PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya.

SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka.

WAJIBNYA SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID!!

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya.

BARANG SIAPA YANG MENGAMBIL PENDAPAT YANG KELIRU DARI SETIAP ULAMA, AGAMANYA AKAN HILANG

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:.

AGAR TA'ARUF TAK BERBUAH KECEWA

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun.

SIAPA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Syaikhul Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin menampakkan dien-Nya,
maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam rahimahullahu sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini. Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah, kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil (istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.
Salah seorang murid beliau, Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar rahimahullahu (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam. Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata, menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang semua itu? Tidakkah mereka mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah (demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya, karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat, ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan sendi-sendi kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya) tentang istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam lancang menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan tawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam memuji kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.

3. Tahdzir (agar menjauh) dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beliau. Akhirnya mereka men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa waktu. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.

4. Menuduh Syaikhul Islam sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan bertawassul dan sebagainya.

Bantahan terhadap Sebagian Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah kepalsuan, tuduhan dusta, dan tanpa bukti. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semestinya, mereka yang melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah), maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya, maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf, berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi atau ditambah.
Berbagai tuduhan yang ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh q, mereka telah melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut Nabi Nuh q:
ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang diutus kepada mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)
Apalagi terhadap pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pewaris nabi dan rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni rahimahullahu (wafat 449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu, dia mengatakan:
Tanda-tanda/ciri-ciri ahli bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.2
Tanda-tanda kaum zanadiqah (orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah3, karena hendak menggugurkan atsar.
Tanda-tanda Qadariyah ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).4
Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk).
Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz tersebut. Wallahul musta’an.
Tetapi, semua julukan itu tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya, terlebih terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.
Sebagaimana telah diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai mujassimah atau musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7 mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah8 (yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itulah sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Karena salah memahami makna tauhid dan tanzih9, mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada). Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada, karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah beliau, tanpa menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat sifat itu (takyif).
Termasuk kedustaan yang paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu adalah nukilan pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib, sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu baik ‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan mujassimah. Apalagi mengatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah rahimahullahu? Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak menganggapnya sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ziarah kubur. Ada yang mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak? Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya, hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan.
Telah shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “...Sesungguhnya jawaban beliau dalam masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para nabi... Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak dahulu kala...
Tidaklah hal itu dibawa oleh yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada penyimpangan....”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid. Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Lembaran dan waktu yang tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati umat Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara warisan beliau dan memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.

Sumber Bacaan:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis doktoral).
14. Da'wah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.

1 Apa yang diuraikan di sini hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang shahih dari salafus shalih, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu semata-mata kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan, yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat 'Aqidah Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu.
8 Golongan Mu’aththilah (yang menolak sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program Komputer Asy-Syamilah, kecuali 13, 14, 15 dan 16.

MENJADI HAMBA YANG IKHLAS

Ikhlas, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kata yang singkat namun maknanya sangat besar.
Sebuah kata yang seandainya hilang dari diri seorang muslim, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, di dunia terlebih lagi di akhirat kelak. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika dilakukan tanpa didasari keikhlasan karena Allah Subhana wa Ta’ala.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2). Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan. Di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam).”



APA ITU IKHLAS?

Banyak ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (di mana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan). Di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, Imam Al Maqdisi dalam kitab umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain an-Nawawi dan Riyadhus



Shalihin-nya, Imam Al Baghawi dalam kitab Masobihis Sunnah, serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. Namun, apakah sebenarnya makna dari ikhlas itu sendiri?

Keikhlasan adalah ketika Anda menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanya karena Allah Subhana wa Ta'ala semata. Anda melakukannya bukan karena selain Allah. Bukan karena riya (ingin dilihat manusia) atau pun sum'ah (ingin didengar manusia). Bukan pula karena Anda ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia. Juga bukan karena Anda tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila Anda melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka insya Allah Anda telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”



IKHLAS, DALAM HAL APA?

Sebagian orang menyangka, keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, membaca al Qur'an, haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun keikhlasan pun harus ada dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika Anda tersenyum, Anda harus ikhlas. Saat Anda mengunjungi saudara dan teman-teman Anda, jangan lupakan ikhlas. Ikhlas pun harus ada ketika Anda meminjamkan saudara Anda barang yang dia butuhkan.

Tidaklah Anda lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah Subhana wa Ta'ala. Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda,

“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana Anda?” Maka dia pun berkata, “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya, “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengan-nya?” orang itu pun menjawab, “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat itu pun berkata, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim).

Tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR. Bukhari Muslim).

Renungkan, “hanya” dengan sesuap makanan yang kita letakkan di mulut istri kita—apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah—maka Allah akan memberinya pahala. Sungguh keberuntungan yang sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam setiap gerak-gerik kita.



KARENA IKHLAS, AMAL KECIL PUN BERBERKAH

Bukanlah banyaknya amal semata yang dituntut dalam setiap perbuatan kita, namun

yang paling utama ada keikhlasannya. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipatgandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak—rahimahullah—berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil karena niat.”

Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata, “Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin.” Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR Muslim).

Lihatlah, betapa sederhananya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur. Anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan. Kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari Bani Israil. Ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimana lagi jika seandainya yang ditolongnya adalah seorang muslim?



Sebaliknya, amal perbuatan yang besar nilainya, tapi tidak dilakukan dengan ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Wahai, Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” Maka Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam pun menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali. Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam pun kembali menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karena-Nya.” (HR. Abu Daud dan an-Nasai).

Ada orang yang berjihad, dan itu adalah suatu amalan yang sangat besar, namun tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.



BUAH KEIKHLASAN

Seseorang yang telah beramal lalu mengikhlaskan amalanya itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala—di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam—maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perkataan Iblis—laknatullah alaihi—yang artinya, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,

kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS. Shad: 82-83).

Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah Subhana wa Ta'ala jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Yusuf alaihi salam yang artinya, “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.” (QS. Yusuf: 24).

Pada ayat ini Allah Subhana wa Ta'ala mengisahkan tentang penjagaan Allah Subhana wa Ta'ala terhadap Nabi Yusuf alaihi salam sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Tapi karena Nabi Yusuf alaihi salam termasuk di antara orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat.

Karenya, seorang hamba yang sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, maka hal tersebut merupakan indikasi minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam setiap perbuatannya.

Mari instropeksi diri dan perbaiki kembali niat-niat kita. Semoga Allah Subhana wa Ta'ala menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Robbal 'Alamin. Wallahu Waliyyu at-Taufiq. (disadur dari buletin al fikrah)

The Hajj of one who does not pray

Question: What is the ruling concerning the one who performs Hajj whilst he has abandoned prayer, either intentionally (because he believes he doesn't have to) or due to neglect? Is his Hajj acceptable?




Response: Whoever performs the Hajj whilst he does not pray because he believes it is not obligatory, then he has committed kufr by consensus and his Hajj is not accepted. However, if he does not pray out of laziness and neglect, then in this (case) there is a difference of opinion amongst the people of knowledge. From amongst them are those who view his Hajj as correct, and (likewise there are) those who view his Hajj as incorrect. And that which is correct is that it is not accepted for that which the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) said:

((The covenant that is between us and them [the disbelievers] is the prayer. Whoever abandons it has committed kufr)),

and He (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) also said:

((Between a man and disbelief and polytheism is the abandoning of the prayer)).

And this is general and encompasses both one who believes it is not obligatory and one who does not pray out of laziness or neglect.

And with Allaah lies all success and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) and his family and his companions.

Shaykh Ibn Baaz
Fataawa al-Hajj wal-'Umrah waz-Ziyaarah - Page 15

www.fatwa-online.com

Making Hajj with haraam money

Question: What is the ruling regarding someone who performed Hajj with money which was haram, i.e. from the profits of selling (illegal) drugs. Then sending tickets for Hajj to his parents and they perform Hajj, knowing that this money has been gathered from the sale of (illegal) drugs. Is this Hajj acceptable or not?


Response: The performance of Hajj with money which is haram does not prevent the Hajj from being correct, but with sin in accordance with the haram profits and a reduction in the reward for the Hajj. But it does not invalidate it.

And with Allaah lies all the success, and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet Muhammad (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) and his family and his companions.

