SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Oleh: Rahmat A. Rahman
Ketua Lembaga Kajian & Konsultasi Syariah Wahdah Islamiyah

Berbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka, baik ketika berdampingan dengan Rasulullah saw. maupun setelah beliau wafat.



Keberadaan dan peran mereka di tengah-tengah umat merupakan bukti nyata kegemilangan dakwah Rasulullah s.a.w., yang diutus sebagai Rasul untuk membina umat manusia ke jalan keselamatan. Mereka-lah para pahlawan yang selalu tegar di garda terdepan membela dan menyebarkan agama ini. Melalui tetes keringat dan darah mereka syariat ini abadi. Dan sejarah membuktikan, bahwa ketulusan dan keikhlasan hati mereka mengemban amanah Rasulullah saw itu, menjadikan mereka generasi teladan sepanjang sejarah umat manusia.

Merekalah generasi yang tumbuh langsung di bawah naungan tarbiyah Rasulullah saw. Menyaksikan dan mendengar segala yang berkaitan dengan agama ini langsung dari beliau saw. Karenanya, mereka ibarat menara benderang dalam hal pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah, kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan hidup. Dan semua ini tergores apik dalam tinta emas sajarah peradaban umat. Hingga tidak heran kalau kemudian mereka ditahbis sebagai tonggak penegak kelangsungan ajaran Islam.

Melihat hal tersebut, wajar jika mereka menjadi target makar musuh-musuh agama. Sebab dengan merusak kredibilitas dan persepsi umat tentang mereka, akan lebih mudah mengacaukan manhaj yang benar dalam memahami dan merealisasikan syariat Islam. Berbagai pencemaran nama baik dilakukan firqah-firqah sesat sejak sepeninggal Rasulullah saw hingga saat sekarang ini. Contoh yang paling nyata dalam sejarah, adalah munculnya fitnah Khawarij dan Syiah, yang begitu getol menyudutkan para sahabat. Akan tetapi, beruntunglah para sahabat ra yang mengambil langsung hidayah dari tangan Nabi saw, hingga dengannya mereka sanggup keluar dari fitnah tersebut, bahkan menjelaskan kepada umat sikap dan posisi semestinya menghadapi semua itu.

Terakhir, kami ingatkan, bahwa fitnah dan upaya memecah belah umat Islam melalui jalan merusak ‘adalah para sahabat, tidak pernah berhenti. Dan Rasulullah saw. memberi jalan kepada kita: “Tetapilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidun al-Mahdiyun setelahku …”. Semoga Allah swt. membimbing kita agar terhindar dari fitnah yang merusak agama.

A. DEFINISI SAHABAT RASULULLAH SAW.
Secara bahasa: Shahabi merupakan pecahan dari kata as-Shuhbah, yang berarti Mu’asyarah (pergaulan atau persahabatan). Disebutkan dalam kitab “Lisanul Arab”: kata Shaahabahu bermakna ‘asyarahu, (yakni, menemaninya dan bersamanya).

Dan di dalam kamus al-Mishbah al-Munir karya al-Fayumi, disebutkan: Kata as-Shuhbah diarahkan pada orang yang sempat melihat dan duduk (bersama sahabatnya).

Sedangkan secara istilah, shahabi adalah: “Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”. Maka termasuk dalam kategori ini semua mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. baik dalam waktu lama maupun singkat, meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun tidak, turut berperang beserta beliau maupun tidak, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal seperti buta…”. (Ibnu Hajar dalam kitabnya: al-Ishabah I/6-8)

Cara mengetahui status seseorang sebagai sahabat adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Baits al-Hatsits hal. 185, “Status sahabat dapat diketahui melalui (berita) mutawatir, atau berita yang mustafîdhah (banyak namun di bawah derajat mutawatir), atau dengan kesaksian sahabat yang lain, atau bisa juga dengan meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, baik secara sama’ (mendengar) ataupun menyaksikan, selama berada satu zaman (dengan Nabi).”

B. KEDUDUKAN SAHABAT RASULULLAH SAW. DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Untuk menjelaskan kedudukan shahabat Rasulullah saw. dalam ajaran Islam maka dapat dilihat pada ayat-ayat dan hadits-hadits berikut ini:
I. Dalil-dalil dari al-Qur’an:
Ayat Pertama:

َقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. (Qs: al-Fath : 18).

Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma berkata: “Jumlah kami saat itu sebanyak seribu empat ratus orang”. (Riwayat al-Bukhari, no. 4154)

Ayat ini merupakan dalil yang jelas akan persaksian Allah Ta’ala dan tazkiyah atas para sahabat. Dan ini merupakan bentuk persaksian terhadap apa yang ada dalam hati mereka, sebab Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang terkandung di dalamnya. Dari sini lahirlah keridhaan-Nya atas mereka. Dan siapa yang Allah Ta’ala telah ridha padanya, mustahil mati dalam keadaan kufur. Sebab ukuran utamanya adalah kematian dalam keadaan Islam. Disamping keridaan itu tidak mungkin terwujud melainkan jika kematian mereka berada di atas agama Islam.

Dan hal ini lebih ditegaskan lagi oleh hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا

“Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang ikut berbai’at di bawah (pohon)”. HR. Muslim, no. 2496.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Fashl fil Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal IV/116: Siapa yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita, bahwa Ia mengetahui apa yang ada dalam hati-hati mereka, ridha terhadapnya, serta menurunkan sakinah (ketenangan) atasnya, maka tidak halal bagi siapa-pun untuk tawaqquf (tidak mengakui keutamaan tersebut) atau ragu tentang mereka.

Ayat Kedua:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Qs: al-Fath : 29).

