMA, AGAMANYA AKAN HILANG

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:.

AGAR TA'ARUF TAK BERBUAH KECEWA

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun.

SIKAP ISLAM TERHADAP ROKOK

Sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk-Nya dan agama yang hak, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dan membersihkan serta mensucikan hati mereka dari kotoran kekufuran dan kefasikan dan membebaskan mereka dari belenggu penghambaan kepada selain Allah ta’ala.


Dia (Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam) membersihkan manusia dari kesyirikan dan kehinaan kepada selain Allah dan memerintahkannya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dengan merendahkan diri dan mencintai-Nya dan meminta serta memohon kepada-Nya dengan penuh harap dan takut.

Dia juga mensucikan manusia dari setiap kebusukan maksiat dan perbuatan dosa, maka dia melarang manusia atas setiap perbuatan keji dan buruk yang dapat merusak hati seorang hamba dan mematikan cahayanya dan agar menghiasinya dengan akhlak mulia dan budi perkerti luhur serta pergaulan yang baik untuk membentuk pribadi muslim yang sempurna. Maka dari itu dia menghalalkan setiap sesuatu yang baik dan mengharamkan setiap yang keji, baik makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lainnya.

Termasuk yang diharamkan karena dapat menghilangkan kesucian adalah merokok, karena berbahaya bagi fisik dan mengdatangkan bau yang tidak sedap, sedangkan Islam adalah (agama) yang baik, tidak memerintahkan kecuali yang baik. Seyogyanya bagi seorang muslim untuk menjadi orang yang baik, karena sesuatu yang baik hanya layak untuk orang yang baik, dan Allah ta’ala adalah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik.

Berikut akan kami kemukakan beberapa fatwa dari para ulama terkemuka tentang hukum rokok : “Merokok hukumnya haram, begitu juga memperdagangkannya. Karena didalamnya terdapat sesuatu yang membahayakan, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجة

“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)

Demikian juga (rokok diharamkan) karena termasuk sesuatu yang buruk (khabaits), sedangkan Allah ta’ala (ketika menerangkan sifat nabi-Nya Shalallahu 'alaihi wassalam) berfirman: “...dia menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan yang buruk“ (Al A’raf : 157)


Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia.

Ketua: Abdul Aziz bin Baz

Wakil Ketua: Abdurrazzak Afifi.

Anggota: Abdullah bin Ghudayyan –

Abdullah bin Quud.



“Merokok diharamkan, begitu juga halnya dengan Syisyah, dalilnya adalah firman Allah ta’ala: “Jangan kalian bunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap diri kalian “ (An-Nisa : 29)

“ Jangan kalian lemparkan diri kalian dalam kehancuran” (Al-Baqarah : 195)

Dunia kedokteran telah membuktikan bahwa mengkonsumsi barang ini dapat membahayakan, jika membahayakan maka hukumnya haram. Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala:

(وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا ( النساء : 5

“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan..” (An Nisa:5)

Kita dilarang menyerahkan harta kita kepada mereka yang tidak sempurna akalnya karena pemborosan yang mereka lakukan. Tidak diragukan lagi bahwa mengeluarkan harta untuk membeli rokok atau syisyah merupakan pemborosan dan merusak bagi dirinya, maka berdasarkan ayat ini hal tersebut dilarang.

Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam juga menunjukkan pelarangan terhadap pengeluaran harta yang sia-sia, dan mengeluarkan harta untuk hal ini (rokok dan syisyah) termasuk menyia-nyiakan harta. Rasulullah e bersabda:

{ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ }

Syekh Muhammad bin Sholeh bin ‘Utsaimin

Anggota Lembaga Majlis Ulama Kerajaan Saudi Arabia


“Telah dikeluarkan sebuah fatwa dengan nomor: 1407, tanggal 9/11/1396H, dari Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa di Riyadh, sebagai berikut: “Tidak dihalalkan memperdagangkan rokok dan segala sesuatu yang diharamkam karena dia termasuk sesuatu yang buruk dan mendatangkan bahaya pada tubuh, rohani dan harta.

Jika seseorang hendak mengeluarkan hartanya untuk pergi haji atau menginfakkannya pada jalan kebaikan, maka dia harus berusaha membersihkan hartanya untuk dia keluarkan untuk beribadah haji atau diinfakkan kepada jalan kebaikan, berdasarkan umumnya firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمِ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيْهِ (ألبقرة:267

“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata darinya “ (Al Baqarah: 267)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda: “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak akan menerima kecuali yang baik “ (al Hadits)

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

(Dinukil dari : عفواً ممنوع التدخين Maaf, dilarang MEROKOK oleh Thalal bin Sa'ad Al 'Utaibi)

sumber

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya.1 Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya):


“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram.” (HR. Bukhari kitab al-Buyu : 7)

Diantara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum Muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

Definisi Pajak

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama al-Usyr2 atau al-Maks, atau bisa juga disebut adh-Dharibah, yang artinya adalah; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.”3 Atau suatu ketika bisa disebut al-Kharaj, akan tetapi al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.4

Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul-Maks atau al-Asysyar.

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah: “Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”5

Macam-macam Pajak

Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah:

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Barang dan Jasa.
Pajak Penjualan Barang Mewam (PpnBM).
Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

Adakah Pajak Bumi/Kharaj dalam Islam?

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum Muslimin terbagi menjadi dua macam:

Tanah yang diperoleh kaum Muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yang berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam

Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah (yang artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…”(QS. an-Nisa : 29)

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”6

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, diantaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab al-Imarah : 7)

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dan beliau berkata: ”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri.”

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti (yang artinya):

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka.””” (HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)

Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah: “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if al-Jami’ah ash-Shaghir kepada kitab Shahih al-Jami, dan dari kitab Dha’if at-Targhib kepada kitab Shahih at-Targhib.”7

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr. Rabi al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim halaman 45.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan.” (HR. Muslim 20/5 nomor 1695, Ahmad 5/348 nomor 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah ash-Shahihah halaman 715-716)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah: “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti.” (Lihat: Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi)

Kesepakatan Ulama atas Haramnya Pajak

Imam Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib al-Ijma (halaman 121), dan disetujui oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: ”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja.”8

Pajak Bukan Zakat

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum Muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Kemudian beliau melanjutkan: “…hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat…”9

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya:

Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishab-nya.10 Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.
Zakat berlaku bagi kaum Muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir11 karena orang kafir tidak akan menjadi suci melainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum Muslimin.
Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.12
Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnah-nya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non-Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. (Lihat al-Amwal oleh Abu Ubaid al-Qasim)

Persaksian para Salafush-Shalih tentang Pajak

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Syarh Ma’anil Atsar 2/31)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, didalamnya ia berkata: “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) al-Fidyah, al-Maidah, dan pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah:“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud : 85)Kemudian beliau melanjutkan: “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya.” (Ahkam Ahli Dzimmah 1/331)
Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul-Ulum wal-Hikam.13
Imam al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul-Qur’an (4/366): “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak).”
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh as-Sunnah (10/61): ”Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul-Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul-Authar (4/279) mengatakan: “Kata Shahibul-Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq ar-Ra’iy war-Ra’iyyah, mengatakan: “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu).”

Pemerintah Berhak atas Rakyatnya

Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, al-Muhalla (4/281); “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin.”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah (yang artinya):

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan…” (QS. al-Isra : 26)

Dalam ayat diatas dan nash-nash semisalnya, seperti al-Qur’an surat an-Nisa : 36, (surat) Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa: “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah.” (HR. Muslim : 66), semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (diantara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah.14

Bagaimana Sikap Kaum Muslimin terhadap Pajak?

Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan: “Apakah seorang Muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”

Jawabnya:

Setiap Muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori Muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap Muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang Muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum Muslimin: “Bolehkah melawan/memberontak?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat.”15

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum Muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim).16

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimpin yang zhalim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab (yang artinya):

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu.” (HR. Muslim kitab al-Imarah : 1847)

Fadhilatusy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).”17

Diantara Sumber Pemasukan Negara

Diantara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:

Zakat, yaitu kewajiban setiap Muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishab-nya. Disamping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum Muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat at-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum Muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.
Harta warisan yang tidak habis terbagi. Didalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul-mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul-mal.18
Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya.19
Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum Muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum Muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam al-Qur’an surat al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul-mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui baitul-mal.
Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam poin “Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?” diatas.
Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
Hasil tambang dan semisalnya.

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

Penutup

Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. (QS. ar-Rum : 41)

Diantara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat kita jawab: Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya):

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” QS. al-A’raf : 96)

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samar.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (diantaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala larangan-Nya (diantaranya menanggalkan beban pajak atas kaum Muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidak pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu a’lam.