The Permanent Committee for Islaamic Research and Fataawa, comprising -
Head: Shaykh 'Abdul-'Azeez ibn 'Abdullaah ibn Baaz;
Deputy Head: Shaykh 'Abdur-Razzaaq 'Afeefee;
Member: Shaykh' Abdullaah ibn Ghudayyaan
Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-'Ilmiyyah wal-Iftaa. - Volume 11, Page 43, Fatwa No.13619

www.fatwa-online.com

Making Hajj whilst having outstanding loan to pay off

Question: A Muslim wanted to perform the obligatory Hajj whilst having an (outstanding) loan, so if he were to seek permission from the loaners and they permitted him to perform the Hajj, would his Hajj be acceptable?



Response: If the situation is as you have mentioned, with the permission of the loaners to perform Hajj before completing payment (of the loan), then there is no problem in performing the Hajj before completing the payment (of the loan). And there is no affect (upon the Hajj) for being a borrower from them in such a situation.

And with Allaah lies all the success, and may Allaah send prayers and salutations upon our Prophet Muhammad (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) and his family and his companions.

The Permanent Committee for Islaamic Research and Fataawa, comprising -
Head: Shaykh 'Abdul-'Azeez ibn 'Abdullaah ibn Baaz;
Deputy Head: Shaykh 'Abdur-Razzaaq 'Afeefee;
Member: Shaykh' Abdullaah ibn Ghudayyaan;
Member: Shaykh 'Abdullaah ibn Qu'ood
Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-'Ilmiyyah wal-Iftaa. - Volume 11, Page 46, Fatwa No.5545


www.fatwa-online.com

Employee of a bank wishes to perform Hajj using his earnings

Question: I am an employee at a bank, so is it permissible for me to perform Hajj from my earnings?



Response: Working in a bank which deals with ribaa is not permissible.

This is because it is assisting in sin and evil. And also, the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) cursed the one who ate/benefitted (aakil) from ribaa, as well as the one responsible (for the transactions), the witnesses (to the transactions) and the one who writes (the transactions).

Therefore, the employee in reality is assisting the bank, even if he is just a (bank) clerk. So he is cursed according to the text of the hadeeth. Based upon this, the wage he earns is haraam, and it is not permissible for him to eat/benefit from it and nor to perform Hajj with it. This is because the (performance of) Hajj requires pure/good earnings from halaal (sources), however, if he has (already) performed Hajj, then his Hajj is correct/sound but with sin (attached to it, i.e. lesser in reward).

Shaykh Ibn Fowzaan
al-Muntaqaa min Fataawa Fadheelatush-Shaykh Saalih Ibn Fowzaan - Volume 4, Page121, Fatwa No.123

www.fatwa-online.com

KISAH SABAR YANG MENGAGUMKAN

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Dari Kaset Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan)
Cover3-01Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.

Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta`ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala .
Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: "Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati."

Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?
Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: "Engkaulah penyebabnya!"
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: "Alhamdulillah." Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.

Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.

Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: "Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi." Maka dia berkata: "Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi."

Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta`ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.

Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya. Maka sang ibu berkata: "Alhamdilillah." Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta`ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.

Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: "Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh." Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan: "Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia."

Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata: "Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati." Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: "Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah." Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut: "Wanita itu tidak waras dan tidak sadar."

Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam yang indah lagi agung:
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) "Beruntunglah orang-orang yang asing." Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.

Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: "Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat." Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah: "Alhamdulillah." Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.

Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..

Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: "Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat." Diapun berkata: "Alhamdulillah." Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.

Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.

Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?
Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks? Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo'a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala ?

Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?
Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta`ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.

Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:
Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya: "Siapakah mereka?" Dia menjawab, "tidak mengenal mereka."

Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.

Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata: "Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri."

Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya: "Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta`ala ."

Tahukah anda apa yang dia katakan?
Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.

Sang suami berkata: "Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar'i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo'akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang."

Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: "Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu." Maka kukatakan kepadanya: "Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu." Kisah selesai.

Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta`ala .

Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَحُزْنٍ وَلاَ أَذىً وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا خَطاَيَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta`ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (HR. al-Bukhari (5/2137))

Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala , minta dan berdo'alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.

Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta`ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.

Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta`ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do'a-do'a kalian.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (١٢٦)
"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)." (QS. Al-A'raf: 126) (AR)*

Sumber: http://qiblati.com/kisah-sabar-yang-paling-mengagumkan.html

SIFAT-SIFAT BIDADARI SURGA

oleh: Abu Hamzah & Abu Salma
Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (٣١)حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (٣٢)وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (٣٣)

"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya." (QS an-Naba': 31-33)
كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ (٥٤)
"Demikianlah, dan Kami berikan kepada mereka bidadari." (QS. Ad-Dhukhan: 54)
مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ (٢٠)
"Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli." (QS. At-Thur: 20)

حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ (٧٢)
"(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah." (QS. Ar-Rahman: 72)
فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ (٧٠)
"Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik." (QS. Ar-Rahman: 70)

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً (٣٥)فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا (٣٦)عُرُبًا أَتْرَابًا (٣٧)
"Sesungguhnya kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung.[1] Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umurnya." (QS. Al-Waqi'ah: 35-37)
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Abul Hawari, dia berkata: Bidadari itu diciptakan langsung (kun fayakun). Apabila telah sempurna peciptaan mereka maka dipasanglah kemah-kemah atas mereka. Oleh karena itu Ibnul Qayyim berkata bahwa kemah-kemah ini bukanlah ghuraf (kamar-kamar) atau qushur (istana-istana), melainkan ia adalah tenda di taman-taman dan di atas sungai-sungai.

Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:

1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri Rodiallohu `anhu :

« إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً رَجُلٌ صَرَفَ اللّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ قِبَلَ الْجَنَّةِ وَمَثَّلَ لَهُ شَجَرَةً ذَاتَ ظِلٍّ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ قَرِّبْنِي مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ أَكُونُ فِي ظِلِّهَا ». فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ فِيْ دُخُوْلِهِ الْجَنَّةَ وَتًمًنٍّيْهِ إِلىَ أَنْ قَالَ فِيْ آخِرِهِ.
“Sesungguhnya ahli surga yang paling rendah tingkatannya adalah seseorang yang Allah palingkan wajahnya dari neraka kearah surga, dan ditampakkan padanya satu pohon surga yang rindang. Lalu orang itu berkata: Ya Allah dekatkanlah aku ke pohon itu agar aku bisa berteduh di bawahnya.” Lalu Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam terus menyebutkan angan-angan orang itu hingga akhirnya beliau bersabda:
« إِذَا انْقَطَعَتْ بِهِ الأَمَانِيُّ قَالَ اللّهُ: هُوَ لَكَ وَعَشْرَةُ أَمْثَالِهِ. قالَ: ثُمَّ يَدْخُلُ بَيْتَهُ فَتَدْخُلُ عَلَيْهِ زَوْجَتَاهُ مِنَ الحُورِ الْعِينِ فَيَقُولاَنِ : الْحَمْدُ للّهِ الَّذِي أَحْيَاكَ لَنَا وَأَحْيَانَا لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ: مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُعْطِيتُ ».
“Apabila telah habis angan-angannya maka Allah berfirman kepadanya: “Dia itu milikmu dan ditambah lagi sepuluh kali lipatnya.” Nabi bersabda: “Kemudian ia masuk rumahnya dan masuklah menemuinya dua biadadari surga, lalu keduanya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanmu untuk kami dan yang menghidupkan kami untukmu. Lalu laki-laki itu berkata: “Tidak ada seorangpun yang dianugerahi seperti yang dianugerahkan kepadaku.” (HR. Muslim: 417)

2. Hadits Anas Rodiallohu `anhu :
« إِنَّ الْحُورَ الْعِينَ لَتُغَنينَ فِي الْجَنَّةِ يَقُلْنَ: نَحْنُ الْحُورُ الْحِسَانِ خُبئْنَا لأَزْوَاجٍ كِرَامٍ »
“Sesungguhnya bidadari nanti akan bernyanyi di surga: Kami para bidadari cantik disembuyikan khusus untuk suami-suami yang mulia.” (Shahih al-Jami’: 1602)