Imam Malik rahimahullah berkata: Telah sampai padaku (berita) bahwa kaum Nashrani jika menyaksikan para sahabat yang menaklukkan negeri Syam, mereka berujar: “Demi Allah, mereka itu lebih baik ketimbang kaum Hawariyyun sebagaimana yang kami ketahui tentang mereka. Perkataan ini merupakan bukti kejujuran. Sebab umat ini begitu diagungkan dalam kitab-kitab samawi. Dan yang paling mulia dan agung adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dimana Allah Ta’ala telah memuliakan penyebutan mereka dalam kitab-kitab samawi yang diturunkan, serta dalam kabar-kabar yang diwariskan secara turun-temurun.( Tafsir Ibnu Katsir IV/204, cet. Darul Ma’rifat. Lihat pula: Al-Isti’ab, Ibnu Abdil Barr, I/6 cet. Daar al-Kitab al-Arabi. )

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam tafsirnya Zaadul Masir VII/446: “Sifat ini diarahkan kepada seluruh sahabat, menurut jumhur ulama”.

Ayat Ketiga:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ، وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ، وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman…. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs: al-Hasyr : 8 – 10).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan sifat-sifat mereka yang berhak mendapat harta faiy, dan mereka itu terbagi atas tiga golongan: Fuqara’ al-Muhajirin (orang-orang fakir yang berhijrah), orang-orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, serta orang-orang yang datang sesudah kaum Muhajirin dan Anshar.

Olehnya, Imam Malik rahimahullah -sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya IV/339- menggunakan ayat ini sebagai dalil, bahwa siapa yang mencela para sahabat maka tidak ada bagiannya dari harta faiy itu. Sebab padanya tidak terdapat sifat yang Allah Ta’ala puji bagi mereka -golongan ketiga-, yakni ucapan mereka: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami”.
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu berkata: Manusia itu terdiri dari tiga tingkatan: Dua tingkatan telah berlalu, dan tinggal satu tingkatan lagi. Maka yang paling terbaik bagi kalian adalah menjadi bagian dari golongan yang masih tinggal tersebut, -lalu beliau membaca ayat ini-. Yakni, hendaklah engkau memohonkan ampun bagi mereka (Kaum Muhajirin dan Anshar). Riwayat al-Hakim

Ayat Keempat:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs: at-Taubah : 100).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul hal. 572, berkata: Allah Ta’ala ridha atas orang-orang terdahulu yang pertama masuk Islam, tanpa syarat ihsan. Dan Ia tidak meridhai bagi mereka yang datang kemudian, melainkan jika mengikuti mereka dengan baik (ihsan).

Ayat kelima:

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs: al-Hadid : 10).
Imam at-Thabari meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dari Imam Mujahid dan Qatadah yang berkata: Al-Husna dalam ayat ini bermakna: Surga.
Ibnu Hazm rahimahullah berhujjah dengan ayat ini kala menyatakan: Bahwa tidak diragukan lagi, seluruh sahabat termasuk ahli surga, seperti firman Allah Ta’ala: “Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik –yakni surga –”.( Al-Fashl Fii al-Milal Wa al-Ahwa Wa an-Nihal, IV/116)

Ayat keenam:

وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آَمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ ، رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ ، لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ، أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): “Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk”. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. at-Taubah : 86-89)
Sejarah membukukan, bahwa para sahabat seluruhnya menghadiri perang Tabuk tersebut, kecuali orang-orang yang terhalangi udzur dari golongan para wanita dan orang tua renta. Adapun tiga orang yang tertinggal darinya, seperti disebutkan dalam surah at-Taubah, sungguh telah turun ayat yang mengabulkan taubat mereka setelah itu.

II. Dalil-dalil dari as-Sunnah
Hadits Pertama:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ …

Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Hadits Kedua:

عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما تلك الفرقة قال ما انا عليه اليوم وأصحابي

Dari Anas ibn Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semua di neraka kecuali satu”. Mereka bertanya: Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah saw. ? Beliau menjawab: “Yang (mencontoh) kepadaku dan para sahabatku saat ini”. HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam as-Shagir no. 724

Hadits Ketiga:
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu:

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : ” اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُم “

“Apakah engkau mengetahui, bahwa Allah Ta’ala telah melihat (ke dalam hati) orang-orang yang ikut dalam perang Badar, lalu Ia berfirman: “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian”.HR. al-Bukhari, no. 3983, dan Muslim, no. 2494
Makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas, bahwasanya amal-amal keburukan mereka (yang ikut dalam perang Badar) telah diampuni, seakan ia tak pernah terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu hajar al-Atsqalani dalam kitab Ma’rifatul Khishal al-Mukaffirah hal. 31
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya al-Fawaid hal. 19 berkata: Allah Ta’ala lebih mengetahui, bahwa pernyataan ini ditujukan pada mereka yang tidak bakal meninggalkan agamanya. Bahkan mereka akan mati di atas agama Islam. Walau terkadang jatuh dalam dosa sebagaimana yang terjadi pada selain mereka. Akan tetapi, Allah Ta’ala tidak meninggalkan mereka berketerusan dalam kubangan dosa tersebut, bahkan Ia melimpahkan taufiq-Nya untuk bertaubat nashuha dan memohon ampun. Sungguh, perbuatan yang baik itu akan menghapuskan segala bekas-bekas yang ditinggalkan oleh dosa. Penghkususan ini dikarenakan hal itu telah terjadi, dan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang mendapat ampunan”.

Hadits Keempat:

عن أبي موسى الأشعري، أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: ” النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُون”.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bintang-bintang itu penjaga bagi langit, jika ia lenyap maka terjadilah pada langit apa yang telah dijanjikan. Aku adalah penjaga bagi sahabatku, jika aku telah tiada, maka akan terjadi pada sahabatku apa yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah penjaga umat ini, jika mereka tiada, maka akan terjadi pada umat ini apa yang dijanjikan”. HR. Muslim, no. 2531

Hadits Kelima:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه، أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: ” أَكْرِمُوا أَصْحَابِي ، فَإِنَّهُمْ خِيَارُكُمْ “.

