Agar Ta’aruf Tidak Berbuah Kecewa.. (tahapan sebelum nazhar)

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta’aruf yang syar’i namun yang terjadi adalah sebuah kekecewaan dan kegagalan di masa ta’aruf. Hal ini terjadi karena kurangnya persiapan dan beberapa faktor eksternal yang kurang mendukung, seperti kurangnya info, tidak seriusnya perantara atau hal yang lainnya.

Diharapkan agar pihak-pihak yang bersangkutan dalam sebuah ta’aruf yang syar’i bagi calon pasangan suami istri (dari wali atau perantara) agar benar-benar memiliki itikad yang baik dan kuat dalam mensukseskan bursa perjodohan yang mereka selenggarakan, tidak perlu kampanye pasang baliho, spanduk dan promosi palsu...apalagi sampai masuk dalam kategori “money politic”, untuk itu mari kita simak beberapa hal di bawah ini :

Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pernikahan hendaknya diawali dengan niat yang tulus dan bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian akan berakibat baik dan mendapatkan ridha dari-NYA.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan... (QS. An-Nuur : 32)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai kaum muda! Barangsiapa di antara kalian telah mampu membiayai pernikahannya, hendaknya ia menikah! Karena ia akan lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan...” [HR. Al-Bukhari (5065), Muslim (1400)]

Sehingga diharapkan buah dari keikhlasan ini akan mampu memberikan jalan yang lebih lapang dalam menyusun sebuah rumah tangga yang sakinah, tidak akan berakhir kecuali dengan kebaikan. Imam Ahmad dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang seorang gadis Anshar kepada ayahnya untuk seorang laki-laki yang bernama Julaibib, ia bertubuh pendek dan berwajah buruk. Seolah-olah Al-Anshari (yakni ayah gadis itu) tidak menyukainya, maka si ayah berkata, ‘Nanti aku akan bermusyawarah dulu dengan ibunya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ya kalau begitu!’ Maka iapun mendatangi istrinya dan menyebutkan perkara itu kepadanya. Istrinya menentangnya dengan keras. Maka si gadis itu berkata setelah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya, ‘Apakah kalian ingin menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Kemudian gadis itu membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS Al-Ahzab : 36)

Maka si gadis berkata, “Aku ridha danmenerima apa yang membuat ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdo’a untuknya, “Ya Allah, curahkanlah kebaikan atasnya dan janganlah jadikan sempit kehidupannya.” Maka ia menjadi shahabat Anshar yang paling banyak pendapatan dan hartanya. Anas berkata, ‘Tidak ada janda yang lebih kaya dari pada dirinya.” Ia telah menjadi janda setelah Julaibib keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan.

Jangan memasang target terlalu tinggi

Akhi dan ukhti jangan memasang target sasaran calon suami atau calon istri yang terlalu tinggi, karena hal tersebut hanya akan menyakiti hati dan membuka pintu syaithan untuk merusak benih-benih pernikahan yang syar’i, selain itu dengan terlalu berlebihan dalam berangan-angan akan membuat pelakunya susah mendapatkan calon pendamping hidup sesuai yang diharapkan.

Seyogyanya seorang muslim dan muslimah yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menentukan calon pasangan hidup yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, yakni mengedepankan ilmu agama yang dimiliki oleh masing-masing calon pasangan hidup. Bukan hanya memperhatikan masalah fisik, jabatan atau harta seseorang saja, karena hal demikian justru akan membuat rusaknya angan-angan yang dibangun saat mengetahui bahwa fisik, jabatan dan harta tidak mampu mewujudkan kebahagiaan dalam rumah tangga.

Target pasangan hidup yang tinggi (masalah fisik, kedudukan dan harta), tidak menjamin akan memberikan pasangan hidup yang ideal ketika tidak memiliki aqidah yang syar’i dan keshalihan akhlak, jadi diharapkan tidak ada akhwat atau ikhwan yang terlalu memprioritaskan proporsi fisikis calon pendampingnya kelak, semua itu adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak layak kita merendahkan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mencari informasi yang akurat

Agar pasangan yang akan menikah berusaha mengumpulkan informasi yang “shahih”, dengan cara yang sesuai syari’at, yakni dengan menanyakan kepada keluarga yang bersangkutan atau perantara yang membantu ta’aruf tersebut, hal ini tidak termasuk dalam hal ghibah (menggunjing) atau tajassus (mengorek informasi/memata-matai) yang dilarang, asalkan dengan maksud memberikan nasihat dan perhatian, bukan untuk menyakiti orang lain.