3. Hadits Abu Hurairah Rodiallohu `anhu :
« إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ. وَالَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيَ، فِي السَّمَاءِ، إِضَاءةً. لاَ يَبُولُونَ، وَلاَ يَتَغَوَّطُونَ وَلاَ يَمْتَخِطُونَ وَلاَ يَتْفِلُونَ. أَمْشَاطُهُمُ الذَّهَبُ. وَرَشْحُهُمُ الْمِسْكُ. وَمَجَامِرُهُمُ الألُوَّةُ. وَأَزْوَاجُهُمُ الْحُورُ الْعِينُ. أَخْلاَقُهُمْ عَلَى خُلُقِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. عَلَى صُورَةِ أَبِيهِمْ آدَمَ. سِتُّونَ ذِرَاعاً، فِي السَّمَاءِ ».
“Sesungguhnya kelompok pertama yang masuk surga adalah seperti rupa bulan di malam purnama. Berikutnya adalah seperti binang yang paling terang sinarnya di langit. Mereka tidak buang air kecil, tidak buang air besar, dan tidak meludah. Sisir mereka dari emas, minyak mereka adalah misik, asapannya adalah kayu gaharu, pasangan mereka adalah bidadari, akhlak mereka seperti akhlak satu orang. Bentuk (postur tubuh) mereka seperti Nabi Adam as; 60 lengan di langit.” (Bukhari, Muslim dll. Al-Jami’ al-Shaghir: 3778, Shahih al-Jami’: 2015)


4. Hadits Abdullah ibnu Mas’ud Rodiallohu `anhu :
« أَوَّلُ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ ضَوْءُ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَالْزُّمْرَةُ الثَّانِيَةُ عَلَى لَوْنِ أَحْسَنِ كَوْكَبٍ دُريَ فِي السَّمَاءِ، لِكُل رَجُلٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، عَلَى كُل زَوْجَةٍ سَبْعُونَ حُلَّةً، يُرَىٰ مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ لُحُومِهِمَا وَحُلَلِهِمَا، كَمَا يُرَىٰ الشَّرَابُ الأَحْمَرُ فِي الزُّجَاجَةِ الْبَيْضَاءِ »

“Kelompok pertama kali yang masuk surga, seolah wajah mereka cahaya rembulan di malam purnama. Kelompok kedua seperti bintang kejora yang terbaik di langit. Bagi setiap orang dari ahli surga itu dua bidadari surga. Pada setiap bidadari ada 70 perhiasan. Sumsum kakinya dapat terlihat dari balik daging dan perhiasannya, sebagaimana minuman merah dapat dilihat di gelas putih.” (HR. Thabrani dengan sanad shahih, dan Baihaqi dengan sanad hasan. Hadits hasan, shahih lighairi: Shahih al-Targhib: 3745)
Dalam lafazh Tirmidzi:
« وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوْقِهِمَا منْ وَرَاءِ الَّلحْمِ مِنَ الْحُسْنِ، لاَ اخْتِلاَفَ بَيْنَهُمْ وَلاَ تَبَاغُضَ قُلُوبُهُمْ قَلْبُ رَجُلٍ وَاحِدٍ يُسَبِّحونَ الله بُكْرَةً وَعَشِيَّا » .
“Masing-masing mendapat dua bidadari, sumsum kakinya dapat dilihat dari balik daging karena begitu cantiknya, tidak ada perselisihan di antara mereka, dan tidak ada saling benci di hati mereka. Hati mereka seperti hati satu orang, mereka semua bertasbih kepada Allah pagi dan sore.”


5. Hadits al-Miqdam Ibn Ma’di Karib Rodiallohu `anhu :
« لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سَبْعُ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيَرَىٰ مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُحَلَّىٰ حُلَّةَ الإِيمَانِ، وَيُزَوجُ اثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ زَوْجَةً مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الأَكْبَرِ، وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ، الْيَاقُوتَةُ مِنْهُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَيَشْفَعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَاناً مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ »

“Orang yang mati syahid memiliki 7 [yang benar 8] keistimewaan di sisi Allah: (1) diampuni dosanya di awal kucuran darahnya, (2) melihat tempat duduknya dari surga, (3) dihiasi dengan perhiasan iman, (4) dinikahkan dengan 72 bidadari surga, (5) diamankan dari adzab kubur, (6) aman dari goncangan dahsyat di hari qiamat, (7) diletakkan di atas kepalanya mahkota kewibawaan; satu permata dari padanya lebih baik dari pada dunia seisinya, (8) memberi syafaat kepada 70 orang dari kerabatnya.” (Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi. Silsilah al-Shahihah: 3213, Shahih al-Jami’: 5182)


6. Hadits Mu’adz ibn Anas Rodiallohu `anhu ;
« مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّه سُبْحَانَهُ عَلَى رُؤُوسِ الْخَلائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُورِ الْعينِ مَا شَاءَ ».
“Barangsiapa mampu menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah memanggilnya di hadapan para makhluk hingga Dia memberikan hak untuk memilih yang ia suka dari bidadari.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, hadits hasan. Lihat Shahih al-Jami’: 6518)
7. Hadits Mu’adz t;
« لاَ تُؤْذِي امْرَأةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا. إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ الله، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَك دَخِيلٌ يُوشِكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا »
“Tidak ada seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia melainkan bidadari yang menjadi pasangannya berkata: "Jangan engkau sakiti dia -semoga Allah melaknatmu- sesungguhnya ia hanyalah bertamu (di rumahmu), hampir saja ia berpisah meninggalkanmu menuju kami.” (Shahih al-Jami’: 7192)

Imam Ibnul Qoyyim berkata:

"Jika anda bertanya tentang mempelai wanita dan istri-istri penduduk surga, maka mereka adalah gadis-gadis remaja yang montok dan sebaya. Pada diri mereka mengalir darah muda, pipi mereka halus dan segar bagaikan bunga dan apel, dada mereka kencang dan bundar bagai delima, gigi mereka bagaikan intan mutu manikam, keindahan dan kelembutan mereka selalu menjadi kerubutan.
Elok wajahnya bagaikan terangnya matahari, kilauan cahaya terpancar dari gigi-giginya dikala tersenyum. Jika anda dapatkan cintanya, maka katakan semau anda tentang dua cinta yang bertaut. Jika anda mengajaknya berbincang (tentu anda begitu berbunga), bagaimana pula rasanya jika pembicaraan itu antara dua kekasih (yang penuh rayu, canda dan pujian). Keindahan wajahnya terlihat sepenuh pipi, seakan-akan anda melihat ke cermin yang bersih mengkilat (maksudnya, menggambarkan persamaan antara keindahan paras bidadari dengan cermin yang bersih berkilau setelah dicuci dan dibersihkan, sehingga tampak jelas keindahan dan kecantikan). Bagian dalam betisnya bisa terlihat dari luar, seakan tidak terhalangi oleh kulit, tulang maupun perhiasannya.
Andaikan ia tampil (muncul) di dunia, niscaya seisi bumi dari barat hingga timur akan mencium wanginya, dan setiap lisan makhluk hidup akan mengucapkan tahlil, tasbih, dan takbir karena terperangah dan terpesona. Dan niscaya antara dua ufuk akan menjadi indah berseri berhias dengannya. Setiap mata akan menjadi buta, sinar mentari akan pudar sebagaimana matahari mengalahkan sinar bintang. Pasti semua yang melihatnya di seluruh muka bumi akan beriman kepada Allah Yang Maha hidup lagi Maha Qayyum (Tegak lagi Menegakkan). Kerudung di kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya. Hasratnya terhadap suami melebihi semua keinginan dan cita-citanya. Tiada hari berlalu melainkan akan semakin menambah keindahan dan kecantikan dirinya. Tiada jarak yang ditempuh melainkan semakin menambah rasa cinta dan hasratnya. Bidadari adalah gadis yang dibebaskan dari kehamilan, melahirkan, haidh dan nifas, disucikan dari ingus, ludah, air seni, dan air tinja, serta semua kotoran.
Masa remajanya tidak akan sirna, keindahan pakaiannya tidak akan usang, kecantikannya tidak akan memudar, hasrat dan nafsunya tidak akan melemah, pandangan matanya hanya tertuju kepada suami, sekali-kali tidak menginginkan yang lain. Begitu pula suami akan selalu tertuju padanya. Bidadarinya adalah puncak dari angan-angan dan nafsunya. Jika ia melihat kepadanya, maka bidadarinya akan membahagiakan dirinya. Jika ia minta kepadanya pasti akan dituruti. Apabila ia tidak di tempat, maka ia akan menjaganya. Suaminya senantiasa dalam dirinya, di manapun berada. Suaminya adalah puncak dari angan-angan dan rasa damainya.
Di samping itu, bidadari ini tidak pernah dijamah sebelumnya, baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Setiap kali suami memandangnya maka rasa senang dan suka cita akan memenuhi rongga dadanya. Setiap kali ia ajak bicara maka keindahan intan mutu manikam akan memenuhi pendengarannya. Jika ia muncul maka seisi istana dan tiap kamar di dalamnya akan dipenuhi cahaya.
Jika anda bertanya tentang usianya, maka mereka adalah gadis-gadis remaja yang sebaya dan sedang ranum-ranumnya.
Jika anda bertanya tentang keelokan wajahnya, maka apakah anda telah melihat eloknya matahari dan bulan?!
Jika anda bertanya tentang hitam matanya, maka ia adalah sebaik-baik yang anda saksikan, mata yang putih bersih dengan bulatan hitam bola mata yang begitu pekat menawan.
Jika anda bertanya tentang bentuk fisiknya, maka apakah anda pernah melihat ranting pohon yang paling indah yang pernah anda temukan?
Jika anda bertanya tentang warna kulitnya, maka cerahnya bagaikan batu rubi dan marjan.
Jika anda bertanya tentang elok budinya, maka mereka adalah gadis-gadis yang sangat baik penuh kebajikan, yang menggabungkan antara keindahan wajah dan kesopanan. Maka merekapun dianugerahi kecantikan luar dan dalam. Mereka adalah kebahagiaan jiwa dan penghias mata.
Jika anda bertanya tentang baiknya pergaulan dan pelayanan mereka, maka tidak ada lagi kelezatan selainnya. Mereka adalah gadis-gadis yang sangat dicintai suami karena kebaktian dan pelayanannya yang paripurna, yang hidup seirama dengan suami penuh pesona harmoni dan asmara .
Apa yang anda katakan apabila seorang gadis tertawa di depan suaminya maka sorga yang indah itu menjadi bersinar? Apabila ia berpindah dari satu istana ke istana lainnya, anda akan mengatakan: "Ini matahari yang berpindah-pindah di antara garis edarnya." Apabila ia bercanda, kejar mengejar dengan suami, duhai… alangkah indahnya…!! (dari kitab Hadil Arwah Ila Biladil Afrah (h.359-360) (Faiz)*