Catatan Kaki:

^ Lihat QS. Ali-Imran : 117 dan HR. Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
^ Lihat Lisanul-Arab 9/217-218, al-Mu’jam al-Wasith halaman 602, cetakan al-Maktabah al-Islamiyyah dan Mukhtar ash-Shihah halaman 182.
^ Lihat Lisanul-Arab 9/217-218 dan 13/160 cetakan Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarah-nya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul-Authar 4/559 cetakan Darul Kitab al-Arabi.
^ Lihat al-Mughni 4/186-203.
^ Dinukil definisi pajak ini dari buku “Nasehat Bijak ‘Tuk Para Pemungut Pajak” oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
^ Hadits ini shahih, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush-Shagir 7662, dan dalam Irwa’al-Ghalil 1761 dan 1459.
^ Lihat Silsilah ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 halaman 1198-1199 oleh al-Albani.
^ Lihat “Nasehat Bijak…” hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan al-Washim wal-Qawashim halaman 49 oleh Dr. Rabi al-Madkhali.
^ Lihat “Nasehat Bijak ‘Tuk Pemungut Pajak” halaman 88 oleh Ibnu Saini.
^ Lihat QS. at-Taubah : 60.
^ Lihat al-Mughni 4/200.
^ Asal perkataan ini diucapkan oleh al-Jashshah dalam Ahkamul-Qur’an 4/366.
^ Lihat Iqadh al-Himmam al-Muntaqa Jami’ al-Ulum wal-Hikam halaman 157.
^ Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr. Abdul Ghaffar Sulaiman al-Bandari 4/281-282).
^ HR. Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu.
^ Hadits nomor 28 dalam kitab al-Arbain An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 2676, dan Ahmad 4/126.
^ Lihat al-Fatawa as-Syar’iyah fi al-Qodhoya al-Ashriyyah halaman 93.
^ Lihat al-Khulashoh fi Ilmi al-Fara’idh hal. 375-385.
^ Lihat Lisan al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya at-Turots.

Kisah Nyata! Kejaiban Doa Seorang Ayah

Kisah ini telah diceritakan 5 tahun yang lalu, tentang kehidupan seorang laki-laki yang tinggal di Suria dan memiliki 2 orang anak perempuan dan 3 anak laki-laki.Waktu itu, istrinya melahirkan anak terakhirnya, dan ia seorang bayi perempuan. Sayangnya, bayi mungil ini tak memiliki retina mata, tentu mengartikan bahwa ia mengalami kebutaan.Sang Ayah tak mengetahui hal ini sampai si anak beranjak setahun umurnya, dan ketika ia mengetahuinya maka segera dibawa ke seorang dokter ahli di kotanya, dokter ini atas saran seorang kawannya. Bahwa sang dokter pasti mengetahui obat dari sakit putrinya.

Sampailah ia di klinik, dan duduk di depan meja sekretaris dokter. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya sang sekretaris meminta bayaran sejumlah uang ( sebelum bertemu dengan dokter ), namun karena keinginan yang begitu besar untuk kesembuhan putrinya, sang Ayah segera membayar sesuai yang diminta.

Setelah menunggu seperempat jam, masuklah sang Ayah dan putrinya ke ruangan dokter. setelah melkukan pemeriksaan dokter berkata " Putrimu ini mengalami penyakit yang tak mungkin disembuhkan, keadaannya sangat parah dan memprihatinkan, dan penyakit ini adalah penyakit keturunan yang didapatkannya dari neneknya"

Maka pulang lah sang ayah dan putrinya dengan kesedihan yang sangat mendalam, seolah dunia begitu berat di wajahnya.

Berlalu 2 bulan, dan pada suatu hari sang Ayah melihat kesedihan yang tak terperikan pada istrinya. Maka ia mengatakan " marilah kita mengadakan perjalanan ke Damaskus besok " dan istrinya pun menyetujui.

Keesokan hari, sesampainya di ibukota mereka berjalan ke pasar alhamidiyyah dan kebeberapa tempat lain.Dan diakhir perjalanan, tibalah mereka di Kampus Umayyah, dan sang Ayah berkata " Mari kita masuk ke masjid" ( dan putrinya yang buta bersama ayahnya)

Pertama kali ia menginjakkan kakinya di halamn masjid sang Ayah berdoa " Ya Rabbiy...Semua pintu telah tertutup kecuali pintu-Mu ya Allah, Maka bukakan lah untuk kami Ya Rabbiy, dan sembuhkanlah penglihatan putriku"

Lalu mereka melanjutkan perjalan pulang dan tiba pada waktu Ashar.

Sebulan setelah perjalanan itu, di waktu makan malam...lampu padam. Istrinya dalam keadaan tidur, dan putrinya berada di sampingnya. Sag Ayah memasuki rumah dengan senter ditangannya. Dalam kegelapan ini ia mengarahkan cahaya senter ke wajah putrinya, dan alangkah kagetnya ia ketika melihat pandangan putrinya mengikuti cahaya itu. Diulanginya beberapa kali, dan kejadian yang sama pun berulang. Kebahagiaan meliputi dadanya, keadaan yang gelap gulita seolah menjadi terang benderang

Keesokan harinya, sang Ayah membawa putrinya ke dokter yang dikunjunginya beberapa bulan yang lalu, setelah dokter memeriksanya ia menyatakan bahwa si anak sembuh 100%, dan ini sangat mengejutkannya.

Sang Ayah berkata dengan bahagianya pada dokter " ini kenyataan yang terjadi, sy tak sedang bermain denganmu dokter"

kemudian, ia membawa putrinya pulang dengan kesenangan yang berlimpah, wajah yang berseri-seri. dan tentu ini terjadi karena keutamaan Allah ta'ala atas do'a-do'a hamba-Nya.

Dan kepada-Nya lah segala urusan diserahkan....

Kisah ini dituliskan dalam bahasa arab dan di alihbahasa kan dengan tambahan dari penarjim tanpa mengurangi makna ( ummu faari' )

Kisah Menakjubkan!!

Akhawatiy al mahbubah, berikut ini adalah kisah yang telah diceritakan seorang wanita muslimah…kisah nyata yang sangat menyentuh hatiku kala menyimaknya, maka kuingin kalian pun membacanya..


----------

Pagi ini kubangun dengan cepat sebagaimana kebiasaanku..walaupun ini hari libur, begitupula anakku Reem, terbiasa dengan bangun lebih pagi.

Lalu Saya duduk di ruang kerjaku dan mulai menyibukkan diri dengan buku-buku dan lembaran-lembaran kertasku..

“Mama, apa yang kau tulis?”

“Saya menulis surat untuk Rabb, nak”

“Apakah kau mengizinkaku untuk membacanya mama?”

“Tidak anakku sayang, ini surat yang sangat special dan tidak kuizinkan siapa pun membacanya”

kukeluarkan Reem dari ruang kerjaku, dan dia sangat sedih, namun kuyakin ia telah terbiasa dengan perlakuan ku itu, karena penolakanku bukan sekali ini saja tapi telah berulang kali

Berlalu beberapa pekan kejadian itu, hingga suatu hari Saya masuk ke kamar Reem dan dia sangat terkejut gugup dengan kedatanganku…Ada apa?mengapa ia seperti itu?

“Reem…apa yang sedang kau tulis?”

Kuliahat ia makin gugup dan menjawab “ Tidak mama…ini sesuatu yang spesial”

Apa gerangan yang telah dituliskan seorang anak sembilan tahun, dan ia khawatir untuk kuketahui??!!

“ Saya menulis surat untuk Rabb, sepertimu ….”

Ucapannya terputus tiba-tiba, lalu ia meneruskan “ tapi…apakah yang kita tulis ini akan sampai pada-Nya mama?

“Tentu anakku…sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu…”

Ia tetap tak mengizinkan ku membaca apa yang telah ditulisnya, Saya pun keluar dari kamarnya dan menemui suamiku Rasyid yang sedang sakit untuk membacakannya koran pagi sebagaimana biasanya, lisanku membaca baris demi baris isi koran namun fikiranku tak lepas dari anakku…ternyata Rasyid memperhatikan ekspresiku… dan menduga bahwa dirinya sebab kesedihanku… ia mencoba meyakinkanku untuk menghadirkan perawat untuknya… agar bebanku sedikit berkurang…

Ya Ilahi, sungguh Saya tak pernah berfikir demikian..kudekap dan kukecup kepalanya yang dipenuhi beban dan peluh karena memikirkan diri ini dan anaknya Reem..dan membuatku turut bersedih hari ini..lalu kusampaikan padanya sebab resah dan sedih ku…

Hari ini Reem kesekolah, dan ketika ia kembali kerumah ,dokter sedang terburu-buru memeriksa Ayahnya yang sakit, ia pun duduk disamping ayahnya memberi semangat dengan penuh cinta.

Sebelum Dokter beranjak pergi, ia menjelaskan kepadaku bahwa keadaan Rasyid semakin memburuk. dan seolah Saya lupa kalau Reem masihlah sangat kecil, hingga tanpa kasihan padanya Saya berterus terang bahwa hati ayahnya yang dipenuhi cinta untuk Reem kini telah melemah, dan ia hanya mampu bertahan hidup tidak lebih dari 3 pekan lagi. Hancur hati Reem, ia mulai menangis dan berkata :

“Mengapa semua ini menimpa Ayah? mengapa?”