Dari Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah (generasi) terbaik kalian”. HR. Abdun Ibnu Humaid dan al-Hakim dengan sanad Shahih. Lihat Misykat al-Mashabih, Syaikh al-Albani, III/1695

Hadits Keenam:

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : ” لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي “.
Dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat dan menemaniku. Demi Allah, kalian akan senatiasa berada dalam kebaikan selama masih ada di antara kalian orang yang pernah melihat orang yang melihatku dan berteman dengan orang yang menemaniku”. (HR. Ibnu Abi Syaibah, XII/178, Ibnu Abi ‘Ashim, II/630, at-Thabarani dalam al-Kabir, XXII/85. Dihasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath, VII/5. al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam al-Majma’, X/20: Diriwayatkan oleh at-Thabarani melalui beberapa jalur, dan salah satunya melalui perawi-perawi shahih).

Hadits Ketujuh:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ “.

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda iman itu cinta kepada kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar”. (HR. al-Bukhari, no. 3500, dan Muslim, no. 74).

Di dalam beberapa riwayat bahkan disebutkan secara eksplisit jaminan syurga kepada banyak sahabat, seperti yang disebut dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi no. 4112 dan selainnya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ »

bersabda: “Abu Bakar di syurga, Umar di syurga, Utsman di syurga, Ali di syurga, Thalhah di syurga, Zubair di syurga, Abdurahman ibn Auf di syurga, Sa’ad (ibn Abi Waqqash) di syurga, Said (ibn Zaid ibn Amru ibn Nufail) di syurga, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah di syurga”
Sebenarnya masih banyak hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan dan ‘adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Olehnya, Imam Ahmad rahimahullah mengumpulkan kurang lebih dua ribu hadits dan atsar yang berkaitan dengan keutamaan para sahabat dalam kitab beliau Fadhail al-Shahabah. Dan kitab yang terdiri dari dua jilid ini telah ditahqiq Dr. Washiyullah bin Muhammad Abbas, dan dicetak oleh Jami’ah Ummul Quro, th. 1403 H.

C. KEDUDUKAN SAHABAT RASULULLAH SAW. DI KALANGAN AHLUL BAIT
1. Saling hormat dan cinta.
Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang yang paling menghormati dan mencintai keturunan dan keluarga Rasulullah saw. -yang beriman-. Sebab mereka faham, bahwa di antara tuntutan cinta kepada Rasulullah saw., adalah cinta kepada keluarga beliau yakni istri, anak, paman, sepupu, cucu dan kerabat dekat Rasulullah saw. Disamping itu, mereka -dan seluruh umat Islam- mendapat wasiat khusus dari Rasulullah saw. untuk tidak menyakiti keluarga beliau saw., sebagaimana riwayat Zaid ibn Arqam ra., oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 2408). Dalam sejarah, perkataan dan sikap para sahabat Rasulullah saw. terhadap Ahlul Bait merupakan bukti akan penunaian wasiat tersebut. Perhatikan ucapan sahabat yang mulia, Abu Bakar ra, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (7/98):
“Sungguh, keluarga Rasulullah saw. lebih aku cintai dari keluargaku sendiri”
Bahkan Zaid ibn Tsabit ra. ketika bertemu Abdullah bin Abbas ra. di sebuah jalan, beliau turun dari kendaraan lalu mempersilahkan beliau mengendarainya, seraya berkata: “Demikianlah Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk memperlakukan (dengan baik) keluarga beliau”.
Demikian pula Ahlul Bait menghormati dan menghargai para sahabat Rasulullah saw. yang bukan dari kerabat beliau saw. Imam Bukhari dan Imam at-Tirmidzi (no: 3891), meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Saya berdiri di tengah kerumunan orang yang mendoakan Umar ibnul Khatthab ra. (setelah beliau ditikam), saat beliau dibaringkan di pembaringan. Tiba-tiba seorang yang ada di belakang saya meletakkan lengannya di atas pundakku seraya berkata: Semoga Allah merahmatimu wahai Umar, saya berharap Allah mengumpulkanmu bersama kedua sahabatmu. Sungguh, saya sering mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Adalah saya bersama Abu Bakar dan Umar, saya berbuat bersama Abu Bakar dan Umar, saya pergi bersama Abu Bakar dan Umar”, maka saya sungguh berharap Allah mengumpulkanmu kembali bersama keduanya. Saya (Ibnu Abbas) lalu menoleh ke belakang, ternyata orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib”.

Dalam banyak riwayat yang shahih, ketika Ali ibn Abi Thalib ra. ditanya tentang orang yang paling mulia setelah Rasulullah saw., dengan tegas beliau menjawab: Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman ra., bahkan beliau mengancam akan mencambuk siapa saja yang melebihkan beliau atas Abu Bakar dan Umar ra. (Lihat riwayat al-Bukhari , Imam Ahmad dalam Musnad Ali ibn Abi Thalib ra. no. 834, 836, 837,879,880, dan Imam Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 1001 dan 826).
Riwayat-riwayat yang banyak tentang penghargaan Ahlul Bait kepada para sahabat telah dihimpun oleh Imam as-Syaukani dalam sebuah buku berjudul: “Irsyadul Gabhiy ila Madzhabi Ahlil Baiti fie Sahbi an-Nabiy”.

2. Hubungan pernikahan antara sesama mereka.
Dalam riwayat-riwayat shahih disebutkan, Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah binti Abi Bakar dan Hafshah binti Umar. Abu Bakar menikah dengan Asma binti Umais yang sebelumnya dinikahi oleh Ja’far ibn Abi Thalib, lalu sepeninggal Abu Bakar, ia dinikahi oleh Ali ibn Abi Thalib ra. Ummu Farwah binti al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (cucu Abu Bakar ra.) dinikahi oleh Muhammad ibn Ali al-Baqir, Umar ibn al-Khattab menikahi anak Ali ibn Abi Thalib ra. yang bernama Ummu Kultsum.