[1] Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis

Sumber: http://qiblati.com/sifat-sifat-bidadari-surga.html

BANTAHAN BUKU "SEJARAH BERDARAH SEKTE WAHABI"

Berikut adalah artikel yang telah ditranslasikan dari rekaman ceramah bedah buku yang berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,
Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama” yang pernah disampaikan oleh Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. MA pada kajian sabtu malam di Masjid Darul Ulum SMA 11 Yogyakarta. Sebelum menyampaikan bedah buku ini, Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. MA juga telah diminta untuk membedah buku yang sama di Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Kementrian Agama Bidang Litbang. Pada acara tersebut dihadiri oleh tiga orang pembicara diantaranya, Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. M.A, DR. Harpandi selaku Rektor Universitas Al-Aqidah Jakarta, Abdul Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal.

Buku ini diberi pengantar oleh Prof. DR. KH Said Aqil Siradj, MA yang merupakan ketua umum PBNU. Dalam pengantarnya disampaikan bahwa buku ini adalah sebuah sebuah buku yang secara ilmiah menguak kebenaran ramalan Rasululloh Shalallahu Alaihi wa Salam melalui sabdanya, akan lahir dari keturunan orang ini suatu kaum yang membaca Al-Qur’an tapi tidak sampai melewati batas tenggorokan, mereka keluar dari agama seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruan, mereka memerangi orang Islam namun membiarkan para penyembah berhala.

Hal yang membuat buku ini semakin tersebar juga karena adanya testimoni dari beberapa tokoh diantaranya Arifin Ilham yang telah menyampaikan bahwa rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini agar anak-anak mereka juga turut membacanya untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus, Islam adalah agama yang lembut, santun dan penuh kasih sayang.

Kemudian testimoni lain juga hadir dari Ketua MUI Ma’ruf Amin yang menyampaikan bahwa buku ini layak dibaca oleh siapapun, beliau berharap setelah membaca buku ini seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan.

Buku ini cukup laris karena telah dicetak sebanyak 7 kali cetakan dalam tahun 2011 ini. Ustadz Ridwan Hamidi menyampaikan pula bahwa masih terbuka lebar untuk membuat sanggahan dalam bentuk buku, tulisan dan semisalnya.

Ustadz Ridwan Hamidi menyampaikan beberapa kelemahan yang terdapat dalam buku ini, yang pertama dari sisi penulisnya. Penulis buku ini adalah Syaikh Idahram dan penulis ini adalah majhul (tidak dikenal). Semua pembicara dan termasuk yang hadir pada acara bedah buku sebelumnya di Jakarta baik dari kalangan perguruan tinggi, ormas-ormas Islam kemudian dari beberapa pesantren juga sudah mencoba mencari dan tidak menemukan nama sang penulis. Ustadz Ridwan Hamidi juga menjelaskan bahwa nama ini sepertinya adalah nama samaran atau nama pena. Bisa beberapa kemungkinan seperti “Marhadi” (dibalik dari kata idahram) atau “Rahmadi” (hasil rangkaian kata dari idahram).

Kelemahan yang kedua adalah tidak konsisten dalam tujuan penulisan buku ini (terdapat dibagian pengantar buku). Disampaikan bahwa buku ini ditulis bukan untuk memperbesar jurang dan perpecahan tersebut melainkan untuk memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum salafi wahabi yang sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya dan bahkan tokoh-tokohnya sekalipun. Itu adalah keinginan dari penulis akan tetapi sebaliknya buku tersebut justru memunculkan masalah-masalah baru karena jurang yang muncul bertambah semakin besar.

Kelemahan yang ketiga ialah dalam definisi salaf, salafi dan seterusnya. Pada tidak lebih dari lima halaman awal sumber rujukan dari pendefinisian cukup bagus akan tetapi pada halaman-halaman selanjutnya menjadi tidak karuan.

Kelemahan yang keempat ialah kesalahan dari sisi penulisan dan pencetakan seperti kesalahan dalam penyebutan pencetakan Kamus Lisanul Arab.

Kelemahan yang kelima ialah klaim yang terlalu cepat membuat hukum, vonis dengan kalimat bahwa tidak ada satupun riwayat shohih yang menerangkan bahwa ada diantara para sahabat Nabi, ulama salaf, ulama mujtahid (Imam 4 Mahdzab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad) yang menyampaikan bahwa mereka adalah kelompok salafi. Dan tentu ini perlu dicek ulang dan diklarifikasi dengan melihat beberapa riwayat yang disampaikan oleh beberapa ulama.

Kelemahan yang keenam buku tersebut menyatakan bahwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang pertama kali mempopulerkan istilah salafi ini. Dan tentu ini merupakan kekeliruan. Kalau dikarenakan kita sering baca buku beliau dan tidak membaca buku dari ulama lain mungkin bagi sebagian orang akan begitu.

Kelemahan yang ketujuh penulis sepertinya merasa sakit hati dengan Syaikh Nashiruddin Al-Albani (Syaikh Al-Albani) sehingga menggunakan bahasa-bahasa yang provokatif dan menghujat. Sebagai contoh dengan menyebutkan bahwa Syaikh Al-Albani “mengaduk-aduk hadits”. Syaikh Al-Albani dikatakan sebagai pendatang baru di ranah wahabi dan semisalnya.

Kelemahan yang kedelapan ketidakpahaman penulis dalam menterjemahkan bahasa Arab atau ketidakpahaman dalam memahami konteks kalimat.

Kelemahan yang kesembilan ketidakpahaman penulis dalam memahami biografi dan sejarah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab sehingga yang ada adalah klaim subjektif. Sebagai contoh dengan mengatakan secara tersirat bahwa ilmu agama Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab cetek dan semisalnya.

Kelemahan yang kesepuluh kesalahan penulis dengan berusaha menghubung-hubungkan bahwa nabi-nabi palsu termasuk Musailamah Al-Kadzab dari Bani Tamim dan termasuk juga Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab juga dari Bani Tamim sehingga saling berhubungan. Jika hal ini masuk dalam kaidah salah dan benar sebuah pemahaman tentu banyak sekali orang-orang yang bisa masuk ke dalam kaidah tersebut. Seperti sebagai contoh Abu Lahab. Abu Lahab memiliki seorang putra bernama Ikrimah dan ini jelas sangat dekat hubungannya (hubungan keturunan). Akan tetapi Abu Lahab musuh Islam sedangkan Ikrimah adalah sahabat Nabi. Apalagi jika dibandingkan antara Musailamah dengan Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab tentu sangat jauh sekali. Musailamah di abad keberapa dan Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab di abad keberapa. Ini benar-benar tidak nyambung.