“Doakanlah kesembuhan untuk Ayah Reem, kita harus melewati semua ini dengan tegar, dan tidak melupakan rahmat Allah, sungguh Dia Maha Kuasa atas segala yang terjadi..dan kau sudah besar..” Reem menyimak semua apa yang diucapkan Ibunya, berusaha menghilangkan kesedihannya, menepis jauh rasa sakitnya dan berusaha untuk tampak tegar, kemudian berkata : “ Ayah ku tak akan mati “

Setiap pagi Reem mencium pipi ayahnya yang hangat, namun pagi ini ia menciumnya dengan tatapan kasih penuh harap, dan berkata : “ Semoga suatu hari nanti kau bisa mengantarku seperti teman-temanku yang lain…” , Ayahnya seketika diserbu keharuan dan kesedihan namun berusaha ia tutupi, ia berkata : “ InsyaAllah, akan datang hari dimana Saya akan mengantarmu Reem..” dan ia yakin ucapannya barusan tak akan pernah mampu menyempurnakan kebahagiaan putri kecilnya.

Kuantar Reem kesekolahnya, dan setiba di rumah tiba-tiba rasa ingin tahu akan surat yang ditulis Reem untuk Allah muncul, maka kumencari dikamarnya, namun setelah pencarian yang panjang ku tak menemukannya. Dimana surat itu???! Apakah ia merobek setelah menulisnya??!

Hah…mungkin di kardus ini, kardus yang ia minta dariku berulang kali, maka kukosongkan dan kuberikan padanya..Ya Ilahiy…kardus ini berisi surat yang sangat banyak…dan semuanya untuk Allah!

**Ya Rabb…Ya Rabb..matikanlah anjing Sa’id tetangga kami …karena ia telah membuatku takut!!

**Ya Rabb...Biarkanlah kucing kami melahirkan anak yang banyak..menggantikan anak-anaknya yang banyak mati!!!

**Ya Rabb…Luluskanlah sepupuku…karena Saya mencintainya!!

**Ya Rabb…Jadikanlah bunga-bunga di kebun kami tumbuh dengan cepat…untuk Saya petik dan berikan ke guruku tiap harinya!!

Dan banyak lagi surat-surat yang lain, yang begitu lugu ia tuliskan dan surat terakhir yang kubaca berbunyi :

**Ya Rabb..kuatkanlah akal pembantu kami..agar tidak membebani ibuku..

Ya Ilahiy, semua suratnya telah terjawab, anjing tetangga kami telah mati lebih dari sepekan yang lalu, kucing kami pun telah melahirkan anak yang banyak, Ahmad telah lulus dengan nilai yang tinggi, bunga-bunga bermekaran dengan cepat, dan Reem memetiknya tiap hari untuk gurunya…

Ya Ilahiy, mengapa Reem tak menuliskan surat dan memohon untuk kesembuhan Ayahnya dari sakit??...!!

Sedih bercampur bingung meliputi hatiku…belum juga reda sampai Saya dikagetkan deringan telpon, pembantu kami mengangkatnya lalu memanggilku,

“ Nyonya…dari guru Reem..”

“Iya, ada apa bu?ada apa dengan Reem?apa dia melakukan sesuatu?”

Ia menyampaikan bahwa Reem jatuh dari lantai 4..ketika ia membawakan bunga gurunya yang tidak hadir di sekolah hari ini.. ia menjulurkan kepalanya dari balkon.. bunganya terjatuh…dan ia pun terjatuh..

Pukulan yang sangat keras bagiku tak mampu kuberbuat apapun begitu pula Rasyid..dan keterkejutan ini membuatnya tak mampu menggerakkan lisannya sejak hari itu

“Mengapa Reem harus meninggal…Saya sungguh tak mampu memikirkan kematian putriku tercinta..”

Dan kini seolah Saya menipu diriku sendiri dengan kesekolah Reem tiap pagi seperti mengantarnya, kukerjakan semua apa yang ia senangi untuk kulakukan, semua sudut rumah mengingatkanku padanya, senantiasa kuteringat suara tawa nya yang menghidupkan suasana di rumah ini..beberapa tahun berlalu…namun terasa hanya beberapa hari saja…berjalan begitu lambat

Pagi hari jum’at…tiba-tiba pembantu kami datang dan ia ketakutan berkata..bahwa ia mendengar suara berasal dari kamar Reem…Ya Ilahiy, apakah masuk akal kalau Reem kembali?? ini gila..

“Kamu mengkhayal..” Saya belum pernah menginjakkan kaki di kamar ini sejak kematian Reem..

Rasyid bersikeras agar Saya ke kamar Reem dan melihat ada apa disana..

Kumasukkan kunci di pintu dengan hati was-was …kubuka pintu dan tak sanggup mengendalikan diri..Saya duduk dan terus menangis…kuhempaskan badanku di tempat tidurnya..ahh…kenangan!!

Reem pernah menyampaikan berulang kali padaku kalau tempat tidurnya bergeser jika ia bergerak, dan mengeluarkan suara…dan Saya selalu lupa untuk memanggil tukang kayu untuk memperbaikinya…tak ada guna lagi sekarang…

Tapi, dari mana asal suara tadi…ya, itu suara dari jatuhnya lukisan ayat kursi yang ia hias karena sangat semangat membacanya tiap hari sampai ia menghafalkannya..

Ketika Saya mengangkatnya untuk memasang kembali, Saya menemukan secarik kertas yang ia taruh dibelakang lukisan…Ya Ilahiy, ini salah satu suratnya…Apa gerangan isi surat ini??!! dan mengapa Reem meletakkannya di belakang tulisan ayat mulia??!! surat ini salah satu dari surat-surat yang dituliskannya untuk Allah…dan di dalamnya tertulis :

**Ya Rabb…Ya Rabb..Matikanlah Saya…dan hidupkanlah Ayahku…!!

--------Kisah ini dikomentari oleh Syaikh Ayman as Samiy yang dituliskannya dengan tinta emas,

Assalamu ‘alaikum..

Kisah ini Saya baca sekitar dua tahun yang lalu, dan Saya bersumpah demi Allah tak akan meneteskan air mata ketika membacanya. Tapi, Demi Allah Saya menuliskan komentar ini dengan air mata yang bercucuran. Sungguh mereka adalah orang-orang yang berhati besar. Bersedia mati untuk menghidupkan orang lain.Apakah dunia ini menghargai mereka? Apakah seluruh manusia tahu bahwa ada orang yang bersedia terbakar untuk orang lain? dan ada orang yang bersedia mati untuk umat ini?

Ya…Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam..yang telah Allah muliakan…

“لعلك باخع نفسك ألا يكونوا مؤمنين "


Mungkin Kamu akan bunuh diri disebabkan kesedihan dan keprihatinan dari tidak berimannya mereka..namun, sungguh mereka tidaklah benar-benar mati, dan Allah memberi mereka kehidupan yang kekal..


" ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون "


("Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah mati, akan tetapi mereka hidup di sisi Allah dengan penuh rezki")

Allahumma…berikanlah kami kematian yang bisa menghidupkan umat

Allahumma…jangan halangi diri ini dan semua hamba-hamba-Mu yang ikhlas dari umat ini untuk mati syahid di jalan-Mu…

Allahumma Amiin….

---------------------- ditarjim dari kisah asli arabic oleh ummu faari’ (29 juli 2007, peraduan yang indah )

SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Oleh: Rahmat A. Rahman
Ketua Lembaga Kajian & Konsultasi Syariah Wahdah Islamiyah

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka, baik ketika berdampingan dengan Rasulullah saw. maupun setelah beliau wafat.


Keberadaan dan peran mereka di tengah-tengah umat merupakan bukti nyata kegemilangan dakwah Rasulullah s.a.w., yang diutus sebagai Rasul untuk membina umat manusia ke jalan keselamatan. Mereka-lah para pahlawan yang selalu tegar di garda terdepan membela dan menyebarkan agama ini. Melalui tetes keringat dan darah mereka syariat ini abadi. Dan sejarah membuktikan, bahwa ketulusan dan keikhlasan hati mereka mengemban amanah Rasulullah saw itu, menjadikan mereka generasi teladan sepanjang sejarah umat manusia.

Merekalah generasi yang tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah saw. Menyaksikan dan mendengar segala yang berkaitan dengan agama ini langsung dari beliau saw. Karenanya, mereka ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup. Dan semua ini tergores apik dalam tinta emas sajarah peradaban umat. Hingga tidak heran kalau kemudian mereka ditahbis sebagai tonggak penegak kelangsungan ajaran Islam.

Melihat hal tersebut, wajar jika mereka menjadi target makar musuh-musuh agama. Sebab dengan merusak kredibilitas dan persepsi umat tentang mereka, akan lebih mudah mengacaukan manhaj yang benar dalam memahami dan merealisasikan syariat Islam. Berbagai pencemaran nama baik dilakukan firqah-firqah sesat sejak sepeninggal Rasulullah saw hingga saat sekarang ini. Contoh yang paling nyata dalam sejarah, adalah munculnya fitnah Khawarij dan Syiah, yang begitu getol menyudutkan para sahabat. Akan tetapi, beruntunglah para sahabat ra yang mengambil langsung hidayah dari tangan Nabi saw, hingga dengannya mereka sanggup keluar dari fitnah tersebut, bahkan menjelaskan kepada umat sikap dan posisi semestinya menghadapi semua itu.