3. Ali ibn Abi Thalib dan keturunan beliau ra. menamakan anak-anak mereka dengan nama sahabat.
Di antara anak keturunan Ali ibn Abi Thalib ra. ada yang bernama Abu Bakar, Umar dan Utsman. Al-Hasan menamakan anak beliau Abu Bakar, dan dua orang dengan nama Umar. Demikian pula al-Husain, Ali Zainul Abidin menamai anak beliau Umar dan Utsman, dan beliau senang dipanggil dengan kunyah Abu Bakar. al-Kazhim, ar-Ridha dan al-Hadi menamakan putri-putri mereka dengan nama Aisyah.

D. HUKUM MENGHINA DAN MEMAKI SAHABAT RASULULLAH SAW.

Pengertian Menghina Para Shahabat
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah sebagaimana tersebut dalam kitab Hukmu Sabbi as-Shahabah hal. 25 menafsirkan maksud dari memaki para sahabat, yakni perkataan yang dapat menjatuhkan sifat ‘adalah (taqwa dan wara’) para sahabat, bahwa mereka telah berbuat zalim dan fasiq sepeninggalan Nabi shallallahu alaihi wasallam, serta mengambil urusan bukan di atas kebenaran.
Atau, membicarakan sesuatu (berkenaan dengan para sahabat) untuk tujuan merendahkan atau menghina. Dan segala yang dapat dipahami oleh akal manusia (menjurus ke arah demikian), menurut perbedaan keyakinan mereka. Seperti melaknat, menyematkan (pada mereka) gelar-gelar buruk dan lain sebagainya.( As-Sharim al-Maslul,Ibnu Taimiyah, hal: 561, Daar Ibni Hazm, Beirut, th. 1417 H )

Hukum Menghina dan Memaki Sahabat
Menghina dan memaki para sahabat merupakan perbuatan tercela sekaligus dosa yang sangat besar. Bahkan pelakunya bisa keluar dari Islam atau kafir. Yang demikian, jika hinaan terhadap sahabat itu berkaitan dengan agama mereka. Misalnya menganggap mereka atau sebagian dari mereka telah kafir, murtad atau fasiq. Perbuatan ini, tidak diragukan lagi dapat membuat pelakunya kafir. Adapun jika celaan tersebut berkenaan dengan sifat-sifat (akhlak) pribadi para sahabat Nabi, maka kelancangan ini bisa berbuah dosa besar yang pelakunya wajib diberi hukuman.
Adapun perkataan ulama tentang hukum orang yang menghina sahabat, adalah sebagai berikut:

Imam Malik rahimahullah berkata: “Mereka yang membenci para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang kafir”.(Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir V/367-368.)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: Wajib atas pemerintah memberi hukuman dan siksaan serta tidak boleh memberi maaf baginya (penghina sahabat). Bahkan harus menegakkan hukum dan memaksanya untuk bertaubat.(As-Sunnah, Ahmad bin Hambal, hal: 78, Tahqiq: Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami, Beirut, th. 1400 H / 1980 M. )

al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Menghina salah satu dari mereka (sahabat) merupakan dosa besar. Menurut kami dan jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan demikian pantas mendapat ta’ziir (hukuman setimpal menurut kebijaksanaan hakim). (Al-Syifa Bi Ta’riifi Huquq al-Mushtafa, II/653, tahqiq: Muhammad Amin Qurrah Ali, Muassassah Ulum al-Qur’an, Damaskus.)

al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata: Yang merupakan pendapat para fuqaha (ahli Fiqhi Islam) tentang hukum menghina sahabat: Jika ia menghalalkan perbuatan tersebut maka ia kafir, namun jika tidak menghalalkan maka ia fasiq.(Hukmu Sabbi as-Shahabah, Ibnu Taimiyah, hal: 33.)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Ketahuilah, bahwa menghina sahabat hukumnya haram dan termasuk perbuatan haram yang keji, hukum ini sama saja apakah terhadap (sahabat) yang terkena fitnah atau selain mereka.(Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, XVI/93, Daar al-Fikr, Beirut, th. 1401 H / 1981 M.)

Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Kabair hal. 352-353: “Barangsiapa yang mencaci dan menghina mereka (para shahabat), maka sungguh ia telah keluar dari agama Islam dan merusak kaum muslimin.

Dalil-dalil yang mengharamkan menghina para sahabat
Hadits Pertama:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري قال: َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ”.

Dari Abu Sa’id ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian mencela seorang-pun dari sahabatku. Sungguh jika salah seorang diantara kalian berinfaq sebesar gunung uhud emas, maka itu belum menyamai segenggam (dari infaq) mereka dan tidak pula setengahnya”. HR. al-Bukhari, no: 3673, Muslim, no: 2541

Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: “Jangan kalian memaki sahabat-sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sungguh keberadaan mereka sesaat (di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam) lebih baik dari pada amal ibadah kalian selama empat puluh tahun”. Riwayat Ahmad dalam Fadhailus Shahabah, I/57, Ibnu Majah no: 158, Ibnu Abi Ashim, II/484. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, I/32.

Hadits Kedua:

عن عويم بن ساعدة رضي الله عنه :” أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي أَصْحَابًا ، فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ وَأَنْصَارًا ، فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ، لا يَقْبَلُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْلا”.