Kelemahan yang kesebelas ialah tambahan terjemahan ketika menukil dari buku. Sebagai contoh dengan menambahkan kata-kata “pengkafiran-pengkafiran”.

Kelemahan yang keduabelas ialah kesalahan dalam harokat. Dalam bahasa Arab kesalahan dalam harokat berakibat dalam kesalahan arti.

Kelemahan yang ketigabelas ialah kesalahan dalam nukilan-nukilan sejarah yang diambilkan dari buku dan tidak dijelaskan siapa penulis buku sejarah tersebut. Apakah dia pakar sejarah atau sekedar orang yang menulis saja. Dan buku-buku sejarah yang tidak jelas memang semangat untuk menghabisi.

Kelemahan yang keempatbelas ialah kesalahan yang fatal karena tidak memberikan kriteria atau pemetaan seperti dalam pembagian istilah salafi. Penulis menyebutkan terdapat dua faksi dalam salafi, salafi haroki dan salafi yamani. Pembagian yang disampaikan oleh penulis sangat tidak jelas karena tidak ada pembatasan dalam pembagian tersebut. Sebagai contoh apakah penyebutan salafi yamani itu karena dari yaman ?. Jika demikian berarti ada istilah salafi saudi dan salafi daerah lain. Itu jika memang merujuk berdasarkan daerah atau negara.

Kelemahan yang kelimabelas ialah kesalahan dalam penukilan riwayat keturunan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Beliau dikatakan berasal dari keluarga habaib. Di dalam buku ke-Muhammadiyah-an tidak pernah diajarkan bahwa beliau berasal dari keluarga habaib. Tentu ini adalah masalah yang janggal.

Kelemahan yang keenambelas adalah kesalahan dalam metodologi. Tidak ada metodologi yang jelas dalam membuat kriteria seseorang disebut salafi atau wahabi. Apa batasan dari wahabi ?. Definisi dari wahabi itu apa ?. Sebagai contoh orang yang tidak mau tahlilan maka disebut sebagai wahabi. Jika ini menjadi sebuah kaidah maka banyak sekali yang disebut sebagai wahabi. Muhammadiyah tidak tahlilan berarti wahabi, PERSIS tidak tahlilan berarti wahabi, Al-Irsyad tidak tahlilan berarti wahabi, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) tidak tahlilan berarti wahabi. Apakah benar demikian ?. Jika tidak maka batasan yang jelas itu apa ?

Kelemahan yang ketujuhbelas adalah kesalahan dalam istilah wahabi. Batasan saja sudah tidak jelas maka istilah wahabi juga tidak jelas.
Ustadz Ridwan Hamidi juga menjelaskan bahwa daftar nama-nama yang disebut salafi wahabi yang ada di buku merupakan daftar nama-nama yang pernah dipresentasikan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) di depan PP Muhammadiyah dan PBNU.

Kelemahan yang kedelapanbelas adalah tidak akurat dalam pendataan. Sebagai contoh data-data alamat ormas Islam seperti Wahdah Islamiyah juga mengalami kesalahan. Dan masih banyak lagi.

Kelemahan yang kesembilanbelas adalah kesalahan dalam memahami teks dan pemahaman yang sempit dari penulis. Buku ini ingin menggambarkan bahwa salafi wahabi memiliki aqidah takfir (orang yang beda pemahaman dengan mereka maka kafir). Sebagai contoh jika ditemukan kata-kata “halal darahnya” dan semisalnya maka cepat-cepat penulis langsung menyatakan bahwa ini adalah takfir.

Kelemahan yang keduapuluh adalah kesalahan dalam informasi daftar makam yang dihancurkan oleh kaum salafi wahabi. Sebagai contoh pemakaman di Ma’la. Maksud dihancurkan itu seperti apa juga tidak jelas.

Kelemahan yang keduapuluhsatu adalah kesalahan dalam menyebutkan hadits. Takhrij hadits disebutkan lengkap walaupun penyebutan takhrij tidak standar. Hal ini membuktikan penulis tidak menguasai ilmu hadits.

Kelemahan yang keduapuluhdua adalah kesalahan dalam penafsiran hadits. Penafsiran bukan dari ulama tapi dari penulis sendiri.

Kelemahan yang keduapuluhtiga dalam membuat sebuah rujukan berpaku pada satu sumber. Sebagai contoh penulis menyebutkan bahwa terdapat fatwa-fatwa nyleneh salafi wahabi. Sumber tersebut terdapat pada satu situs. Dalam metode ilmiah maka hal ini menjadi tidak ilmiah karena harusnya nukilan diambil dari sumber aslinya.

Kelemahan yang keduapuluhempat adalah kesalahan dalam metode fatwa. Penulis tidak menyampaikan secara lengkap dalam menukil fatwa. Seperti pertanyaan dari si penanya yang menanyakan fatwa yang bersangkutan. Karena bisa jadi fatwa-fatwa yang ada diambil karena satu kasus-kasus khusus dan kasus-kasus tertentu.

Masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang lain dari buku tersebut. Kesimpulan dari bedah buku sebelumnya di Jakarta sepakat dari ketiga pembicara bahwa buku ini buku yang tidak layak disebarkan dan bukan termasuk buku yang ilmiah. Buku ini tidak layak dibaca dan buku ini gagal untuk mematahkan argumen-argumen dalam mengkritisi paham salafi wahabi.

SALAFI, ANTARA TUDUHAN & KENYATAAN; BANTAHAN ILMIAH TERHADAP BUKU SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI

بسم الله الرحمن الرحيم



Editor/Muroja'ah: Al Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

(Penulis Buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan; Bantahan Ilmiah Terhadap Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”)
Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala. Shalawat serta salam bagi Rasulullah, keluarga, para sahabat dan semua yang mengikuti petunjuk beliau shallallahu’alaihi wa sallam sampai hari kiamat.

Amma ba’du;



Saya telah membaca sebuah buku yang ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah dengan muroja’ah Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari hafizhahullah, terbitan TooBAGUS Publishing Bandung, cetakan pertama, bulan Sya’ban 1432 H.



Buku ini berisi tentang penjelasan indah nan ilmiah dalam membantah berbagai kedustaan dan tuduhan jelek yang dialamatkan kepada dakwah salafiyah, buku yang beliau beri judul “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan; Bantahan Ilmiah Terhadap Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –untuk selanjutnya disingkat SATK- merupakan bantahan ilmiah terhadap buku yang ditulis oleh ‘Syaikh’ Idahram yang berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –untuk selanjutnya disingkat SBSW- dan diberi kata pengantar oleh Ketua PBNU, Prof. Dr. Said Agil Siradj, MA; sebuah buku yang dipenuhi dengan seruan-seruan kepada penyimpangan aqidah, bid’ah, hingga berbagai macam kedustaan atas nama para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang hakiki, bahkan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam!!



Walhamdulillah, buku SATK yang ditulis oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Sofyan hafizhahullah ini dapat menyingkap berbagai macam tipu daya yang disebarkan oleh Idahram, dkk..

Buku SATK yang penuh manfaat ini dibuka dengan mukaddimah, beliau menjelaskan dalam mukaddimahnya:

*

Hikmah penciptaan jin dan manusia yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala.
*

Diantara bentuk penjagaan terhadap kesempurnaan tauhid seorang hamba, adalah dengan menampakkan permusuhannya kepada musuh-musuh tauhid dan memerangi mereka dengan ilmu dan hujjah yang terang.

Hal ini mengisyaratkan kepada pembaca bahwa tujuan penulisan buku SATK adalah demi menjaga kemurnian tauhid, sekaligus untuk menjaga persatuan kaum muslimin yang hakiki, karena persatuan yang hakiki hanya dapat terwujud bila dilandasi dengan aqidah yang benar sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.



Setelah menjelaskan tujuan agung dan mulia tersebut, Penulis SATKmulai membahas satu persatu kekeliruan dalam buku SBSW, yang diawali dengan jawaban ilmiah terhadap Prof. Dr. Said Agil Siradj, M.A. selaku ketua umum PBNU yang memberikan kata pengantar terhadap buku SBSW.



Beberapa catatan terhadap kata pengantar sang profesor:

(1) Jawaban terhadap tuduhan Prof. Said Agil bahwa sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiyallahu’anhu melakukan tipuan.