Terakhir, kami ingatkan, bahwa fitnah dan upaya memecah belah umat Islam melalui jalan merusak ‘adalah para sahabat, tidak pernah berhenti. Dan Rasulullah saw. memberi jalan kepada kita: “Tetapilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidun al-Mahdiyun setelahku …”. Semoga Allah swt. membimbing kita agar terhindar dari fitnah yang merusak agama.

A. DEFINISI SAHABAT RASULULLAH SAW.
Secara bahasa: Shahabi merupakan pecahan dari kata as-Shuhbah, yang berarti Mu’asyarah (pergaulan atau persahabatan). Disebutkan dalam kitab “Lisanul Arab”: kata Shaahabahu bermakna ‘asyarahu, (yakni, menemaninya dan bersamanya).

Dan di dalam kamus al-Mishbah al-Munir karya al-Fayumi, disebutkan: Kata as-Shuhbah diarahkan pada orang yang sempat melihat dan duduk (bersama sahabatnya).

Sedangkan secara istilah, shahabi adalah: “Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”. Maka termasuk dalam kategori ini semua mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. baik dalam waktu lama maupun singkat, meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun tidak, turut berperang beserta beliau maupun tidak, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal seperti buta…”. (Ibnu Hajar dalam kitabnya: al-Ishabah I/6-8)

Cara mengetahui status seseorang sebagai sahabat adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Baits al-Hatsits hal. 185, “Status sahabat dapat diketahui melalui (berita) mutawatir, atau berita yang mustafîdhah (banyak namun di bawah derajat mutawatir), atau dengan kesaksian sahabat yang lain, atau bisa juga dengan meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, baik secara sama’ (mendengar) ataupun menyaksikan, selama berada satu zaman (dengan Nabi).”

B. KEDUDUKAN SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Untuk menjelaskan kedudukan shahabat Rasulullah saw. dalam ajaran Islam maka dapat dilihat pada ayat-ayat dan hadits-hadits berikut ini:
I. Dalil-dalil dari al-Qur’an:
Ayat Pertama:

َقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. (Qs: al-Fath : 18).

Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma berkata: “Jumlah kami saat itu sebanyak seribu empat ratus orang”. (Riwayat al-Bukhari, no. 4154)

Ayat ini merupakan dalil yang jelas akan persaksian Allah Ta’ala dan tazkiyah atas para sahabat. Dan ini merupakan bentuk persaksian terhadap apa yang ada dalam hati mereka, sebab Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang terkandung di dalamnya. Dari sini lahirlah keridhaan-Nya atas mereka. Dan siapa yang Allah Ta’ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam. Disamping keridaan itu tidak mungkin terwujud melainkan jika kematian mereka berada di atas agama Islam.

Dan hal ini lebih ditegaskan lagi oleh hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا

“Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai’at di bawah (pohon)”. HR. Muslim, no. 2496.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Fashl fil Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal IV/116: Siapa yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita, bahwa Ia mengetahui apa yang ada dalam hati-hati mereka, ridha terhadapnya, serta menurunkan sakinah (ketenangan) atasnya, maka tidak halal bagi siapa-pun untuk tawaqquf (tidak mengakui keutamaan tersebut) atau ragu tentang mereka.

Ayat Kedua:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Qs: al-Fath : 29).

Imam Malik rahimahullah berkata: Telah sampai padaku (berita) bahwa kaum Nashrani jika menyaksikan para sahabat yang menaklukkan negeri Syam, mereka berujar: “Demi Allah, mereka itu lebih baik ketimbang kaum Hawariyyun sebagaimana yang kami ketahui tentang mereka. Perkataan ini merupakan bukti kejujuran. Sebab umat ini begitu diagungkan dalam kitab-kitab samawi. Dan yang paling mulia dan agung adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dimana Allah Ta’ala telah memuliakan penyebutan mereka dalam kitab-kitab samawi yang diturunkan, serta dalam kabar-kabar yang diwariskan secara turun-temurun.( Tafsir Ibnu Katsir IV/204, cet. Darul Ma’rifat. Lihat pula: Al-Isti’ab, Ibnu Abdil Barr, I/6 cet. Daar al-Kitab al-Arabi. )

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam tafsirnya Zaadul Masir VII/446: “Sifat ini diarahkan kepada seluruh sahabat, menurut jumhur ulama”.

Ayat Ketiga:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ، وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ، وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman…. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs: al-Hasyr : 8 – 10).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan sifat-sifat mereka yang berhak mendapat harta faiy, dan mereka itu terbagi atas tiga golongan: Fuqara’ al-Muhajirin (orang-orang fakir yang berhijrah), orang-orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, serta orang-orang yang datang sesudah kaum Muhajirin dan Anshar.

Olehnya, Imam Malik rahimahullah -sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya IV/339- menggunakan ayat ini sebagai dalil, bahwa siapa yang mencela para sahabat maka tidak ada bagiannya dari harta faiy itu. Sebab padanya tidak terdapat sifat yang Allah Ta’ala puji bagi mereka -golongan ketiga-, yakni ucapan mereka: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami”.
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu berkata: Manusia itu terdiri dari tiga tingkatan: Dua tingkatan telah berlalu, dan tinggal satu tingkatan lagi. Maka yang paling terbaik bagi kalian adalah menjadi bagian dari golongan yang masih tinggal tersebut, -lalu beliau membaca ayat ini-. Yakni, hendaklah engkau memohonkan ampun bagi mereka (Kaum Muhajirin dan Anshar). Riwayat al-Hakim

Ayat Keempat:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs: at-Taubah : 100).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul hal. 572, berkata: Allah Ta’ala ridha atas orang-orang terdahulu yang pertama masuk Islam, tanpa syarat ihsan. Dan Ia tidak meridhai bagi mereka yang datang kemudian, melainkan jika mengikuti mereka dengan baik (ihsan).

Ayat kelima:

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs: al-Hadid : 10).
Imam at-Thabari meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dari Imam Mujahid dan Qatadah yang berkata: Al-Husna dalam ayat ini bermakna: Surga.
Ibnu Hazm rahimahullah berhujjah dengan ayat ini kala menyatakan: Bahwa tidak diragukan lagi, seluruh sahabat termasuk ahli surga, seperti firman Allah Ta’ala: “Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik –yakni surga –”.( Al-Fashl Fii al-Milal Wa al-Ahwa Wa an-Nihal, IV/116)

Ayat keenam:

وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آَمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ ، رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ ، لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ، أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): “Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk”. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. at-Taubah : 86-89)
Sejarah membukukan, bahwa para sahabat seluruhnya menghadiri perang Tabuk tersebut, kecuali orang-orang yang terhalangi udzur dari golongan para wanita dan orang tua renta. Adapun tiga orang yang tertinggal darinya, seperti disebutkan dalam surah at-Taubah, sungguh telah turun ayat yang mengabulkan taubat mereka setelah itu.

II. Dalil-dalil dari as-Sunnah
Hadits Pertama:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ …

Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Hadits Kedua:

عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما تلك الفرقة قال ما انا عليه اليوم وأصحابي

Dari Anas ibn Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semua di neraka kecuali satu”. Mereka bertanya: Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah saw. ? Beliau menjawab: “Yang (mencontoh) kepadaku dan para sahabatku saat ini”. HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam as-Shagir no. 724

Hadits Ketiga:
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu:

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : ” اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُم “

“Apakah engkau mengetahui, bahwa Allah Ta’ala telah melihat (ke dalam hati) orang-orang yang ikut dalam perang Badar, lalu Ia berfirman: “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian”.HR. al-Bukhari, no. 3983, dan Muslim, no. 2494
Makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas, bahwasanya amal-amal keburukan mereka (yang ikut dalam perang Badar) telah diampuni, seakan ia tak pernah terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu hajar al-Atsqalani dalam kitab Ma’rifatul Khishal al-Mukaffirah hal. 31
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya al-Fawaid hal. 19 berkata: Allah Ta’ala lebih mengetahui, bahwa pernyataan ini ditujukan pada mereka yang tidak bakal meninggalkan agamanya. Bahkan mereka akan mati di atas agama Islam. Walau terkadang jatuh dalam dosa sebagaimana yang terjadi pada selain mereka. Akan tetapi, Allah Ta’ala tidak meninggalkan mereka berketerusan dalam kubangan dosa tersebut, bahkan Ia melimpahkan taufiq-Nya untuk bertaubat nashuha dan memohon ampun. Sungguh, perbuatan yang baik itu akan menghapuskan segala bekas-bekas yang ditinggalkan oleh dosa. Penghkususan ini dikarenakan hal itu telah terjadi, dan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang mendapat ampunan”.

Hadits Keempat:

عن أبي موسى الأشعري، أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: ” النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُون”.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bintang-bintang itu penjaga bagi langit, jika ia lenyap maka terjadilah pada langit apa yang telah dijanjikan. Aku adalah penjaga bagi sahabatku, jika aku telah tiada, maka akan terjadi pada sahabatku apa yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah penjaga umat ini, jika mereka tiada, maka akan terjadi pada umat ini apa yang dijanjikan”. HR. Muslim, no. 2531

Hadits Kelima:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه، أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: ” أَكْرِمُوا أَصْحَابِي ، فَإِنَّهُمْ خِيَارُكُمْ “.

