Maksimalisasi Amal Shaleh Sebuah Refleksi Nilai Takwa Pasca Ramadhan


Bagi seorang muslim, Ramadhan dengan deretan amal shaleh, baik dalam tataran ibadah fardiyah yang lebih terfokus pada aspek pembinaan kepribadian (mis: sholat, puasa, tilawah al-Qur'an, i'tikaf dll ) ataupun dalam tataran ibadah ijtimaiyah yang lebih mengedepankan nilai sosial dalam bentuk kepedulian terhadap sesama (zakat, shodaqah, memberi buka puasa dan hidangan sahur dll) adalah merupakan sarana-sarana mewujudkan ketakwaan yang hakiki dalam bulan yang mulia ini.






Tetapi, akan sangat disayangkan apabila nilai-nilai positif ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya musim ketaatan ini. Adalah hal yang aneh, jika seorang muslim yang begitu khusyu' dan bergairah melaksanakan amalan-amalan mulia di bulan yang penuh berkah ini, lantas setelah Ramadhan ia kembali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan yang telah ia semai selama rentan waktu sebulan penuh. Apa yang patut kita banggakan bila Ramadhan hanya diakhiri dengan euforia baju baru, penganan lebaran dan tradisi mudik tahunan?. Sungguh bijak seorang penyair Arab yang berkata:


Laisa al-'iidu man labisa al-jadid Walakin al-'iid man tho'atuhu taziid

(Hari Raya bukanlah ditandai dengan pakaian baru, tetapi hakikat hari raya adalah siapa yang ketaatannya bertambah maju)


Muslim yang sadar akan makna Ramadhan adalah yang akan terus memelihara interaksinya dengan Allah Ta'ala dengan mengaplikasikan nilai-nilai kebajikan meskipun ia telah tamat dari Madrasah Ramadhaniyah. Ia sangat yakin bahwa esensi ketakwaan seharusnya dapat tetap disemai dan ditumbuhsuburkan pada kurang lebih 330 hari pasca Ramadhan. Ia adalah sosok yang tetap istiqomah berusaha untuk shaleh terhadap dirinya dan kepada sesama, bahkan kepada makhluk yang lain, meskipun tidak diiming-imingi dengan ganjaran pahala yang belipat ganda seperti dalam Ramadhan.


Setidaknya ada empat prinsip yang dapat kita tangkap dalam merefleksikan nilai takwa sebagai sarana untuk memaksimalkan potensi amal shaleh pasca Ramadhan:


1. Prinsip Fastabiqul khaerat

Bersegara dalam merebut setiap peluang untuk melakukan kebaikan merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa (al-Imran: 133). Selain Fastabiqul khaeraat (al-Baqarah: 148), ada beberapa bentuk seruan Allah dalam al-Qur'an yang memotivasi kita untuk bersegera untuk melakukan kebajikan dan tidak menjadi orang yang selalu menunda amalan. Kata-kata Wasaari'uu (bersegeralah kalian) (al-Imran :133), Wasaabiquu (berlomba-lombalah kalian) ( (al-Hadiid:21), Wafidzalika falyatanaafasil mutanaafisun (Dan pada yang seperti itu hendaklah kalian saling bersaing) (al-Muthaffifiin:26) semuanya bermuara kepada makna agar setiap muslim memanfaatkan peluang kebajikan dengan segera dan menjadi yang terbaik (menjadi pemenang dan bukan pecundang) dalam setiap amal shaleh yang dikerjakan. Allah memuji Nabi Zakariya 'Alaihissalam beserta keluarga beliau karena telah berhasil mengejawantahkan prinsip ini dalam bingkai yang terbaik. Allah berfirman :


"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (al-Anbiyaa': 90).


Ternyata kekhusyukan Zakariya 'alaihissalam adalah kekhusyukan yang berdimensi semangat untuk bersegera dalam melakukan kebajikan.


2. Prinsip Mujahadah (Kesungguhan)

Melakukan amal shaleh secara maksimal membutuhkan pengorbanan (tadhiyah). Ubay bin Ka'ab mengilustrasikan bahwa ketakwaan itu ibarat berjalan di jalan yang penuh duri ia butuh kahati-hatian dan kesungguhan. Ia berangkat dari niat yang ikhlas kemudian secara nyata ditunjukkan dengan amal yang serius dan penuh kesungguhan. Allah Ta'ala memuji dan menjanjikan syurga para pejuang amal shaleh yang dengan serius dan penuh kesungguhan membuktikan bahwa ketakwaan bukan hanya sekedar untaian kata-kata manis dan hiasan bibir tetapi perlu dibuktikan dan ditunjukkan kehadirat Ilahi Rabbi. Allah berfirman :


"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun, dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (tidak meminta-minta). (Adzdzaariyaat : 16-18)


Kesungguhan dalam ibadah tidak hanya nampak dalam ritual ibadah yang bersifat habluminallah tapi ia mempunyai konstribusi yang sangat kuat dalam menghidupkan ibadah yang bernuansa habluminannas dengan berbagi kepedulian terhadap kaum dhu'afa.