(2) Jawaban terhadap tuduhan Prof. Said Agil bahwa Imam Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani, sekaligus jawaban terhadap tuduhan dusta Idahram bahwa Salafi bekerjasama dengan Inggris.

(3) Meluruskan kesalahpahaman atas pembongkaran terhadap situs-situs sejarah dan meratakan kuburan.

Alhamdulillah, ketiga perkara tersebut dibahas secara gamblang dan ilmiah dalam buku ini, bukan sekedar tuduhan tanpa disertai sepotongpun bukti sebagaimana yang sering dilakukan oleh saudara Idahram dan Prof. Said Agil dalam buku hitam SBSW.



Pada bagian selanjutnya, Penulis SATKjuga memberikan sedikit catatan terhadap pujian KH. Dr. Ma’ruf Amin, MA, selaku ketua MUI terhadap buku SBSW. Bagian ini berisi penegasan bahwa sesungguhnya buku SBSW karya Idahram sangat memicu perpecahan di kalangan kaum muslimin dan sangat tidak lapang dada dalam menerima perbedaan, sangat jauh dari harapan Bapak KH. Ma’ruf Amin. Semoga Pak Kiai dapat mengambil pelajaran darinya.



Pada bagian selanjutnya buku SATK membahas, “Biografi Singkat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.” Bagian ini berisi keterangan mengenai kemuliaan serta ketinggian nasab Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, perjalanan beliau dalam menuntut ilmu, kekuatan hapalan, perjalanan dakwah beliau, beberapa karya ilmiah yang pernah beliau tulis, serta pujian dari para ulama dan tokoh di berbagai penjuru dunia. Bahkan beliau rahimahullah mendapatkan ijazah periwayatan Shahih Al Bukhari dan syarahnya, Shahih Muslim dan syarahnya, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasai, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, beberapa karya Ad-Darimi, Musnad Asy Syafi’i, Muwattha’ Imam Malik, dan Musnad Imam Ahmad, dengan sanad bersambung sampai kepada penulisnya. Alangkah jauhnya fakta ini dengan tuduhan yang dilontarkan Idahram bahwa Asy-Syaikh rahimahullah, “pengetahuan agamanya kurang memadai..” (SBSW…, hal. 31)



Pada pembahasan berikutnya, Penulis SATKmenjelaskan tentang istilah “wahabi” dan “salafi” serta penyelewengan makna yang dilakukan oleh pengekor hawa nafsu terkait dengan penamaan wahabi dan salafi.

Setelah memberikan beberapa pendahuluan yang amat penting tersebut, maka mulailah beliau menyingkap satu persatu kedustaan dan pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh Idahram dalam bukunya SBSW.



Dari pemaparan dalam buku SATK tersingkaplah tabir kegelapan, terbongkarlah pondasi tipu daya, dan telah tampak jalan kebenaran serta jalan kesesatan dengan sangat transparan. Amat banyak akar-akar kesalahan yang tertanam dalam diri saudara Idahram dan kelompoknya, tentunya hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan jeleknya pemahaman mereka terhadap agama.



Berikut ini beberapa contoh tuduhan dusta dan pemutarbalikan fakta dalam buku SBSW yang telah dibantah habis oleh buku SATK:

1.

Menuduh Salafi bekerjasama dengan Inggris dalam merongrong kekhalifahan Turki Utsmani, ternyata yang dijadikan barang bukti oleh Idahram adalah arsip sejarah milik orang-orang kafir. Padahal kenyataan sebenarnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memandang haramnya pemberontakan kepada pemerintah muslim, serta fakta sejarah juga membuktikan bahwa Najd pada waktu itu tidak termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani, bahkan sebaliknya, Turki Utsmani bekerjasama dengan pasukan kafir Eropa ketika menyerang Najd.
2.

Menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan kaum muslimin yang tidak ikut bersama beliau. Disebutkan pada SBSW hal 68, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 52-55.
3.

Kisah pertempuran di Hijaz, menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membunuh kaum muslimin tanpa terkecuali orang tua, wanita dan anak-anak. Disebutkan pada SBSW hal 77-81, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 59-65.
4.

Menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan untuk menghancurkan Uyainah dan melarang pembangunannya kembali selama 200 tahun, karena Allah akan mengirimkan jutaan belalang untuk meluluh lantahkan kota tersebut. Disebutkan pada SBSW hal 88-89, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 66.
5.

Menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab membunuh Utsman bin Mu’ammar karena telah musyrik dan kafir. Disebutkan pada SBSW hal 67-68, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 67-69.
6.

Menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membunuh penduduk Ahsaa dan Qashim. Disebutkan pada SBSW hal 91-95 pada catatan kaki, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 69.
7.

Tuduhan pembantaian jama’ah haji Yaman. Kedustaan ini dibantah pada SATK hal 71-73.
8.

Tuduhan pembantaian jama’ah haji Iran. Kedustaan ini dibantah pada SATK hal 73-74.
9.

Tuduhan melarang dan menghalangi umat Islam menunaikan ibadah haji. Disebutkan Pada SBSW hal 100-101, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 75.
10.

Mengangggap bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah suatu bentuk kebaikan. Disebutkan pada SBSW hal 105, bid’ah ini dibantah pada SATK hal 20-25.
11.

Idahram menyesalkan atas pembakaran buku-buku sesat. Disebutkan pada SBSW hal 107-109, kesalahpahaman ini dibantah pada SATK hal 79-80.
12.

Tuduhan penyerangan terhadap Karbala tanpa alasan yang jelas. Disebutkan pada SBSW hal 70-77, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 56-59.
13.

Idahram menafsirkan hadits dengan akal-akalannya sendiri tanpa merujuk kepada pendapat ulama, akhirnya salah dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
14.

Pengkafiran Idahram terhadap kaum muslimin, sebagai akibat dari penafsirannya terhadap hadits dengan akalnya yang pendek. Disebutkan pada SBSW hal 144 dan 253, dibantah pada SATK hal 101-103.
15.

Klaim Idahram bahwa hadits-hadits yang membicarakan tentang fitnah Najd yang dimaksud adalah Salafi Wahabi, dengan alasan “sederhana” bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari Najd. Ini juga akibat dari penafsirannya terhadap hadits dengan akalnya yang pendek, dibantah pada SATK hal 103-106.
16.

Idahram menuduh lagi, bahwa maksud hadits tanduk-tanduk setan adalah kemunculan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pengikutnya, sedang dajjal akan muncul dari mereka yang tersisa, seperti biasa dia berlagak layaknya ahli hadits lalu mensyarah hadits dengan akalnya yang dangkal, dibantah tuntas pada SATK hal 107-109.
17.

Idahram kembali berdusta –yang memang sudah kebiasaanya- dengan mengatakan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memerintahkan setiap pengikutnya untuk mencukur habis rambut kepalanya para pengikutnya, kali ini Idahram mengutip fatwa ulama Salafi dengan dipenggal-penggal supaya mendukung kedustaannya. Disebutkan pada SBSW hal 164-170, kedustaan ini dibantah pada SATK hal 110-115.
18.

Idahram berusaha menghubung-hubungkan antara celaan terhadap Dzul Khuwaishirah yang terdapat dalam hadits, dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hanya karena keduanya berasal dari Bani Tamim. Kali ini nampak jelas sekali kebodohan Idahram. Disebutkan pada SBSW hal 170-174, dibantah pada SATK hal 115-116.
19.

Kelancangan Idahram kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada kaum muslimin, dengan beraninya Idahram memastikan bahwa Allah tidak akan menerima amalan mereka, dan bahwa amalan mereka hanyalah kedok atau topeng, seakan-akan dia dapat mengetahui isi hati manusia. Disebutkan pada SBSW hal 179, dibantah pada SATK hal 117-118.
20.

Idahram berusaha membuat citra jelek Salafi di mata umat Islam dengan satu bab khusus untuk mengkritik fatwa dan pendapat sebagian ulama Salafi yang dia beri judul “Di Antara Fatwa dan Pendapat Salafi Wahabi yang Menyimpang.” Bab tersebut memiliki 28 sub bab dengan pembahasan yang sangat ringkas. Dalam bab-bab tersebut Idahram melontarkan berbagai kedustaan, melakukan pengkhianatan ilmiah dengan memotong-motong fatwa ulama agar sesuai dengan tuduhannya, menyalahkan suatau pendapat atau suatu amalan berdasarkan kedangkalan pengetahuannya, tidak lapang dada dalam menghadapi masalah khilaf, dan masih ada segudang kesalahan lain, lihat pembahasannya pada SATK hal 119-168.
21.