Dari Uwaim bin Sa’idah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memilih diriku, lalu memilih untukku para sahabat dan menjadikan mereka sebagai pendamping dan penolong. Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang sunnah”. HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Sanadnya Shahih, dan disepakati oleh az-Dzahabi, III/632. Akan tetapi didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dhaifah, no: 3157

Hadits Ketiga:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ”.

Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berhati-hatilah tentang sahabatku, jangan kalian jadikan mereka bahan ejekan sepeninggalanku. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cintaku aku mencintainya. Dan siapa yang membenci mereka maka dengan kebencianku akupun membenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakiti aku. Siapa yang menyakiti aku maka ia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah, maka pasti Ia akan menyiksanya”. (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits ini Hasan. Akan tetapi Syaikh al-Albani menyatakan dha’if dalam Dha’if at-Tirmidzi no: 808.)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan akan haramnya mencela para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

ALASAN MENGAPA MENGHINA SAHABAT, HUKUMNYA KAFIR
Adapun alasan mengapa menghina para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menuduh mereka dengan kekufuran, kefasikan dan sebagainya bisa membuat pelakunya keluar dari Islam, adalah sebagai berikut:

Pertama: Perkataan bahwa para penyampai al-Qur’an dan Sunnah (para sahabat) itu kafir atau fasiq mengandung konsekwensi keraguan terhadap keduanya. Sebab, celaan pada para penyampainya pada hakikatnya merupakan celaan pada apa yang mereka sampaikan, yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua: Perkataan ini merupakan pengingkaran terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah, berupa keterangan akan keridhaan Allah Ta’ala atas mereka. Padahal, pengetahuan yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang keutamaan mereka itu sifatnya qath’i. Dan siapa yang mengingkari suatu perkara yang telah qath’i maka ia telah kafir.

Ketiga: Perbuatan ini menyakiti baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebab mereka adalah sahabat-sahabat yang memiliki tempat khusus dalam hati beliau. Menghina seseorang yang khusus baginya tidak diragukan lagi dapat menyakiti beliau. Dan menyakiti beliau shallallahu alaihi wasallam merupakan satu kekafiran sebagaimana ditegaskan para ulama.
Akan tetapi, semua ini tidak berarti bahwa Ahlussunnah mengkultuskan dan menganggap para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang suci yang ma’shum dari kesalahan tidak sebagaimana asumsi kaum Syiah akan kema’shuman Ahlul Bait. Para sahabat radhiyallahu anhum dalam pandangan Ahlussunnah adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan, baik di saat bersama Rasulullah saw., ataupun sepeninggal beliau. Namun kesalahan-kesalahan tersebut jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka yang begitu banyak, serta perjuangan mereka melanjutkan risalah Rasulullah saw., adalah ibarat butir-butir pasir pada padang sahara yang luas atau tetes-tetes air di samudra membentang. Imam at-Thahawi berkata dalam matan kitab Aqidah-nya yang merupakan salah satu kitab induk Ahlussunnah:
“Dan kami cinta kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. namun kami tidak berlebih-lebihan dalam cinta kepada seorangpun di antara mereka dan juga tidak berlepas diri dari seorangpun dari mereka. Kami benci kepada yang membenci mereka atau menyebut mereka dengan selain kebaikan, maka kami tidak menyebut-nyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah bagian dari agama, iman dan ihsan, sedangkan benci mereka adalah kekufuran, nifaq dan tindakan berlebih-lebihan”.

E. CONTOH TEKS DALAM KITAB INDUK KAUM SYIAH YANG MEMAKI BAHKAN MENGKAFIRKAN SAHABAT RASULULLAH SAW.
Sebagian umat Islam menuduh Ahlussunnah membuat fitnah atas kaum Syiah tentang sikap mereka terhadap sahabat Rasulullah saw. Padahal memang demikian adanya. Olehnya, kami nukilkan beberapa teks dalam kitab induk Syiah yang memberi ketegasan akan sikap mereka terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw. Dan ini hanya sebagai contoh kecil dari contoh-contoh yang begitu banyak tersebar, wallahul musta’an.

a. Riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi 1/420

الحسين بن محمد، عن معلى بن محمد، عن محمد بن اورمة وعلي بن عبدالله، عن علي بن حسان، عن عبدالرحمن بن كثير، عن أبي عبدالله عليه السلام في قول الله عزوجل: ” إن الذين آمنوا ثم كفروا ثم آمنوا ثم كفروا ثم ازدادوا كفرا لن تقبل توبتهم ” قال: نزلت في فلان وفلان وفلان، آمنوا بالنبي صلى الله عليه وآله في أول الامر وكفروا حيث عرضت عليهم الولاية، حين قال النبي صلى الله عليه وآله: من كنت مولاه فهذا علي مولاه، ثم آمنو بالبيعة لامير المؤمنين عليه السلام ثم كفروا حيث مضى رسول الله صلى الله عليه وآله، فلم يقروا بالبيعة، ثم ازدادوا كفرا بأخذهم من بايعه بالبيعة لهم فهؤلاء لم يبق فيهم من الايمان شئ

“Al-Hasan ibn Muhammad, dari Ma’la ibn Muhammad, dari Muhammad ibn Urmah dan Ali ibn Abdullah, dari Ali ibn Hassan, dari Abdurrahman ibn Katsir, dari Abu Abdillah as. tentang firman Allah “Sesungguhnya orang-orang beriman kemudian mereka kafir kemudian mereka beriman kemudian mereka kafir kemudian bertambah kekafirannya tidaklah taubat mereka diterima selama-lamanya”, beliau berkata: ayat ini turun pada fulan, fulan dan fulan. Mereka beriman kepada Nabi saw. saat pertama, lalu kafir setelah diperhadapkan kepada al-wilayah (kepemimpinan Ali), yaitu ketika Nabi bersabda: Siapa yang menjadikanku mawla’ maka Ali-lah mawla’nya. Kemudian mereka beriman dengan berbaiat kepada Amirul Mukminin as., lalu setelah itu kafir sepeninggal Rasulullah saw., dimana mereka menolak berbaiat, lalu bertambah kekafiran mereka dengan membaiat yang mereka baiat. Sungguh, mereka-mereka itu tidak beriman sedikitpun”.

b. Riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi 1/426

الحسين بن محمد، عن معلى بن محمد، عن محمد بن اورمة، عن علي بن حسان عن عبدالرحمن بن كثير، عن أبي عبدالله عليه السلام في قوله تعالى: ” وهدوا إلى الطيب من القول وهدوا إلى صراط الحميد ” قال: ذاك حمزة وجعفر وعبيدة وسليمان و أبوذر والمقداد بن الاسود وعمار هدوا إلى أمير المؤمنين عليه السلام وقوله: ” حبب إليكم الايمان وزينه في قلوبكم (يعني أمير المؤمنين) وكره إليكم الكفر والفسوق و والعصيان ” الاول والثاني والثالث

“Al-Husain ibn Muhammad, dari Ma’la ibn Muhammad, dari Muhammad ibn Urmah, dari Ali ibn Hassan, dari Abdurrahman ibn Katsir, dari Abu Abdillah as. tentang firman Allah swt. “Dan mereka ditunjuki kepada perkataan yang baik dan mereka ditunjuki jalan yang terpuji”, beliau berkata: itu adalah Hamzah, Ja’far, Ubaidah, Sulaiman (mungkin Salman), Abu Dzar, al-Miqdad ibnul Aswad, dan Ammar yang ditunjuki (jalan menuju) Amirul Mukminin as., dan firman Allah swt. “Menjadikanmu cinta kepada iman dan menghiasinya di hati kamu (yaitu Amirul Mukminin) dan menjadikanmu benci kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” yaitu: yang pertama, yang kedua dan yang ketiga (yakni: Abu Bakar, Umar dan Utsman)”

c. Riwayat al-Kulaini 1/429

وبهذا الاسناد، عن يونس، عن صباح المزني، عن أبي حمزة، عن أحدهما عليهما السلام في قول الله عزوجل: ” بلى من كسب سيئة وأحاطت به خطيئته ” قال: إذا جحد إمامة أمير المؤمنين عليه السلام ” فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون … فقال: ” الذين آمنوا به (يعني الامام) وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي انزل معه اولئك هم المفلحون ” يعني الذين اجتنبوا الجبت والطاغوت أن يعبدوها والجبت والطاغوت فلان وفلان وفلان والعبادة طاعة الناس لهم

“Dengan sanad yang sama, dari Yunus, dari Shabah al-Muzani, dari Abu Hamzah, dari salah satu dari keduanya as. tentang firman Allah swt. “Bahkan barangsiapa yang melakukan dosa dan diliputi oleh kesalahannya”, beliau berkata: Jika ia mengingkari kepemimpinan Amirul Mukminin as. “Mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya” lalu berkata “Orang-orang yang beriman kepadanya (yaitu Ali) mendukungnya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama dengannya maka mereka itulah yang mendapatkan keberuntungan” yaitu orang-orang yang menjauhi al-Jibt dan Thagut untuk menyembahnya. al-Jibt (berhala) dan Thagut adalah fulan, fulan dan fulan, menyembahnya adalah ketaatan manusia kepada mereka”.

Kalimat fulan dan fulan dalam beberapa riwayat ini ditegaskan kemudian oleh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar- nya yaitu: Abu Bakar dan Umar (23/306).

d. Riwayat al-Kulaini dalam kitabnya al-Kafi 2/244

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، عن محمد بن اورمة، عن النضر، عن يحيى بن أبي خالد القماط، عن حمران بن أعين قال: قلت لابي جعفر عليه السلام: جعلت فداك ما أقلنا لو اجتمعنا على شاة ما أفنيناها؟ فقال: ألا احدثك بأعجب من ذلك، المهاجرون والانصار ذهبوا إلا وأشار بيده ثلاثة

“Sebagian sahabat kami meriwayatkan dari Sahl ibn Ziyad, dari Muhammad ibn Urmah, dari an-Nadhr, dari Yahya ibn Abi Khalid al-Qummath, dari Humran ibn A’yun, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Ja’far as.: Aku adalah tebusanmu, betapa sedikit jumlah kita, hingga jika berkumpul pada hidangan seekor kambing, niscaya tidak akan habis”. Maka beliau berkata: “Maukah kuberitahu tentang sesuatu yang lebih aneh dari itu ? kaum Muhajirun dan Anshar telah berlalu kecuali (lalu menunjuk hanya tiga orang)”.

e. al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, 8/208-252 mencantumkan dengan tegas bab dengan judul: Kekafiran Ketiganya (Abu Bakar, Umar dan Utsman), Sifat Nifaq dan Perbuatan Buruk Mereka.

f. Riwayat al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, 27/58

عن أبي حمزة الثمالي قال : قال أبوجعفر عليه السلام : ياأبا حمزة إنما يعبد الله من عرف الله وأما من لايعرف الله كانما يعبد غيره هكذا ضالا ، قلت : أصلحك الله وما معرفة الله ؟ قال : يصدق الله ويصدق محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله في موالاة علي والايتمام به وبأئمة الهدى من بعده ، والبراءة إلى الله من عدوهم ، وكذلك عرفان الله . قال : قلت : أصلحك الله أى شئ إذا عملته أنا استكملت حقيقة الايمان ؟ قال :توالي أولياء الله وتعادي أعداء الله وتكون مع الصادقين كما أمرك الله ، قال : قلت :ومن أولياء الله ؟ فقال : أولياء الله محمد رسول الله وعلي والحسن والحسين وعلي بن الحسين ثم انتهى الامر إلينا ثم ابني جعفر ، وأومأ إلى جعفر وهو جالس ، فمن والى هؤلاء فقد والى أولياء الله وكان مع الصادقين كما أمره الله . قلت : ومن أعداء الله أصلحك الله ؟ قال : الاوثان الاربعة ، قال : قلت : من هم ؟ قال : أبوالفصيل ورمع ونعثل ومعاوية ومن دان دينهم ، فمن عادى هؤلاء فقد عادى أعداء الله