Dari Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah (generasi) terbaik kalian”. HR. Abdun Ibnu Humaid dan al-Hakim dengan sanad Shahih. Lihat Misykat al-Mashabih, Syaikh al-Albani, III/1695

Hadits Keenam:

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : ” لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي “.
Dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat dan menemaniku. Demi Allah, kalian akan senatiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat orang yang melihatku dan berteman dengan orang yang menemaniku”. (HR. Ibnu Abi Syaibah, XII/178, Ibnu Abi ‘Ashim, II/630, at-Thabarani dalam al-Kabir, XXII/85. Dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath, VII/5. al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam al-Majma’, X/20: Diriwayatkan oleh at-Thabarani melalui beberapa jalur, dan salah satunya melalui perawi-perawi shahih).

Hadits Ketujuh:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ “.

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda iman itu cinta kepada kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar”. (HR. al-Bukhari, no. 3500, dan Muslim, no. 74).

Di dalam beberapa riwayat bahkan disebutkan secara eksplisit jaminan syurga kepada banyak sahabat, seperti yang disebut dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi no. 4112 dan selainnya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ »

bersabda: “Abu Bakar di syurga, Umar di syurga, Utsman di syurga, Ali di syurga, Thalhah di syurga, Zubair di syurga, Abdurahman ibn Auf di syurga, Sa’ad (ibn Abi Waqqash) di syurga, Said (ibn Zaid ibn Amru ibn Nufail) di syurga, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah di syurga”
Sebenarnya masih banyak hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan dan ‘adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Olehnya, Imam Ahmad rahimahullah mengumpulkan kurang lebih dua ribu hadits dan atsar yang berkaitan dengan keutamaan para sahabat dalam kitab beliau Fadhail al-Shahabah. Dan kitab yang terdiri dari dua jilid ini telah ditahqiq Dr. Washiyullah bin Muhammad Abbas, dan dicetak oleh Jami’ah Ummul Quro, th. 1403 H.

C. KEDUDUKAN SAHABAT RASULULLAH SAW. DI KALANGAN AHLUL BAIT
1. Saling hormat dan cinta.
Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang yang paling menghormati dan mencintai keturunan dan keluarga Rasulullah saw. -yang beriman-. Sebab mereka faham, bahwa di antara tuntutan cinta kepada Rasulullah saw., adalah cinta kepada keluarga beliau yakni istri, anak, paman, sepupu, cucu dan kerabat dekat Rasulullah saw. Disamping itu, mereka -dan seluruh umat Islam- mendapat wasiat khusus dari Rasulullah saw. untuk tidak menyakiti keluarga beliau saw., sebagaimana riwayat Zaid ibn Arqam ra., oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 2408). Dalam sejarah, perkataan dan sikap para sahabat Rasulullah saw. terhadap Ahlul Bait merupakan bukti akan penunaian wasiat tersebut. Perhatikan ucapan sahabat yang mulia, Abu Bakar ra, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (7/98):
“Sungguh, keluarga Rasulullah saw. lebih aku cintai dari keluargaku sendiri”
Bahkan Zaid ibn Tsabit ra. ketika bertemu Abdullah bin Abbas ra. di sebuah jalan, beliau turun dari kendaraan lalu mempersilahkan beliau mengendarainya, seraya berkata: “Demikianlah Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk memperlakukan (dengan baik) keluarga beliau”.
Demikian pula Ahlul Bait menghormati dan menghargai para sahabat Rasulullah saw. yang bukan dari kerabat beliau saw. Imam Bukhari dan Imam at-Tirmidzi (no: 3891), meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Saya berdiri di tengah kerumunan orang yang mendoakan Umar ibnul Khatthab ra. (setelah beliau ditikam), saat beliau dibaringkan di pembaringan. Tiba-tiba seorang yang ada di belakang saya meletakkan lengannya di atas pundakku seraya berkata: Semoga Allah merahmatimu wahai Umar, saya berharap Allah mengumpulkanmu bersama kedua sahabatmu. Sungguh, saya sering mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Adalah saya bersama Abu Bakar dan Umar, saya berbuat bersama Abu Bakar dan Umar, saya pergi bersama Abu Bakar dan Umar”, maka saya sungguh berharap Allah mengumpulkanmu kembali bersama keduanya. Saya (Ibnu Abbas) lalu menoleh ke belakang, ternyata orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib”.

Dalam banyak riwayat yang shahih, ketika Ali ibn Abi Thalib ra. ditanya tentang orang yang paling mulia setelah Rasulullah saw., dengan tegas beliau menjawab: Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman ra., bahkan beliau mengancam akan mencambuk siapa saja yang melebihkan beliau atas Abu Bakar dan Umar ra. (Lihat riwayat al-Bukhari , Imam Ahmad dalam Musnad Ali ibn Abi Thalib ra. no. 834, 836, 837,879,880, dan Imam Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 1001 dan 826).
Riwayat-riwayat yang banyak tentang penghargaan Ahlul Bait kepada para sahabat telah dihimpun oleh Imam as-Syaukani dalam sebuah buku berjudul: “Irsyadul Gabhiy ila Madzhabi Ahlil Baiti fie Sahbi an-Nabiy”.

2. Hubungan pernikahan antara sesama mereka.
Dalam riwayat-riwayat shahih disebutkan, Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah binti Abi Bakar dan Hafshah binti Umar. Abu Bakar menikah dengan Asma binti Umais yang sebelumnya dinikahi oleh Ja’far ibn Abi Thalib, lalu sepeninggal Abu Bakar, ia dinikahi oleh Ali ibn Abi Thalib ra. Ummu Farwah binti al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (cucu Abu Bakar ra.) dinikahi oleh Muhammad ibn Ali al-Baqir, Umar ibn al-Khattab menikahi anak Ali ibn Abi Thalib ra. yang bernama Ummu Kultsum.

3. Ali ibn Abi Thalib dan keturunan beliau ra. menamakan anak-anak mereka dengan nama sahabat.
Di antara anak keturunan Ali ibn Abi Thalib ra. ada yang bernama Abu Bakar, Umar dan Utsman. Al-Hasan menamakan anak beliau Abu Bakar, dan dua orang dengan nama Umar. Demikian pula al-Husain, Ali Zainul Abidin menamai anak beliau Umar dan Utsman, dan beliau senang dipanggil dengan kunyah Abu Bakar. al-Kazhim, ar-Ridha dan al-Hadi menamakan putri-putri mereka dengan nama Aisyah.

D. HUKUM MENGHINA DAN MEMAKI SAHABAT RASULULLAH SAW.

Pengertian Menghina Para Shahabat
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah sebagaimana tersebut dalam kitab Hukmu Sabbi as-Shahabah hal. 25 menafsirkan maksud dari memaki para sahabat, yakni perkataan yang dapat menjatuhkan sifat ‘adalah (taqwa dan wara’) para sahabat, bahwa mereka telah berbuat zalim dan fasiq sepeninggalan Nabi shallallahu alaihi wasallam, serta mengambil urusan bukan di atas kebenaran.
Atau, membicarakan sesuatu (berkenaan dengan para sahabat) untuk tujuan merendahkan atau menghina. Dan segala yang dapat dipahami oleh akal manusia (menjurus ke arah demikian), menurut perbedaan keyakinan mereka. Seperti melaknat, menyematkan (pada mereka) gelar-gelar buruk dan lain sebagainya.( As-Sharim al-Maslul,Ibnu Taimiyah, hal: 561, Daar Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H )

Hukum Menghina dan Memaki Sahabat
Menghina dan memaki para sahabat merupakan perbuatan tercela sekaligus dosa yang sangat besar. Bahkan pelakunya bisa keluar dari Islam atau kafir. Yang demikian, jika hinaan terhadap sahabat itu berkaitan dengan agama mereka. Misalnya menganggap mereka atau sebagian dari mereka telah kafir, murtad atau fasiq. Perbuatan ini, tidak diragukan lagi dapat membuat pelakunya kafir. Adapun jika celaan tersebut berkenaan dengan sifat-sifat (akhlak) pribadi para sahabat Nabi, maka kelancangan ini bisa berbuah dosa besar yang pelakunya wajib diberi hukuman.
Adapun perkataan ulama tentang hukum orang yang menghina sahabat, adalah sebagai berikut:

Imam Malik rahimahullah berkata: “Mereka yang membenci para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang kafir”.(Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir V/367-368.)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: Wajib atas pemerintah memberi hukuman dan siksaan serta tidak boleh memberi maaf baginya (penghina sahabat). Bahkan harus menegakkan hukum dan memaksanya untuk bertaubat.(As-Sunnah, Ahmad bin Hambal, hal: 78, Tahqiq: Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami, Beirut, th. 1400 H / 1980 M. )

al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Menghina salah satu dari mereka (sahabat) merupakan dosa besar. Menurut kami dan jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan demikian pantas mendapat ta’ziir (hukuman setimpal menurut kebijaksanaan hakim). (Al-Syifa Bi Ta’riifi Huquq al-Mushtafa, II/653, tahqiq: Muhammad Amin Qurrah Ali, Muassassah Ulum al-Qur’an, Damaskus.)

al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata: Yang merupakan pendapat para fuqaha (ahli Fiqhi Islam) tentang hukum menghina sahabat: Jika ia menghalalkan perbuatan tersebut maka ia kafir, namun jika tidak menghalalkan maka ia fasiq.(Hukmu Sabbi as-Shahabah, Ibnu Taimiyah, hal: 33.)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Ketahuilah, bahwa menghina sahabat hukumnya haram dan termasuk perbuatan haram yang keji, hukum ini sama saja apakah terhadap (sahabat) yang terkena fitnah atau selain mereka.(Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, XVI/93, Daar al-Fikr, Beirut, th. 1401 H / 1981 M.)

Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin.

Dalil-dalil yang mengharamkan menghina para sahabat
Hadits Pertama:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري قال: َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ”.

Dari Abu Sa’id ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian mencela seorang-pun dari sahabatku. Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya”. HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541

Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: “Jangan kalian memaki sahabat-sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat puluh tahun”. Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, I/32.

Hadits Kedua:

عن عويم بن ساعدة رضي الله عنه :” أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي أَصْحَابًا ، فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ وَأَنْصَارًا ، فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ، لا يَقْبَلُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْلا”.

Dari Uwaim bin Sa’idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memilih diriku, lalu memilih untukku para sahabat dan menjadikan mereka sebagai pendamping dan penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah”. HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Sanadnya Shahih, dan disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157

Hadits Ketiga:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ”.

Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berhati-hatilah tentang sahabatku, jangan kalian jadikan mereka bahan ejekan sepeninggalanku. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cintaku aku mencintainya. Dan siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti aku maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka pasti Ia akan menyiksanya”. (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh al-Albani menyatakan dha’if dalam Dha’if at-Tirmidzi no: 808.)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan akan haramnya mencela para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

ALASAN MENGAPA MENGHINA SAHABAT, HUKUMNYA KAFIR
Adapun alasan mengapa menghina para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menuduh mereka dengan kekufuran, kefasikan dan sebagainya bisa membuat pelakunya keluar dari Islam, adalah sebagai berikut:

Pertama: Perkataan bahwa para penyampai al-Qur’an dan Sunnah (para sahabat) itu kafir atau fasiq mengandung konsekwensi keraguan terhadap keduanya. Sebab, celaan pada para penyampainya pada hakikatnya merupakan celaan pada apa yang mereka sampaikan, yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua: Perkataan ini merupakan pengingkaran terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah, berupa keterangan akan keridhaan Allah Ta’ala atas mereka. Padahal, pengetahuan yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang keutamaan mereka itu sifatnya qath’i. Dan siapa yang mengingkari suatu perkara yang telah qath’i maka ia telah kafir.

Ketiga: Perbuatan ini menyakiti baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebab mereka adalah sahabat-sahabat yang memiliki tempat khusus dalam hati beliau. Menghina seseorang yang khusus baginya tidak diragukan lagi dapat menyakiti beliau. Dan menyakiti beliau shallallahu alaihi wasallam merupakan satu kekafiran sebagaimana ditegaskan para ulama.
Akan tetapi, semua ini tidak berarti bahwa Ahlussunnah mengkultuskan dan menganggap para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang suci yang ma’shum dari kesalahan tidak sebagaimana asumsi kaum Syiah akan kema’shuman Ahlul Bait. Para sahabat radhiyallahu anhum dalam pandangan Ahlussunnah adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan, baik di saat bersama Rasulullah saw., ataupun sepeninggal beliau. Namun kesalahan-kesalahan tersebut jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka yang begitu banyak, serta perjuangan mereka melanjutkan risalah Rasulullah saw., adalah ibarat butir-butir pasir pada padang sahara yang luas atau tetes-tetes air di samudra membentang. Imam at-Thahawi berkata dalam matan kitab Aqidah-nya yang merupakan salah satu kitab induk Ahlussunnah:
“Dan kami cinta kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. namun kami tidak berlebih-lebihan dalam cinta kepada seorangpun di antara mereka dan juga tidak berlepas diri dari seorangpun dari mereka. Kami benci kepada yang membenci mereka atau menyebut mereka dengan selain kebaikan, maka kami tidak menyebut-nyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah bagian dari agama, iman dan ihsan, sedangkan benci mereka adalah kekufuran, nifaq dan tindakan berlebih-lebihan”.

E. CONTOH TEKS DALAM KITAB INDUK KAUM SYIAH YANG MEMAKI BAHKAN MENGKAFIRKAN SAHABAT RASULULLAH SAW.
Sebagian umat Islam menuduh Ahlussunnah membuat fitnah atas kaum Syiah tentang sikap mereka terhadap sahabat Rasulullah saw. Padahal memang demikian adanya. Olehnya, kami nukilkan beberapa teks dalam kitab induk Syiah yang memberi ketegasan akan sikap mereka terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw. Dan ini hanya sebagai contoh kecil dari contoh-contoh yang begitu banyak tersebar, wallahul musta’an.

a. Riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi 1/420

الحسين بن محمد، عن معلى بن محمد، عن محمد بن اورمة وعلي بن عبدالله، عن علي بن حسان، عن عبدالرحمن بن كثير، عن أبي عبدالله عليه السلام في قول الله عزوجل: ” إن الذين آمنوا ثم كفروا ثم آمنوا ثم كفروا ثم ازدادوا كفرا لن تقبل توبتهم ” قال: نزلت في فلان وفلان وفلان، آمنوا بالنبي صلى الله عليه وآله في أول الامر وكفروا حيث عرضت عليهم الولاية، حين قال النبي صلى الله عليه وآله: من كنت مولاه فهذا علي مولاه، ثم آمنو بالبيعة لامير المؤمنين عليه السلام ثم كفروا حيث مضى رسول الله صلى الله عليه وآله، فلم يقروا بالبيعة، ثم ازدادوا كفرا بأخذهم من بايعه بالبيعة لهم فهؤلاء لم يبق فيهم من الايمان شئ

“Al-Hasan ibn Muhammad, dari Ma’la ibn Muhammad, dari Muhammad ibn Urmah dan Ali ibn Abdullah, dari Ali ibn Hassan, dari Abdurrahman ibn Katsir, dari Abu Abdillah as. tentang firman Allah “Sesungguhnya orang-orang beriman kemudian mereka kafir kemudian mereka beriman kemudian mereka kafir kemudian bertambah kekafirannya tidaklah taubat mereka diterima selama-lamanya”, beliau berkata: ayat ini turun pada fulan, fulan dan fulan. Mereka beriman kepada Nabi saw. saat pertama, lalu kafir setelah diperhadapkan kepada al-wilayah (kepemimpinan Ali), yaitu ketika Nabi bersabda: Siapa yang menjadikanku mawla’ maka Ali-lah mawla’nya. Kemudian mereka beriman dengan berbaiat kepada Amirul Mukminin as., lalu setelah itu kafir sepeninggal Rasulullah saw., dimana mereka menolak berbaiat, lalu bertambah kekafiran mereka dengan membaiat yang mereka baiat. Sungguh, mereka-mereka itu tidak beriman sedikitpun”.

b. Riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi 1/426

الحسين بن محمد، عن معلى بن محمد، عن محمد بن اورمة، عن علي بن حسان عن عبدالرحمن بن كثير، عن أبي عبدالله عليه السلام في قوله تعالى: ” وهدوا إلى الطيب من القول وهدوا إلى صراط الحميد ” قال: ذاك حمزة وجعفر وعبيدة وسليمان و أبوذر والمقداد بن الاسود وعمار هدوا إلى أمير المؤمنين عليه السلام وقوله: ” حبب إليكم الايمان وزينه في قلوبكم (يعني أمير المؤمنين) وكره إليكم الكفر والفسوق و والعصيان ” الاول والثاني والثالث

“Al-Husain ibn Muhammad, dari Ma’la ibn Muhammad, dari Muhammad ibn Urmah, dari Ali ibn Hassan, dari Abdurrahman ibn Katsir, dari Abu Abdillah as. tentang firman Allah swt. “Dan mereka ditunjuki kepada perkataan yang baik dan mereka ditunjuki jalan yang terpuji”, beliau berkata: itu adalah Hamzah, Ja’far, Ubaidah, Sulaiman (mungkin Salman), Abu Dzar, al-Miqdad ibnul Aswad, dan Ammar yang ditunjuki (jalan menuju) Amirul Mukminin as., dan firman Allah swt. “Menjadikanmu cinta kepada iman dan menghiasinya di hati kamu (yaitu Amirul Mukminin) dan menjadikanmu benci kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” yaitu: yang pertama, yang kedua dan yang ketiga (yakni: Abu Bakar, Umar dan Utsman)”

c. Riwayat al-Kulaini 1/429

وبهذا الاسناد، عن يونس، عن صباح المزني، عن أبي حمزة، عن أحدهما عليهما السلام في قول الله عزوجل: ” بلى من كسب سيئة وأحاطت به خطيئته ” قال: إذا جحد إمامة أمير المؤمنين عليه السلام ” فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون … فقال: ” الذين آمنوا به (يعني الامام) وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي انزل معه اولئك هم المفلحون ” يعني الذين اجتنبوا الجبت والطاغوت أن يعبدوها والجبت والطاغوت فلان وفلان وفلان والعبادة طاعة الناس لهم

“Dengan sanad yang sama, dari Yunus, dari Shabah al-Muzani, dari Abu Hamzah, dari salah satu dari keduanya as. tentang firman Allah swt. “Bahkan barangsiapa yang melakukan dosa dan diliputi oleh kesalahannya”, beliau berkata: Jika ia mengingkari kepemimpinan Amirul Mukminin as. “Mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya” lalu berkata “Orang-orang yang beriman kepadanya (yaitu Ali) mendukungnya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama dengannya maka mereka itulah yang mendapatkan keberuntungan” yaitu orang-orang yang menjauhi al-Jibt dan Thagut untuk menyembahnya. al-Jibt (berhala) dan Thagut adalah fulan, fulan dan fulan, menyembahnya adalah ketaatan manusia kepada mereka”.