Sebagai balasan atas komitmen kesungguhan ini hamba Allah Ta'ala berjanji untuk memberikan petunjuk dan membuka jalan-jalan kebajikan untuknya. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami". (al-Ankabuut: 69)


3. Prinsip Istimroriyah (Berkesinambungan)

Prinsip menjaga istimroriyah amalan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam rangkaian ibadah dalam Islam, bahkan ia menjadi satu ruh yang menjiwai amalan tersebut berkwalitas atau tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah ditanya: "Apakah amalan yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Amalan yang dilaksanakan secara berkesinambungan (kontinyu) walaupun sedikit" (HR. Bukhari). Aisyah Ummul Mukminin menjelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling konsisten dalam melakukan amalan/ibadah (HR.Muslim). Dalam rangka menjaga kesinambungan amalan, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam juga kadang mengganti (qodho) suatu amalan yang beliau tidak lakukan pada waktunya dikarenakan adanya halangan.


Warna kesinambungan amalan nampak sangat mencolok di tengah aktifitas Ramadhan mulai dari puasa itu sendiri, sholat (wajib dan sunnah), zakat, shodaqah dan amalan-amalan lainnya. Bahkan di luar itu, Islam hanya mensyariatkan satu jenis ibadah yang diperintahkan untuk dilakukan sekali dalam seumur hidup, yaitu ibadah haji, itupun takkala kita mampu menunaikannya. Ini menandakan bahwa semangat menerapkan nilai takwa harus beriringan dengan adanya kesadaran menerapkan kesinambungan serta menjaga konsistensi amalan yang dilakukan.


4. Prinsip Tawazun (Keseimbangan)

Syariat Allah adalah syariat yang dibangun di atas landasan at-taysir wa raf'ul masyaqqah (mudah dan tidak mempersulit). Ia diciptakan untuk manusia yang mempunyai keterbatasan dalam banyak hal. Allah tidak mensyariatkan satu bentuk perintah ataupun larangan kecuali semuanya dalam batasan kesanggupan dan kemampuan manusia itu sendiri. (al-Baqarah : 286).


Maksimalisasi amal shaleh tidak berarti kita harus bersikap ekstrim (ghuluw) dalam mengaktualisasikan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Maksimalisasi bermakna melaksanakan ibadah sesuai dengan kesanggupan yang dimiliki asal tidak juga memandang remeh apalagi memudah-mudahkan.


Dalam kitab Shahih al-Bukhari diceritakan perihal tiga orang sahabat yang mendatangi rumah istri-istri Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk mencaritahu tentang ibadah-ibadah Rasulullah. Ketika disampaikan kepada mereka tentang realitas ibadah Rasulullah, merekapun tiba pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah masih sedikit (belum maksimal). Dalam kisah tersebut, masing-masing dari ketiga sahabat itupun berjanji. Sahabat yang pertama berjanji untuk melaksanakan qiyamullail sepanjang malam dan tidak tidur. Yang kedua benjanji untuk berpuasa sepanjang tahun (setiap hari). Dan ketiga berjanji untuk tidak menikah. Mendengar hal tersebut, Rasulullah pun segera menegur ketiganya seraya mengatakan bahwa sunnah (tuntunan) beliau adalah bersikap seimbang dalam ketiga perkara tadi.


Sikap tawazun dalam beramal dan menjauhi paradigma ghuluw merupakan bagian yang terpenting dalam memaksimalkan amal shalih. Menjaga kesederhanaan, keseimbangan dan tetap memperhatikan hak-hak yang lain (hak keluarga, badan dan yang lainnya) inilah yang akan memberikan konstribusi nafas yang panjang dalam pelaksanaan amalan itu sehingga ia tidak menjenuhkan apalagi sampai meninggalkan amalan itu secara total. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :


"Bersikap sederhanalah, bersikap seimbanglah pasti kalian akan maksimal". (HR. Bukhari).


Landasan amal shaleh

Namun maksimalisasi amal shaleh tidak berarti kita bebas berkreasi untuk menentukan baik dan tidaknya amalan tersebut. Amalan yang berkwalitas (ahsanuamalan) -terutama dalam perkara-perkara ibadah yang bersifat mengikat- adalah amalan yang menepati dua persyaratan mutlak, pertama adalah keikhlasan serta kesucian niat. Dan yang kedua adalah amalan tersebut dilakukan sesuai petunjuk/tuntunan yang disyariatkan. Allah mengancam orang-orang yang telah maksimal beramal, tetapi ketika ia tidak memenuhi dua persyaratan tersebut maka ia tidak memberi keselamatan tetapi menjerumuskannya kepada siksa yang amat pedih. (al-Ghasyiyah : 3-4). Wal'iyadzubillah.


Akhirnya, indahnya dan sejuknya ucapan takbir, tahmid dan tahlil yang kita lantunkan di hari kemenangan -yang merupakan puncak dari aktualisasi amal shaleh Ramadhan- akan semakin terasa indah dan berkesan ketika disertai komitmen yang kuat untuk mempertahankan nilai-nilai takwa dalam meniti hari-hari selanjutnya. Allahu a'lam bisshawab.(Oleh:Ahmad Hanafi, Lc, MA/Kandidat Doktor Universitas King Suud Riyadh KSA)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More