بيان : قوله : هكذا ، كأنه عليه السلام أشار إلى الخلف أو إلى اليمين والشمال ، أي حاد عن الطريق الموصل إلى النجاة فلا يزيده كثرة العمل إلا بعدا عن المقصود كمن ضل عن الطريق ، وأبوالفصيل أبوبكر لان الفصيل والبكر متقاربان في المعنى ، ورمع مقلوب عمر ، ونعثل هو عثمان كما صرح به في كتب اللغة .

“Dari Abu Hamzah at-Tsumali, ia berkata: Abu Ja’far as. berkata: Wahai Abu Hamzah Hanyalah yang menyembah Allah itu siapa yang mengenal-Nya, adapun yang tidak mengenal-Nya, maka ia seperti menyembah selainNya -begitu ia sesat-”, aku berkata: “Semoga Allah memperbaiki anda, apakah yang dimaksud mengenal Allah ?”, beliau menjawab: “Membenarkan Allah, membenarkan Muhammad Rasulullah dalam muwalah Ali dan berimam kepadanya dan kepada para imam yang mendapat petunjuk setelahnya, serta berlepas diri kepada Allah dari para musuh mereka, demikianlah ma’rifatullah”. Aku kembali bertanya: “Semoga Allah memperbaiki anda, amalan apakah yang jika kulakukan niscaya aku telah menyempurnakan hakikat iman ?”, beliau menjawab: “Engkau berwala’ kepada wali-wali Allah dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah serta bersama kaum shadiqin sebagaimana yang Ia perintahkan”. Aku bertanya: “Siapakah wali-wali Allah ?”, beliau menjawab: “Wali-wali Allah adalah Muhammad Rasulullah, Ali, al-Hasan, al-Husain, Ali ibn al-Husain, lalu sampai ke kami, kemudian anak saya Ja’far (sambil menengok ke Ja’far yang sedang duduk), maka siapa yang berwala’ kepada mereka berarti ia sudah berwala’ kepada wali-wali Allah dan sudah bersama kaum shadiqin sebagaimana yang Allah perintahkan”. Aku bertanya lagi: “Lalu siapakah musuh-musuh Allah itu semoga Allah memperbaiki anda ?”, beliau menjawab: “Berhala yang empat”. Aku bertanya: “siapa mereka ?”, beliau menjawab: “Abu al-Fashil, Ruma’, Na’tsal dan Muawiyah serta yang mengikuti agama mereka, maka siapa yang memusuhi mereka berarti ia telah memusuhi musuh-musuh Allah.
Al-Majlisi menjelaskan: … Abu al-Fashil adalah Abu Bakar sebab kata al-Fashil semakna dengan Bakar (anak onta), Ruma’ adalah kata Umar yang dibalik, Na’tsal adalah Utsman sebagaimana yang ditegaskan di dalam kitab Bahasa Arab.

g. Riwayat al-Ayasyi dalam Tafsirnya 2/243 yang juga disebut oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar 4/378, 8/220

عن أبى بصير عن جعفر بن محمد (عليه السلام) قال: يؤتى بجهنم لها سبعة أبواب، بابها الاول للظالم وهو زريق وبابها الثانى لحبتر، والباب الثالث للثالث، والرابع لمعاوية، والباب الخامس لعبد الملك والباب السادس لعسكر بن هوسر، والباب السابع لابى سلامة فهم أبواب لمن اتبعهم
Dari Abu Bashir, dari Ja’far ibn Muhammad as. berkata: “Akan didatangkan Neraka Jahannam dengan tujuh buah pintu, pintu pertama untuk yang zalim yaitu Zariq, pintu kedua untuk Habtar, pintu ketiga untuk yang ketiga, keempat untuk Muawiyah, kelima untuk Abdul Malik, keenam untuk Askar ibn Hausar dan pintu ketujuh untuk Abu Salamah, mereka semua adalah pintu bagi pengikut-pengikutnya”.
al-Majlisi menjelaskan: zariq adalah kiasan terhadap (khalifah) yang pertama …, habtar adalah serigala dan kemungkinan dikiaskan seperti itu adalah karena tipu dan makarnya …, Askar ibn Hausar adalah kiasan terhadap para khalifah Bani Umayyah atau Abbasiyah, Abu Salamah adalah kiasan terhadap Abu Ja’far ad-Dawaniqi, dan kemungkinan Askar adalah kiasan terhadap Aisyah dan seluruh pasukan dalam perang Jamal sebab onta Aisyah bernama Askar …

h. Riwayat al-Qummi dalam tafsirnya 1/301

احمد بن الحسن التاجر قال حدثنا الحسن بن على بن عثمان الصوفى قال حدثنا زكريا بن محمد عن محمد بن على عن جعفر بن محمد (عليهما السلام) قال: لما اقام رسول الله (صلى الله عليه وآله) امير المؤمنين يوم غدير خم كان بحذائه سبعة نفر من المنافقين وهم فلان وفلان وعبدالرحمن بن عوف وسعد بن ابى وقاص وابوعبيده وسالم مولى ابى حذيفه والمغيره بن شعبة قال الثانى اما ترون عينه كانما عينا مجنون يعنى النبى الساعة يقوم ويقول قال لى ربى فلما قام قال ايها الناس من اولى بكم من انفسكم قالوا الله ورسوله قال اللهم فاشهد ثم قال الا من كنت مولاه فعلى مولاه وسلموا عليه بامرة المؤمنين فنزل جبرئيل واعلم رسول الله بمقالة القوم فدعاهم وسألهم فانكروا وحلفوا فانزل الله (يحلفون بالله ما قالوا الخ) ثم ذكر البخلاء وسماهم منافقين وكاذبين فقال (ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله ـ إلى قوله اخلفوا الله ما وعدوه وبما كانوا يكذبون)