Kalimat fulan dan fulan dalam beberapa riwayat ini ditegaskan kemudian oleh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar- nya yaitu: Abu Bakar dan Umar (23/306).

d. Riwayat al-Kulaini dalam kitabnya al-Kafi 2/244

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، عن محمد بن اورمة، عن النضر، عن يحيى بن أبي خالد القماط، عن حمران بن أعين قال: قلت لابي جعفر عليه السلام: جعلت فداك ما أقلنا لو اجتمعنا على شاة ما أفنيناها؟ فقال: ألا احدثك بأعجب من ذلك، المهاجرون والانصار ذهبوا إلا وأشار بيده ثلاثة

“Sebagian sahabat kami meriwayatkan dari Sahl ibn Ziyad, dari Muhammad ibn Urmah, dari an-Nadhr, dari Yahya ibn Abi Khalid al-Qummath, dari Humran ibn A’yun, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Ja’far as.: Aku adalah tebusanmu, betapa sedikit jumlah kita, hingga jika berkumpul pada hidangan seekor kambing, niscaya tidak akan habis”. Maka beliau berkata: “Maukah kuberitahu tentang sesuatu yang lebih aneh dari itu ? kaum Muhajirun dan Anshar telah berlalu kecuali (lalu menunjuk hanya tiga orang)”.

e. al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, 8/208-252 mencantumkan dengan tegas bab dengan judul: Kekafiran Ketiganya (Abu Bakar, Umar dan Utsman), Sifat Nifaq dan Perbuatan Buruk Mereka.

f. Riwayat al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, 27/58

عن أبي حمزة الثمالي قال : قال أبوجعفر عليه السلام : ياأبا حمزة إنما يعبد الله من عرف الله وأما من لايعرف الله كانما يعبد غيره هكذا ضالا ، قلت : أصلحك الله وما معرفة الله ؟ قال : يصدق الله ويصدق محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله في موالاة علي والايتمام به وبأئمة الهدى من بعده ، والبراءة إلى الله من عدوهم ، وكذلك عرفان الله . قال : قلت : أصلحك الله أى شئ إذا عملته أنا استكملت حقيقة الايمان ؟ قال :توالي أولياء الله وتعادي أعداء الله وتكون مع الصادقين كما أمرك الله ، قال : قلت :ومن أولياء الله ؟ فقال : أولياء الله محمد رسول الله وعلي والحسن والحسين وعلي بن الحسين ثم انتهى الامر إلينا ثم ابني جعفر ، وأومأ إلى جعفر وهو جالس ، فمن والى هؤلاء فقد والى أولياء الله وكان مع الصادقين كما أمره الله . قلت : ومن أعداء الله أصلحك الله ؟ قال : الاوثان الاربعة ، قال : قلت : من هم ؟ قال : أبوالفصيل ورمع ونعثل ومعاوية ومن دان دينهم ، فمن عادى هؤلاء فقد عادى أعداء الله

بيان : قوله : هكذا ، كأنه عليه السلام أشار إلى الخلف أو إلى اليمين والشمال ، أي حاد عن الطريق الموصل إلى النجاة فلا يزيده كثرة العمل إلا بعدا عن المقصود كمن ضل عن الطريق ، وأبوالفصيل أبوبكر لان الفصيل والبكر متقاربان في المعنى ، ورمع مقلوب عمر ، ونعثل هو عثمان كما صرح به في كتب اللغة .

“Dari Abu Hamzah at-Tsumali, ia berkata: Abu Ja’far as. berkata: Wahai Abu Hamzah Hanyalah yang menyembah Allah itu siapa yang mengenal-Nya, adapun yang tidak mengenal-Nya, maka ia seperti menyembah selainNya -begitu ia sesat-”, aku berkata: “Semoga Allah memperbaiki anda, apakah yang dimaksud mengenal Allah ?”, beliau menjawab: “Membenarkan Allah, membenarkan Muhammad Rasulullah dalam muwalah Ali dan berimam kepadanya dan kepada para imam yang mendapat petunjuk setelahnya, serta berlepas diri kepada Allah dari para musuh mereka, demikianlah ma’rifatullah”. Aku kembali bertanya: “Semoga Allah memperbaiki anda, amalan apakah yang jika kulakukan niscaya aku telah menyempurnakan hakikat iman ?”, beliau menjawab: “Engkau berwala’ kepada wali-wali Allah dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah serta bersama kaum shadiqin sebagaimana yang Ia perintahkan”. Aku bertanya: “Siapakah wali-wali Allah ?”, beliau menjawab: “Wali-wali Allah adalah Muhammad Rasulullah, Ali, al-Hasan, al-Husain, Ali ibn al-Husain, lalu sampai ke kami, kemudian anak saya Ja’far (sambil menengok ke Ja’far yang sedang duduk), maka siapa yang berwala’ kepada mereka berarti ia sudah berwala’ kepada wali-wali Allah dan sudah bersama kaum shadiqin sebagaimana yang Allah perintahkan”. Aku bertanya lagi: “Lalu siapakah musuh-musuh Allah itu semoga Allah memperbaiki anda ?”, beliau menjawab: “Berhala yang empat”. Aku bertanya: “siapa mereka ?”, beliau menjawab: “Abu al-Fashil, Ruma’, Na’tsal dan Muawiyah serta yang mengikuti agama mereka, maka siapa yang memusuhi mereka berarti ia telah memusuhi musuh-musuh Allah.
Al-Majlisi menjelaskan: … Abu al-Fashil adalah Abu Bakar sebab kata al-Fashil semakna dengan Bakar (anak onta), Ruma’ adalah kata Umar yang dibalik, Na’tsal adalah Utsman sebagaimana yang ditegaskan di dalam kitab Bahasa Arab.

g. Riwayat al-Ayasyi dalam Tafsirnya 2/243 yang juga disebut oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar 4/378, 8/220

عن أبى بصير عن جعفر بن محمد (عليه السلام) قال: يؤتى بجهنم لها سبعة أبواب، بابها الاول للظالم وهو زريق وبابها الثانى لحبتر، والباب الثالث للثالث، والرابع لمعاوية، والباب الخامس لعبد الملك والباب السادس لعسكر بن هوسر، والباب السابع لابى سلامة فهم أبواب لمن اتبعهم
Dari Abu Bashir, dari Ja’far ibn Muhammad as. berkata: “Akan didatangkan Neraka Jahannam dengan tujuh buah pintu, pintu pertama untuk yang zalim yaitu Zariq, pintu kedua untuk Habtar, pintu ketiga untuk yang ketiga, keempat untuk Muawiyah, kelima untuk Abdul Malik, keenam untuk Askar ibn Hausar dan pintu ketujuh untuk Abu Salamah, mereka semua adalah pintu bagi pengikut-pengikutnya”.
al-Majlisi menjelaskan: zariq adalah kiasan terhadap (khalifah) yang pertama …, habtar adalah serigala dan kemungkinan dikiaskan seperti itu adalah karena tipu dan makarnya …, Askar ibn Hausar adalah kiasan terhadap para khalifah Bani Umayyah atau Abbasiyah, Abu Salamah adalah kiasan terhadap Abu Ja’far ad-Dawaniqi, dan kemungkinan Askar adalah kiasan terhadap Aisyah dan seluruh pasukan dalam perang Jamal sebab onta Aisyah bernama Askar …

h. Riwayat al-Qummi dalam tafsirnya 1/301

احمد بن الحسن التاجر قال حدثنا الحسن بن على بن عثمان الصوفى قال حدثنا زكريا بن محمد عن محمد بن على عن جعفر بن محمد (عليهما السلام) قال: لما اقام رسول الله (صلى الله عليه وآله) امير المؤمنين يوم غدير خم كان بحذائه سبعة نفر من المنافقين وهم فلان وفلان وعبدالرحمن بن عوف وسعد بن ابى وقاص وابوعبيده وسالم مولى ابى حذيفه والمغيره بن شعبة قال الثانى اما ترون عينه كانما عينا مجنون يعنى النبى الساعة يقوم ويقول قال لى ربى فلما قام قال ايها الناس من اولى بكم من انفسكم قالوا الله ورسوله قال اللهم فاشهد ثم قال الا من كنت مولاه فعلى مولاه وسلموا عليه بامرة المؤمنين فنزل جبرئيل واعلم رسول الله بمقالة القوم فدعاهم وسألهم فانكروا وحلفوا فانزل الله (يحلفون بالله ما قالوا الخ) ثم ذكر البخلاء وسماهم منافقين وكاذبين فقال (ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله ـ إلى قوله اخلفوا الله ما وعدوه وبما كانوا يكذبون)