Pada bab terakhir buku SBSW (hal 201-254) berjudul, “Kerancuan Konsep dan Manhaj Salafi Wahabi.” Bagian ini sesungguhnya yang menjadi dasar “keberanian” saudara Idahram dalam mengkritik ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang hakiki. Ternyata penyebabnya, karena dia tidak memahami konsep dan manhaj salafi dengan baik. Alhamdulillah, buku SATK menjawab kerancuan-kerancuan tersebut dengan sangat ilmiah.

Faidah lain dari buku SATK, bukan hanya kutipan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang disertakan teks Arabnya, tapi juga kutipan-kutipan aqwal para ulama disertakan teks-teks Arabnya, sehingga semakin bermanfaat bagi para penuntut ilmu.



Bagian terpenting dalam buku SATK adalah pemaparan aqidah dan manhaj Salafi disertai bukti-bukti ilmiah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penukilan secara lengkap dari kitab-kitab para ulama dari seluruh mazhab fiqh; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah bahkan Zhahiriyah. Ternyata pendapat-pendapat ulama Salafi di zaman ini bersesuaian dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari seluruh mazhab terutama dalam masalah aqidah, ini sebagai bantahan terhadap tuduhan Idahram bahwa Salafi memutus rantai pemahaman ulama, padahal kenyataannya buku SBSW yang cenderung kepada dua sejoli; Syi’ah dan Sufi sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.



Pada bagian akhir, buku SATK menjelaskan perangai-perangai rendah Idahram dan kelompoknya demi untuk memadamkan kemilaunya sinar dakwah salafiyah. Sangat menyedihkan, ternyata tuduhan-tuduhan Idahram dan kelompoknya hanya bersumber dari ketidaktahuan mereka tentang manhaj salaf yang sebenarnya, itupun masih dibumbui dengan fitnah dan dusta serta pengkhianatan ilmiah, memahami dalil-dalil dengan akal yang sakit tanpa merujuk kepada ulama Salaf, memotong-motong fatwa ulama Salafi, lalu dikesankan bahwa itulah penyimpangan Salafi, Allaahul Musta’aan.



Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar memberikan manfaat dengan buku SATK ini baik kepada penulisnya, penerbit maupun pembaca yang budiman. Dan semoga semakin banyak orang-orang yang berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah dan nasihat yang baik, melalui karya tulis yang ilmiah. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mendengar segala doa.



Sumber: http://ashthy.wordpress.com/2011/08/13/resensi-buku-salafi-antara-tuduhan-dan-kenyataan-bantahan-ilmiah-terhadap-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/



Disusun oleh:

Abu Bakrah Ahmad Al Makassariy



Pesan kitabnya disini:

http://www.an-nurshop.com/

HP: 0852 140 48900

Atau di toko buku terdekat di tempat anda!



http://nasihatonline.wordpress.com/2011/07/15/telah-terbit-buku-bantahan-ilmiah-terhadab-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/

CANDANYA PARA ULAMA

Candanya Para Ulama' (Syeikh Al-Albani, Syeikh Ibnu Baz & Syeikh Ibnu Utsaimin)