Ahmad ibn al-Hasan at-Tajir, berkata: al-Hasan ibn Ali ibn Utsman as-Sufi telah menceritakan kepada kami, bahwa Zakariya ibn Muhammad telah menceritakan kepadanya, dari Muhammad ibn Ali, dari Ja’far ibn Muhammad as. berkata: “Ketika Rasulullah saw. mendirikan Amirul Mukminin pada peristiwa Ghadir Khum, ikut hadir di samping beliau tujuh orang munafik yaitu fulan, fulan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abu Ubaidah, Salim Mawla Abi Hudzaifah, dan al-Mughirah ibn Syu’bah. Lalu yang kedua berkata tentang Rasulullah saw. di saat berdiri: “Tidakkah kamu sekalian melihat matanya seakan-akan mata orang gila. dan berkata Tuhanku kepadaku, ketika Rasulullah berdiri, beliau berkata: Wahai sekalian manusia, siapakah yang paling utama dari diri-diri kamu ?, serentak mereka menjawab: Allah dan RasulNya, beliau berkata: Ya Allah saksikanlah. Lalu beliau berkata: “Siapa yang menjadikanku mawla maka Ali adalah mawla-nya, dan serahkanlah kepadanya kepemimpinan kaum mukminin”. Tiba-tiba malaikat Jibril turun menyampaikan kepada Rasulullah perkataan kaum tersebut, maka beliau memanggil mereka dan menanyakan akan hal itu tapi mereka mengingkarinya bahkan dengan sumpah, maka Allah menurunkan ayat: “Mereka bersumpah tidak mengucapkannya …” kemudian Ia menyebut kamu bakhil dan menamakan mereka munafiq dan pendusta: “dan di antara mereka ada yang berjanji kepada Allah jika diberi karunia … mengkhianati Allah dari apa yang mereka janjikan dan atas apa yang mereka dustakan”.

i. Kaum syiah kontemporer pun tidak luput dari tradisi buruk pendahulu mereka ini. Dalam buku doa yang dikeluarkan oleh Manshur Husain yang berjudul Tuhfatul Awam hal. 423-424 terdapat doa yang ditawtsiq oleh pemimpin-pemimpin Syiah di antaranya adalah al-Khu’i dan al-Khomeini, bunyinya:

اللهم العن صنمي قريش وجبتيها وطاغوتيها وإفكيها وابنتيهما الذين خالفا أمرك وأنكرا وحيك وجحدا إنعامك وعصيا رسولك وقلبا دينك وحرفا كتابك وأحبا أعداءك وجحدا آلاءك – كذا- وعطلا أحكامك وألحدا في آياتك …“Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy (Abu Bakar dan Umar), jibtinya, thaghutnya, pendustanya beserta kedua putri mereka (Aisyah dan Hafsah). Keduanya telah menyelisihi perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, mengingkari nikmat-Mu, bermaksiat kepada RasulMu, mengubah agamaMu, menyimpangkan KitabMu, mencintai musuh-musuhMu, mengingkari karuniaMu, meninggalkan hukum-hukumMu, ingkar terhadap ayat-ayatMu …”.
j. Dan tidak lupa Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, tokoh Syiah Indonesia, ikut akan tradisi buruk pendahulunya ini. Dalam bukunya al-Mushthafa, Manusia Pilihan Yang Disucikan (yang merupakan “copy paste” dari kitab karya Ja’far Murtadha al-Amili yang berjudul as-Shahih min Siratin Nabiyyil A’zham) hal. 24 footnote no. 6 dengan mengutip perkataan Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah: “Banyak di antara sahabat kami mengecam agama Muawiyah. Mereka tidak hanya menganggapnya fasik, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia kafir karena tidak meyakini kenabian. Mereka banyak mengutip ucapan-ucapannya yang menunjukkan ke arah itu”. Tidak ada komentar sedikitpun dari pak professor akan kutipan ini. Dan untuk diketahui bahwa buku al-Mushthafa mengandung banyak kebohongan yang dibangun di atas riwayat-riwayat dusta, namun kesempatan membahasnya insya Allah di kesempatan lain.

KESIMPULAN:
1. Sahabat Rasulullah saw. adalah generasi yang dibimbing langsung oleh Rasulullah saw. dan telah mendapatkan pujian dari Allah dan Rasul-Nya.
2. Ahlussunnah memandang bahwa sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik umat ini dan patut menjadi panutan dalam takwa dan wara’. Walaupun mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum dari kesalahan, namun kesalahan mereka tersebut tidak menjatuhkan kredibilitas mereka sedikit-pun.
3. Menghina dan mencaci sahabat Rasulullah saw. adalah kekufuran yang telah jelas keharamannya.
4. Kaum Syiah adalah kaum yang suka menghina dan mencaci sahabat Rasulullah saw.

RENUNGAN:
Generasi terbaik setiap nabi adalah sahabat-sahabat mereka, generasi terbaik Nabi Musa adalah sahabat dekat beliau, generasi terbaik Nabi Isa adalah kaum hawariyyun dan mereka adalah sahabat dekat beliau, maka bagaimana mungkin tuduhan kaum Syiah bahwa sebagian besar sahabat-sahabat Rasulullah saw. adalah kafir dan murtad sepeninggal beliau dapat diterima agama dan akal sehat ? Allahul Musta’an.

http://www.wahdah.or.id/

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More