Ahmad ibn al-Hasan at-Tajir, berkata: al-Hasan ibn Ali ibn Utsman as-Sufi telah menceritakan kepada kami, bahwa Zakariya ibn Muhammad telah menceritakan kepadanya, dari Muhammad ibn Ali, dari Ja’far ibn Muhammad as. berkata: “Ketika Rasulullah saw. mendirikan Amirul Mukminin pada peristiwa Ghadir Khum, ikut hadir di samping beliau tujuh orang munafik yaitu fulan, fulan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abu Ubaidah, Salim Mawla Abi Hudzaifah, dan al-Mughirah ibn Syu’bah. Lalu yang kedua berkata tentang Rasulullah saw. di saat berdiri: “Tidakkah kamu sekalian melihat matanya seakan-akan mata orang gila. dan berkata Tuhanku kepadaku, ketika Rasulullah berdiri, beliau berkata: Wahai sekalian manusia, siapakah yang paling utama dari diri-diri kamu ?, serentak mereka menjawab: Allah dan RasulNya, beliau berkata: Ya Allah saksikanlah. Lalu beliau berkata: “Siapa yang menjadikanku mawla maka Ali adalah mawla-nya, dan serahkanlah kepadanya kepemimpinan kaum mukminin”. Tiba-tiba malaikat Jibril turun menyampaikan kepada Rasulullah perkataan kaum tersebut, maka beliau memanggil mereka dan menanyakan akan hal itu tapi mereka mengingkarinya bahkan dengan sumpah, maka Allah menurunkan ayat: “Mereka bersumpah tidak mengucapkannya …” kemudian Ia menyebut kamu bakhil dan menamakan mereka munafiq dan pendusta: “dan di antara mereka ada yang berjanji kepada Allah jika diberi karunia … mengkhianati Allah dari apa yang mereka janjikan dan atas apa yang mereka dustakan”.

i. Kaum syiah kontemporer pun tidak luput dari tradisi buruk pendahulu mereka ini. Dalam buku doa yang dikeluarkan oleh Manshur Husain yang berjudul Tuhfatul Awam hal. 423-424 terdapat doa yang ditawtsiq oleh pemimpin-pemimpin Syiah di antaranya adalah al-Khu’i dan al-Khomeini, bunyinya:

اللهم العن صنمي قريش وجبتيها وطاغوتيها وإفكيها وابنتيهما الذين خالفا أمرك وأنكرا وحيك وجحدا إنعامك وعصيا رسولك وقلبا دينك وحرفا كتابك وأحبا أعداءك وجحدا آلاءك – كذا- وعطلا أحكامك وألحدا في آياتك …“Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy (Abu Bakar dan Umar), jibtinya, thaghutnya, pendustanya beserta kedua putri mereka (Aisyah dan Hafsah). Keduanya telah menyelisihi perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, mengingkari nikmat-Mu, bermaksiat kepada RasulMu, mengubah agamaMu, menyimpangkan KitabMu, mencintai musuh-musuhMu, mengingkari karuniaMu, meninggalkan hukum-hukumMu, ingkar terhadap ayat-ayatMu …”.
j. Dan tidak lupa Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, tokoh Syiah Indonesia, ikut akan tradisi buruk pendahulunya ini. Dalam bukunya al-Mushthafa, Manusia Pilihan Yang Disucikan (yang merupakan “copy paste” dari kitab karya Ja’far Murtadha al-Amili yang berjudul as-Shahih min Siratin Nabiyyil A’zham) hal. 24 footnote no. 6 dengan mengutip perkataan Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah: “Banyak di antara sahabat kami mengecam agama Muawiyah. Mereka tidak hanya menganggapnya fasik, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia kafir karena tidak meyakini kenabian. Mereka banyak mengutip ucapan-ucapannya yang menunjukkan ke arah itu”. Tidak ada komentar sedikitpun dari pak professor akan kutipan ini. Dan untuk diketahui bahwa buku al-Mushthafa mengandung banyak kebohongan yang dibangun di atas riwayat-riwayat dusta, namun kesempatan membahasnya insya Allah di kesempatan lain.

KESIMPULAN:
1. Sahabat Rasulullah saw. adalah generasi yang dibimbing langsung oleh Rasulullah saw. dan telah mendapatkan pujian dari Allah dan Rasul-Nya.
2. Ahlussunnah memandang bahwa sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik umat ini dan patut menjadi panutan dalam takwa dan wara’. Walaupun mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum dari kesalahan, namun kesalahan mereka tersebut tidak menjatuhkan kredibilitas mereka sedikit-pun.
3. Menghina dan mencaci sahabat Rasulullah saw. adalah kekufuran yang telah jelas keharamannya.
4. Kaum Syiah adalah kaum yang suka menghina dan mencaci sahabat Rasulullah saw.

RENUNGAN:
Generasi terbaik setiap nabi adalah sahabat-sahabat mereka, generasi terbaik Nabi Musa adalah sahabat dekat beliau, generasi terbaik Nabi Isa adalah kaum hawariyyun dan mereka adalah sahabat dekat beliau, maka bagaimana mungkin tuduhan kaum Syiah bahwa sebagian besar sahabat-sahabat Rasulullah saw. adalah kafir dan murtad sepeninggal beliau dapat diterima agama dan akal sehat ? Allahul Musta’an.

http://www.wahdah.or.id/

NASIB MENJADI WANITA SYIAH

Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung.
Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vaginal discharge).



Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka di kakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan acne vulgaris (jerawat) yang ia alami.

Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu persatu pasien berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucapkan salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang, terdapat sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.

Sejenak dokter Hanung menatap pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat dan bercadar. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter



Hanung membuka amplop hasil laboraturium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboraturium. Rasanya adalah hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin seorang wanita berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang-orang yang sering berganti-ganti pasangan sexksual.



Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.

+ “Saudari masih kuliah?”

- “Masih dok.”

+ “Semester berapa?”

- “Semester tujuh dok.”

+ “Fakultasnya?”

- “Sospol”

+ “Jurusan komunikasi massa ya?”



Kali ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.

- “Kok dokter tahu?”

+ “Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”

Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.

+ “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?



Pasien terakhir itu nampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.

- “Ada apa sih Dok…..kok tanya macam-macam?”

+ “Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita.”



Pasien terakhir ini tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.

- “Saya dari Pekalongan.”

+ “Kost-nya?”

- “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63.”

+ “Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa?”

- “Ya,..kadang-kadang Dok.”

+ “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”



Sekali lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.- “Bang Jalal siapa?” Tanyanya dengan nada agak tinggi.

+ “Tentu saja Jalaluddin Rachmat, Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia….kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin.”

- “Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut.”

+ “Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”



Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai. Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata.

- “Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab

pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…………..”



Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.

+ “Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini.”

- “Sakit apa dok?” Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat Penasaran.

+ “Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboraturium semuanya menyokong diagnosis gonorhe, penyakit yang disebabkan hubungan seksual.” Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,

“Tidak mungkin!!!”



Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandangan matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi. Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jeritan pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.



Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkit perempuan-perempuan nakal.



Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah.



Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada di depannya sore itu.



+ “Bagaimana saudari… penyakit yang anda derita ini tidak mengenai kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya ini tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti anda. Kalau itu masa lalu anda baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah,….atau mungkin ada kemungkinan yang lain,…?”

Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.



- “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !” Katanya terbata-bata.

+ “Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”

- “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”

+ “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri.”



Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasiennya itu.

+ “Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,…….. sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut.”

- “Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter.”



Dokter Hanung mengerutkan keningnya mendengar jawaban pasiennya. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisisnya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh pasiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi,……..



+ “Barangkali anda biasa kawin mut’ah?? Pasien terakhir itu mengangkat muka,

- “Iya dokter, Apa maksud dokter”?

+ “Itu kan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas.”

- “Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam dok!” Pasien itu membela diri.

+ “Ooo,…Jadi begitu,…kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut ajaran Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau Anda ingin selamat”.

- “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut Syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis.”



Sampai di sini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasiennya yang tidak mempunyai aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.

+ “Terserah apa kata saudari membela diri,… anda lanjutkan petualangan seks anda, dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu, kalau anda menghendaki kesembuhan!”

- “Ma..maaf, Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!” Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasiennya yang terbata-bata itu.

+ “Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,… sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti.”

- “Ba…baik , Dok, …Insya Allah akan saya hentikan!”



Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien terakhir itu, kemudian menyodorkan kepadanya.

- “Berapa Dok?”

+ “Tak usahlah,….saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan dari Rasulullah. Saya relakan itu untuk membeli resep saja.”

Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.

- “Terima kasih Dok,…….permisi.”



Perempuan itu kembali melangkah selangkah demi selangkah di pelataran rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai di gerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang ditelan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore itu. (pz)



http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/kawinilah-aku-kau-kukontrak-potret-nikah-mut-ah-sepasang-syiah-2-habis.htm

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More