Pernikahan syar’i bukanlah hal “membeli kucing dalam karung” sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kalangan juhala (orang-orang yang jahil ilmu agamanya), sehingga mereka juhala menggunakan alasan ini untuk menghalalkan pacaran, padahal justru sebuah pernikahan yang syar’i mengandung nilai keadilan untuk mengetahui kondisi dan keadaan seorang wanita yang akan dipinang.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam kepada Fathimah binti Qais ketika dia meminta pendapat beliau shallallahu ‘alaihi wa salam: “Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), Sedangkan Mu’awiyah adalah seorang laki-laki yang fakir dan tidak memiliki harta. Nikahilah olehmu Usamah” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Dalah hadits shahih di atas, seorang akhwat boleh memilih ikhwan yang akan dinikahkan dengannya sesuai dengan kondisi yang berkenan dengan hatinya, tentunya dengan nasihat seseorang yang shalih yang mengetahui kondisi akhlak dan agama ikhwan yang bersangkutan. Perlu diperhatikan bahwa menyebutkan aib dan kekurangan yang bersangkutan hanya ketika diperlukan, namun jika tidak diperlukan maka tidak boleh menyebutkannya.

Diharapkan juga bagi seorang wali atau perantara dalam ta’aruf memberikan informasi yang sejujur-jujurnya karena Allah Ta’ala, karena sekecil apapun kedustaan itu akan berakibat buruk di kemudian hari dan akan dicatat sebagai dosa yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Mendapatkan informasi yang benar juga agar seorang ikhwan tidak sampai meminang akhwat yang telah dipinang oleh ikhwan yang lain karena hal tersebut tidak halal baginya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam : “Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh saudaranya sampai orang tersebut menikahinya atau meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhari (5143), Muslim (1413)]

Terima dia apa adanya

Tidak semua yang datang kepada kita bisa sesuai dengan kehendak hati kita, ada saatnya apa yang kita dapatkan justru jauh di luar bayangan kita, maka terimalah dia calon pendampingmu apa adanya. Seorang akhwat biasanya ketika mencari calon pendamping kadang selalu mempertanyakan tentang berapa penghasilan calon suami per bulannya.

Kasihan ikhwan, tidak mungkin ikhwan harus memasang tanda “akhwat matre dilarang ta’aruf” pada bajunya, fenomena “akhwat matre” juga kadang membuat bursa perjodohan makin carut marut, lebih susah diatur daripada pengurusan bursa pencalonan bupati dan lurah. Alasan mencari ikhwan yang “sekufu” atau sekadar berangan-angan agar bisa hidup dengan enak dan nyaman akan merusak suatu nilai pernikahan yang sesuai sunnah, bahkan sering terjadi saat ta’aruf berubah menjadi puncak kekecewaan setelah memupuk harapan dan bermain dengan angan-angan.

Maka terimalah dia pasanganmu apa adanya, (ada rumah, ada mobil, ada jabatan... afwan terkadang plesetan seperti ini muncul ketika perkataan apa adanya berubah menjadi sebaliknya pada kenyataannya, namun yang membuat akhwat kadang ambil langkah mundur ketika ada perkataan..”ada istri pertama..”, “tak ingin aku dimadu..!” katanya).

Menerima calon pendamping dengan lapang dada dan apa adanya akan meringankan beban pikiran dan melegakan hati, juga memperkecil peluang dan pintu-pintu syaithan untuk menggagalkan ta’aruf yang sesuai syar’i, perlu diwaspadai bahwa syaithan tidak akan tinggal diam melihat seorang muslim yang berusaha ber ‘ittiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi w a sallam. Menerima calon pasangan apa adanya juga termasuk sunnah untuk menyegerakan menikah ketika yang bersangkutan sudah siap dan memenuhi syarat.

Ada prasangka kuat bahwa tawaran (pinangan) nya akan diterima

Setelah melalui pemahaman dan menelaah informasi yang akurat dari wali akhwat atau perantara ikhwan yang bersangkutan kemudian masing-masing pihak dari calon suami dan calon istri yang akan nazhar memiliki kehendak yang kuat untuk menerima ikhwan atau akhwat setelah nazhar maka dianjurkan untuk melanjutkan ta’aruf ini.

Namun jika setelah menerima informasi ada ganjalan dan sesuatu yang tidak disukai dari salah satu pihak yang nanti akan membuat sebuah ta’aruf berbuah kecewa lebih baik tidak usah nazhar dan tidak perlu diteruskan ta’arufnya, kecuali pihak yang keberatan telah menyatakan kerelaan dan ikhlas atas kekurangan calon pendamping hidupnya.

Dianjurkan juga bagi laki-laki yang yang berta’aruf dan wanita yang berta’aruf untuk beristikharah dalam masalah ini . Masing-masing dari keduanya beristikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang calon mempelai (saat ta’aruf), tentang waktu pernikahan dan yang lainnya.

Wallahu a’lam bish showab

Oleh Andi Abu Hudzaifah Najwa

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More