1. Ada seorang pemuda penuntut ilmu pernah naik kenderaan bersama Syeikh Al-Abani rahimahullah. Syeikh Al-Abani membawa kenderaannya dengan kelajuan yang tinggi. Melihatnya, maka pemuda itupun menegur: "Wahai syeikh, ini namanya ‘ngebut’ dan hukumnya tidak boleh. “Syeikh Ibnu Baz mengatakan bahawa hal ini termasuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Mendengarnya, Syeikh Al-Albani rahimahullah tertawa lalu berkata: "Ini adalah fatwa seseorang yang tidak merasakan nikmatnya membawa kenderaan!.” Pemuda itu berkata: “Syeikh, akan saya laporkan hal ini kepada Syeikh Abdul Aziz bin Baz.” Jawab Syeikh Al-Abani: ”Silakan, laporkan saja.”
Pemuda itu melanjutkan ceritanya: “Suatu saat, saya bertemu dengan Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Makkah maka saya laporkan dialog saya dengan Syeikh Al-Abani rahimahullah tersebut kepada beliau. Mendengarnya, beliau juga tertawa seraya berkata: ‘Katakan padanya: "Ini adalah fatwa seseorang yang belum merasakan enaknya terkena denda!” (Al-Imam Ibnu Baz, Abdul Aziz as-Shadan hlm.73)
2. Diceritakan bahawa suatu ketika Raja Khalid rahimahullah mengunjungi rumah Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, sebagaimana kebiasaan para raja sebagai sikap menghormati dan memuliakan para ulama. Dan ketika sang Raja melihat rumah syeikh yang sangat sederhana maka raja menawarkan kepada syeikh untuk
dibangunkan sebuah rumah untuk beliau, syeikh berterima kasih dan berkata: "Saya sedang membangun rumah di daerah As-Salihiyah (wilayah Unaizah, Qasim), bagaimanapun masjidnya dan panti sosialnya membutuhkan
bantuan (dana)”
Maka setelah sang Raja pergi, beberapa orang yang ikut dalam pertemuan itu berkata: “Wahai syeikh, kami tidak mengetahui kalau anda sedang membangun rumah di As-Salihiyah?”
Maka syeikh menjawab: “Bukankah pekuburan ada di As-Salihiyah?”
(Ad-Dur Ath-Thamin Fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-Allamah Ibn Utsaimin – p.218)
3. Ada salah seorang suami dari cucu Syeikh Ibnu Baz menemui beliau dan berkata, “Wahai Syeikh, kami ingin agar engkau mengunjungi dan makan di rumah kami”. Jawapan beliau, “Tidak masalah, jika engkau menikah untuk kedua kalinya maka kami akan datang ke acara walimah insya Allah”.
Setelah pulang, orang ini bercerita kepada isterinya tentang apa yang dikatakan oleh datuknya. Kontan saja cucu perempuan dari Syeikh Ibnu Baz buru-buru menelefon datuknya. “Wahai Syeikh, apa maksudnya?”. Ibnu Baz berkata kepada cucunya, “Kami hanya guyon dengan dia. Kami tidak mengharuskannya untuk nikah lagi. Kami akan berkunjung ke rumahmu meski tidak ada acara pernikahan”. (www.ustadzaris.com)
4. Abdullah bin Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahawa dia menemani Syeikh Ibnu Utsaimin (dari Unaizah) menuju Al-Bada-i yang jaraknya 15 km dari Unaizah untuk memenuhi undangan makan pagi.
Setelah makan pagi, ketika mereka dalam perjalanan pulang mereka melihat seorang dengan janggut berwarna merah (mungkin dicelup dengan hinna) dengan wajah tenang melambaikan tangan (mencari tumpangan).
Syeikh berkata: “Perlahanlah! Kita akan mengajaknya bersama kita”
Maka syeikh berkata kepada orang itu: “Engkau mahu kemana?”
Orang itu menjawab: “Ajak aku bersama kalian ke Unaizah”
Syeikh berkata: “Dengan dua syarat, pertama engkau tidak boleh merokok, kedua engkau harus mengingat Allah”
Orang itu menjawab: “Masalah rokok, aku tidak merokok, walaupun tadi aku menumpang seseorang yang merokok dan (kerana itu) aku minta diturunkan disini dan tentang mengingat Allah maka tidak ada muslim kecuali diamengingat Allah”
Maka orang itu naik ke kenderaan.
(Terlihat jelas sepanjang perjalanan bahwa) orang itu tidak menyedari kalau dia sedang bersama Syeikh Ibnu Utsaimin. Ketika tiba di Unaizah orang itu berkata: "Tunjukkan padaku rumah Syeikh Ibnu Utsaimin, kerana aku punya pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada beliau.”
Maka Syeikh berkata:”Kenapa tidak engkau tanyakan pada beliau ketika engkau bertemu dengan beliau di Al-Bada-i?”
Orang itu berkata: "Aku tidak bertemu dengan beliau”
Syeikh berkata: "Aku melihat sendiri engkau berbicara dengan beliau dan memberi salam kepadanya”
Orang itu berkata: "Engkau mempermainkan orang yang lebih tua dari orang tuamu!”
Syeikh tersenyum dan berkata kepadanya:”Solat Asarlah di masjid ini (Jami’ Unaizah) nanti engkau akan melihat beliau”
Orang itu pergi tanpa mengetahui bahawa tadi dia sedang berbicara dengan Syeikh Ibnu Utsaimin sendiri.
Setelah dia selesai solat Ashr, orang itu melihat syeikh didepan selesai mengimami solat jamaah, maka dia bertanya (pada orang lain) tentang beliau dan diberitahukan kepadanya bahawa syeikh itu adalah Syeikh Ibnu Utsaimin. Maka orang itu mendekati syeikh dan meminta maaf kerana tidak mengenali beliau tadi (diperjalanan), kemudian dia menyampaikan pertanyaannya. Syeikh pun menjawab pertanyannya dan orang itu mulai menangis memohon kepada syeikh.
(Al-Jami’ li Hayaat Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.38)
5. Jika ada seorang yang berkunjung ke rumah Syeikh Ibnu Baz rahimahullah, maka beliau pasti menawari orang tersebut untuk turut makan malam bersama beliau. Jika orang tersebut beralasan, “Wahai syeikh, saya tidak bisa” maka dengan nama berkelakar Ibnu Baz berkata, “Engkau takut dengan isterimu ya?! Marilah makan malam bersama kami”. (www.ustadzaris.com)
6. Dalam pelajaran fiqh, ketika membahas tentang cacat di dalam pernikahan, seorang murid bertanya kepada Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah : “Wahai syeikh, bagaimana seandainya ada seorang lelaki menikah, ternyata setelah itu diketahui isterinya tidak punya gigi, bolehkah dia mencerainya?”
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab : “Itu isteri yang sangat istimewa! Kerana dia tidak muungkin dapat menggigitmu!” (Majalah al-Furqon)
7. Ketika Syeikh Ibnu Baz rahimahullah hendak rakaman untuk acara Nurun ‘ala Darb (acara tanya jawab di radio al-Quran al-Karim di Saudi), biasanya beliau melepaskan kain serbannya dan dengan nada canda beliau berkata, “Siapa yang mahu memikul amanah?”. Jika ada salah seorang yang ada di tempat tersebut mengatakan, “Saya” maka beliau berkata, “Silakan ambil”. (www.ustadzaris.com)
8. Seseorang bertanya kepada Syeikh Utsaimin rahimahullah: “Ada sebuah hadis mengatakan : ‘Tidak ada pertaruhan dalam perlumbaan kecuali lumba panah atau unta atau kuda’. Apa pendapat anda mengenai orang yang menyelenggarakan lumba untuk ayam dan merpati?”
Beliau menjawab: “Wallahi- Ya akhi- Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam berkata “Tidak ada pertaruhan dalam perlumbaan kecuali lumba panah atau onta atau kuda”.”As-Sabaq” disini bermakna “Al-’audh”(mengganti). Kerana hal-hal ini membantu dalam kondisi peperangan. Kerana ada faedah (manfaat) darinya. Pembuat syariat membolehkan berlumba pada hal tersebut. Apabila ayammu bisa membantumu dalam peperangan bisa kau tunggani, meninju (melompat) dan menggali... maka tidak mengapa, jika tidak maka jangan…”
(Liqo Bab Al-Maftuh pertanyaan ketiga, kaset No.200)
9. Seseorang bertanya kepada Syeikh Utsaimin rahimahullah: “Apa hukum menggantungkan doa-doa di kenderaan seperti doa menaiki kendaraan atau safar dan lain sebagainya. Apa jawapan bagi yang berkata bahawa hal tersebut termasuk tamimah?”
Beliau menjawab: “Termasuk tamimah (jimat)? Saya katakan terhadap orang yang berkata bahawa hal ini tergolong tamimah: Sungguh telah benar, apabila kenderaannya sakit! Digantungkan doa-doa ini di mobilnya bukan di penumpangnya dan diletakkan di mobilnya juga baik kerana bisa mengingatkan penumpang dengan doa menaiki kendaraan. Atau dengan doa safar. Semua yang bisa membantu kebaikan maka hal itu baik.Saya tidak memandang menggantungknnya tidak boleh. Ini bukan termasuk tamimah kecuali sebagaimana saya katakan tadi : Jika mobilnya sedang sakit, kemudian digantungkannya doa-doa ini kemudian sembuh dengan izin Allah!! Oleh kerananya perkara ini baik-baik saja!
(Liqo As-Syahri, kaset No.9 Side B)
10. Diceritakan oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaybi: Setelah selesai solat di Masjidil Haram al-Makki, Syeikh Ibnu Utsaimin meninggalkan al-Haram untuk pergi ke suatu tempat dengan mobil, maka beliau menghentikan sebuah teksi dan menaikinya. Dalam perjalanan, sang pemandu ingin berkenalan dengan penumpangnya, maka dia menanyakan:”(Nama) anda siapa wahai syeikh?”
Syeikh menjawab:”Muhammad bin Utsaimin”
Dengan terkejut sang pemandu bertanya:”Syeikh Ibnu Utsaimin?” kerana mengira syeikh berbohong kepadanya, sebab dia tidak menyangka seorang seperti syeikh Ibnu Utsaimin akan menjadi penumpang teksinya.
Maka syeikh menjawab:”Ya, Asy-Syeikh”
Pemandu teksi memusing kepalanya untuk melihat wajah Asy-Syeikh al-Utsaimin.
Syeikh pun bertanya: "Siapakah (nama) kamu wahai saudaraku?”
Pemandu itu menjawab: "Saya Asy-Syeikh Abdul Aziz bin Baz!”
Syeikh pun tertawa dan menanyakan: "Engkau Syeikh Abdul Aziz bin Baz?!”
Pemandu teksi itu menjawab: "Ya, seperti anda Syeikh Ibnu Utsaimin”
Lalu syeikh berkata: "Tapi kan Syeikh Abdul`Aziz bin Baz buta dan beliau
tidak membawa mobil”
Seketika itu sang pemandu teksi mulai menyedari bahawa penumpang yang duduk disebelahnya benar-benar Syeikh Ibnu Utsaimin. Dan sungguh kacau apa yang dia hadapi sekarang (salah tingkah).
(Safahat Musyiqah min Hayaatil Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.79
Ref:Al-Madinah ((Ar-Risalah)), no: 13788)
11. Diceritakan oleh Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin: Ketika di studio sedang melakukan rakaman acara “Pertanyaan melalui Telefon”, seorang saudara bernama Sa’d Khamis selalu berkata kepada Syeikh Ibnu Utsaimin setiap kali selesai sesi rakaman: "Jazakallahu khairan wahai syeikh, (dan semoga) Allah mengasihi kedua orang tua anda”
(Pada kesempatan kali ini) Syeikh berkata: "Amin ya Sa’d dan untukku?”
Maka Sa’d barkata (lagi): "Semoga Allah mengasihi kedua orang tuamu”
Dan syeikh menjawab (lagi): "Amin dan untukku?”
Kemudian Sa’d Khamis menyedari apa yang dimaksud (oleh perkataan syeikh), maka dia berkata:”Semoga Allah mengasihi anda dan semoga Allah mengasihi kedua orang tua anda dan semoga Allah membalas kebaikan anda dengan sebaik-baik balasan”
Maka syeikh pun tersenyum lalu tertawa dan kita semuapun tertawa.
(Arba'ah 'asyar'aam ma'a Samahatil-Allamah Asy-Syeikh Ibnu Utsaimin – p.63)

NASEHAT SYAIKH ABDUL MUHSIN AL 'ABBAD AGAR SESAMA AHLUS SUNNAH SALING BERLEMAH LEMBUT

بسم الله الرحمن الرحيم



ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة



الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه

وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول : ( فاتقوا الله و أصلحوا ذات بينكم ) ويقول: (و اعتصموا بحبل الله جميعا و لا تفرقوا ) ويقول: (و لا تكونوا كالذين تفرقوا و اختلفوا من بعد ما جاءهم البينات و أولئك لهم عذاب عظيم )، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)).

وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر.

ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً ... إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)).

وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)).

والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق.

والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)).

وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين...))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل ... ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة...))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟!

وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)).

وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها.

ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم.

وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه.





عبد المحسن بن حمد العباد البدر 16/1/1432هـ،





الموضوع الأصلي: ((ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة)): العلامة عبد المحسن العباد

sumber:

http://www.facebook.com/note.php?note_id=499766386968&refid=21&ref=nf_fr

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More